Membaca Sebuah harian yang terbit 24 mei di kota Ambon, menjadi terbuka lebar informasi yang selama ini simpang siur di masyarakat (gosip), tentang indikasi penggelembungan (markup) data pegawai negeri sipil (PNS) oleh oknum entah siapa, dalam sebuah pemerintahan daerah yang namanya kabupaten Maluku Tengah, yang sangat buruk manajemennya tata pemerintahannya.
Sayangnya ini sudah berlangsung lama, paling tidak dari data yang ada telah berlangsung sejak tahun 2007-2012, dan tanpa ada perbaikan yang signifikan, bagaimana mungkin terjadi kesalahan perhitungan data pegawai negeri sipil dalam suatu  sisitem pelaporan yang akuntabel jika tanpa ada maksud tertentu. dan jika ini sebuah kesalahan, kenapa sampai berulang-ulang dan tanpa penjelasan transparan kepada publik?
Kita perlu berterima kasih kepada kawan-kawan LSM/NGO yang telah membuka tabir  yang selama ini tertutup rapat, setidaknya kini publik Maluku Tengah juga tahu bahwa telah terjadi tindakan penyalahgunaan kekuasaan oleh oknum pimpinan aparatur di Maluku Tengah atas kesalahan yang tidak bisa dimaafkan terkait dengan ditemukannya data fiktif PNS di Maluku Tengah yang jumlahnya cukup fantastis, yakni seribu lebih. Lengkapnya sebagai berikut;
1. Kejanggalan data fiktif PNS dalam belanja keuangan negara per SKPD APBD tahun 2007 sebesar Rp.232.199.866.142 sedangkan yang dibayar / realisasinya ke PNS, 195.893.867.200...selisih...Rp. 36.305.998.942....indikasiKORUPSI...
‎2. tahun 2008 realisasi ABD RP. 286.843.609.046 tapi yg dibayar Rp. 222.578.733.930, selisih Rp. 64.264.875.116 Indikasi KORUPSI
3. tahun 2009 realisasi APBD Rp. 334.168.954.030, tapi realisasinya Rp. 291.336.285.033, seliisih...Rp.42.832.668.997 indikasi KORUPSI
Meski ditanggapi Sekda Maluku, bahwa PNS Malteng adlah 11.448 orang, via surat resmi, namun ternyata rekapitulasi gaji per desember 2009 hanya 10.134 orang...artinya selisih data PNS fiktif ada 1.314 orang. sekali lagi seribu PNS FIKTIF. kasus ini kini sedang ditangani kejaksaan Negeri Maluku. Sumber : Harian Ambon Ekspress 24 Mei 2012
Jika data pegawai fiktif ini bisa dibuktikan dipengadilan, maka coba kita hitung sejauh mana dana siluman itu bisa mengalir. misalkan saja gaji pokok PNS golongan II yang bergaji  satu juta rupiah (Rp.1.000.000) per bulan, maka setiap bulan ada seribu juta setara satu milyar (Rp.1.000.000.000) dan setahun ada sekitar 12 triliyun dana siluman dan entah dana ini mengalir ke mana?. dan bisa dihitung data fiktif ini sudah berlangsung sejak 2007 hingga 2012. hampir lima tahun lamanya, dan jika diasumsikan data pegawai ini fiktif selama 5 tahun, maka kurang lebih ada 5 triliyun dana mengalir dari pusat ke daerah hanya untuk menggaji PNS yang tidak ada orangnya. hal ini bisa dilacak tentunya pada oknum siapa yang mengendalikan PNS di Daerah. selain yang diprediksi tahu akan hal ini adalah  Badan Kepegawaian Daerah, yang lebih bertanggung jawab adalah Bupati sebagai kepala daerah.
Kenapa kita sebagai masyarakat awam sangat peduli dengan hal ini, karena dengan penggelembungan data pegawai negeri ini, daerah tidak akan bisa berbuat banyak dengan kucuran APBN yang masuk ke kas daerah hanya khusus membiayai PNS yang orangnya tidak ada, dan tentu akan menghambat pembangunan fisik dan non fisik di daerah Maluku Tengah, yang tentu diharapkan seluruh warga masyarakat Maluku Tengah.
Sebagaimana diketahui dalam 10 tahun terakhir tidak ada pembangunan fisik dan non fisik yang berarti yang terjadi di Maluku Tengah, padahal Kab, Maluku Tengah adalah kabupaten tertua di Propinsi Maluku, bahkan kalah bersaing dengan Kabupaten yang dimekarkan baru lima tahun belakangan, misalnya kabupaten Seram bagian timur (SBT) dan  Kabupaten Buru, dimana percepatan pembangunan yang dikelola dengan apik dan profesional sangat maju dalam hal penataan pemerintahan daerah dan pemberdayaan masyarakatnya. setidaknya bisa dilihat dari percepatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakatnya.
Dalam Lima tahun terakhir saja Sarana prasarana Pendidikan, Kesehatan, dan fasilitas pelayanan publik lainnya, di Maluku Tengah, tidak menunjukan  perkembangan berarti, bahkan terkesan jalan di tempat. Makin meningkatnya angka pengangguran dan Minimnya fasilitas pelayanan Kesehatan yang baik makin dirasakan setiap warga, Rumah Sakit Daerah yang dibangunpun seakan setengah hati karena tidak dilengkapi dengan sarana yang memadai, sehingga masyarakat sering merujuk ke rumah sakit di ibu kota propinsi yang membutuhkan waktu 5 jam perjalanan menyeberangi laut.