Mohon tunggu...
Ode Abdurrachman
Ode Abdurrachman Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Trading Blogger - Pemerhati Pendidikan | Ketua IGI Provinsi Maluku | Ketua Dikdasmen PDM Kota Ambon Guru, Pengajar, aktivis Muhammadiyah Kota Ambon

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pilih Guru atau Buruh? Peringatan hari Guru 68 (24 November 2013)

25 November 2013   01:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:43 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pilih Guru atau Buruh?

Beberapa pekan lalu di berbagai media, termasuk media sosial membincangkan tentang kontribusi dua profesi yang saling berkaitan, satunya Buruh sedang lainnya Guru. Buruh adalah tenaga profesional dalam dunia kerja, sementara guru tenaga profesional dalam bidang pendidikan. Jika kedua profesi ini sejajarkan untuk menilai kontribusi profesioanalitas kedua bidang garapan ini, maka masing-masing profesi memiliki aspek kontribusi positif dan kapasitas yang unggul di bidangnya dan punya kontribusi luar biasa dalam membangun dan mencerdaskan bangsa, termasuk masyarakat yang kita berada di dalamnya.



Lain Guru, lain Buruh.

Seiring bergulirnya waktu peran penting ke dua profesi ini makin nyata ketika dua profesi ini saling berkontribusi aktif. Sebab penulis termasuk yang setuju jika ada pernyataan bahwa profesi gurulah yang melahirkan buruh dan buruh-lah yang melahirkan guru. Namun pernyataan tersebut kemudian perlu diberi tekanan khusus bahwa bangsa kita yang besar ini dilahirkan oleh guru dan buruh, artinya peran kedua profesi inilah yang turut merawat dan mengawal kemerdekaan dan kedigdayaan bangsa kita hingga saat ini. Jadi tidak benar juga bahwa ada pernyataan bahwa guru lebih unggul dari buruh, atau bahkan  sebaliknya.

Pada perkembangan selanjutnya kedua profesi ini menjadi karya atau pekerjaan pilihan yang masing-masing memiliki apresiasi tersendiri bagi warga masyarakat. Bagaimana tidak, jika bukan karena guru, maka tidak akan ada yang dipelajari di sekolah dan jika tanpa adanya buruh tidak akan ada yang membangun sekolah.

Untuk menjadi guru perlu pendidikan khusus atau seseorang harus melewati pendidikan sarjana sebagaimana disyaratkan secara formal dalam UUD, sementara menjadi buruh tidak perlu sekolah yang tinggi-tinggi. Cukup punya tenanga, keahlian, bisa berkomunikasi dengan baik, maka sudah resmi menjadi buruh.

Kemudian bahwa untuk menghargai profesionalisme seseorang berkaitan dengan profesi guru atau buruh, perlu mendapat pengakuan secara formal dari pemerintah atau institusi yang menaunginya, di samping harus ada pengawasan secara internal dan eksternal. Maka  dengan jalan ini minimal institusi yang menaungi guru dan buruh dapat memberi penilaian positif tentang profesi tersebut. Dalam hal ini setiap profesi wajib memperoleh nilai yang pantas atau upah standar yang baik sebagaimana kontribusi kontribusi pelakunya dalam memajukan pengajarannya bagi guru dan meningkatkan kinerjanya bagi buruh.

Guru tidak Dilahirkan menjadi Buruh ?

Jika kita nalar bahwa segala profesi yang dilakukan oleh sesorang adalah hasil dari pengalaman empirik  yang unik dari setiap individu dan dibawa sejak lahir (baca:bakat), maka akan sangat berbeda dengan profesi guru. Hingga saat ini keyakinan kita masih sama bahwa  menjadi guru profesional,  tidak dilahirkan begitu saja, butuh proses yang tidak singkat untuk menciptakan seorang guru yang handal juga profesional, butuh banyak latihan dan improvisasi profesinya. terlebih lagi guru dituntut untuk memenuhi tupoksi pengajarannya sebagaimana yang distandarkan undang-undang. Sehingga jelas menjadi guru profeesional butuh perjuangan yang tidak instan.

Lain halnya dengan profesi buruh yang tidak mementingkan kualitas pendidikan formal, jika para buruh butuh pendidikan, cenderung mengikuti berbagai pendidikan nonformal, seperti pelatihan, kursus workshop dan pendampingan/magang. sehingga dengan bekal pendidikan informal itu hanya berguna untuk mengasah keterampilan teknis keahlian masing-masing, sehingga seorang buruh direkrut tidak semata-mata karena pendidikannya semata, tetapi karena hardskill-nya. Bukan karena softskil, sehinnga menjadi buruh itu sangat terbuka peluangnya bagi seluruh lapisan masyarakat.

Jika bahasan di atas ini mendekati fakta sesungguhnya, maka masing-masing dari kita bisa mengukur profesi mana yang selayaknya kita geluti ke depan. Jika menjadi seseorang yang berproses dalam pendidikan, maka sangat berpeluang menjadi guru, namun jika tidak melewati pendidikan secara formal maka dipastikan sangat berpeluang terjun ke dunia buruh. meski kenyataannya tidak jarang kita jumpai ada guru yang berprofesi tambahan sebagai buruh, atau sebaliknya. Hipotesa penulis hal ini lebih disebabkan karena kecenderungan alamiah faktor individu yang tidak tidak merasa puas dan konsisten dengan satu profesi saja, sehingga kemudian menjadikan profesi tersebut sebagai tameng untuk menutup diri, atau bisa jadi karena ingin mencari peluang ekonomi sebesar-besarnya guna menghidupi diri dan keluarganya yang terbatas.

Hal terakhir inilah yang kemudian sangat mengganggu etika profesi guru atau buruh, sebab jika seseorang tidak bisa menentukan sikap dengan satu profesi saja, dengan menjadi guru atau buruh saja, menandakan perilakunya yang tidak lagi fokus ke satu hal, sementara tuntutan pekerjaan terus menerus membutuhkan konsentrasi yang fokus dan tentu tidak ringan. Faktor terakhir ini juga yang menjadikan sebahagian orang yang berprofesi sebagai guru  atau buruh yang tugasnya mendidik siswa secara profesional dan berprestasi, mengalami penurunan kualitas profesi sebagai guru. Maka tidak heran jika kemudian ada sebutan guru tidak lagi memiliki waktu yang ekstra untuk mengembangkan profesinya karena sibuk dengan dirinya sendiri belum lagi profesi tambahannya sebagai buruh.

Katakan saja jika situasi ini tetap terjadi pada buruh yang menjadi guru, maka akan sangat dikhawatirkan menurunkan kualitas didikannya, sehingga meski tidak ada larangan bagi buruh sebagai profesi untuk menjadi guru, syarat berpendidikan formal sebagai syarat guru harus tetap menjadi prioritas sebagai quality control.

perilaku terakhir ini sangat mengganggu konsistensi profesi yang ditetapkan oleh regulasi undang undang Guru dan Dosen. Bahwa setiap individu (orang) diakui profesionalismenya seabgai guru akan yang menjadi barometer kualitas pencapaian yang dihargai dengan tunjangan profesi, namun data dari berbagai penelitian menyebutkan bahwa usaha untuk melakukan sertifikasi guru yang selama sudah berjalan tidak serta merta menaikan kualitas pembelajaran atau bahkan kualitas guru itu sendiri. mungkinkah sertifikasi profesi guru yang berjalan selama ini sia-sia dikarenakan guru tidak sekedar menjadi guru? Atau bisa jadi karena guru menyandang status guru serabutan, tidak sekedar guru bahkan sibuk nyambi jadi buruh.

Penghargaan atas Guru dan Buruh

Jika sebutan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawan maka. Sudah sepantasnya bangsa kita sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memberi penghargaan yang setinggi-tingginya kepada para guru dan para buruh. Karena merekalah pahlawan-pahlawan yang punya kontribusi besar terhadap kemerdekaan dan bagian aset bangsa. Sehingga menurut penulis penghargaan ini harus lebih adil dalam penerapannya sebab;

Pertama; Para guru dan buruh adalah pahlawan bangsa, sebab Bukankah Para Pendiri bangsa kita sebagai founding fathers juga adalah sebagai guru bangsa? Bukankah para pekerja profesional yang giat membangun bangsa ini adalah buruh bangsa?, sehingga jika sudah tepat kiranya memberikan penghargaan yang setinggi tingginya kepada para guru dan dosen sebagai pencetus generasi cerdas, pekerja keras dan sumber devisa dengan langkah menaikan tunjangan profesi masing-masing profesi itu dengan hitungan riil, sementara gaji para buruh pun harus di pertimbangkan untuk dinaikkan sebagaimana profesi dan kualitas mereka.

Kedua ; Pemerintah Pusat dan Daerah harus adil memperlakukan guru dan buruh, sebab dalam kasus tertentu ketika para buruh diberikan standar gaji di atas rata-rata, 3,7 juta (kasus jabodetabek) maka gaji guru dan dosen yang telah melewati pendidikan kesarjanaan dan pendidikan lanjutan secara formal harus juga dinaikan, sebab 3,7 juta untuk para buruh di awal masa kerjanya, setara dengan gaji guru yang sudah mengabdi selama lebih 20 tahun dan berada pada golongan IV.

Jika kedua hal itu tidak menjadi pertimbangan matang pemerintah pusat dan daerah maka secara spesifik penulis memprakirakan,

pertama; akan ada ribuan pengangguran lulusan SMA di tahun-tahun akan datang, yang tidak mau lanjut ke Perguruan tinggi tapi bukan tidak mampu, karena jika dipelajari skemanya bahwa standar acuan gaji sebesar 3,7juta yang diajukan buruh (jabodetabek) para lulusan SMA itu akan berfikir secara praktis dan pragmatis bahwa, tidak ada untungnya masuk ke perguruan tinggi jika harus melewati 4 tahun jadi mahasiswa dan terjun menjadi guru dengan gaji awal di bawah 2,5 juta, sementara menjadi buruh saja untuk jabodetabek memberi standar gaji 3,7 juta.

Berikutnya yang kedua bahwa dikhawatirkan akan terjadi kemerosotan SDM atau bahkan pengangguran besar-besaran dan berkurangnya tenaga pengajar di tiap daerah, karena Perguruan Tinggi tidak lagi menyiapkan lulusan calon guru yang mau dibayar dengan upah murah. Kecuali pemerintah pusat dan daerah dan stake holdernya bersinergi mencari solusi menetapkan tunjangan dan gaji guru sejak dini bahkan di luar remunerasi dan tunjangan sertifikasi.

Catatan Akhir

Jika kita menyimak sambutan Menteri Pendidikan memperingati hari guru ke 68, 25 Nopember 2013, tahun ini bahwa segala usaha yang dilakuan pemerintah semata-mata adalah demi mempersiapkan generasi generasi 2045, 100 tahun Indonesia merdeka dan kejayaan Indonesia dengan memperkuat layanan pendidikan di setiap lini pendidikan dari PAUD hingga PT dengan membekali dengan pengetahuan, keterampilan dan sikap sesuai dengan zamannya.

Maka tugas pokok dan fungsi guru profesionallah yang harus dimaksimalkan dengan memberi reward yang setimpal dengan kinerjanya, dan di saat itu yang dibutuhkan bukan seorang guru yang nyambi jadi buruh atau guru sekaligus buruh.

Sebab bagaimanapun ketika tuntutan itu datang di saat harus memiliki kemampuan berpikir orde tinggi, kreatif, inovatif, berkepribadian mulia, dan cinta pada tanah air, serta bangga menjadi orang Indonesia, sebagaimana pikiran yang melekat pada sang guru profesional sebisanyalah mengembangkan kemampuannya secara mandiri, mampu sebagai sumber inspirasi dan keteladanan, kreatif, inovatif, dan menegakkan kode etik guru sebagai profesi. Kita semua berharap para guru dan tenaga kependidikan kita menjadi pembelajar dan pendidik sejati dan bergaji tinggi.

Selamat hari guru.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun