Mohon tunggu...
Yudi Andrianto
Yudi Andrianto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengurus Dewan Rempah Indonesia (DRI) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

Desainer Grafis & Gemar Menulis

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Diskriminasi Harga Lada Bangka Belitung

9 September 2018   00:03 Diperbarui: 5 Juli 2019   23:49 1569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bangka Belitung merupakan daerah kepulauan serta didukung daratan yang subur telah berkontribusi bagi kejayaan lada Indonesia sebagai negara pemasok komoditas lada dalam perdagangan rempah dunia. Eksistensi lada putih dikenal dengan brand Muntok White Pepper (MWP) telah menorehkan sejarah dalam perdagangan lada dunia.

Selain dikenal sebagai pulau timah, Bangka Belitung merupakan daerah penghasil lada putih terbaik di dunia yang memiliki mutu dan cita rasa yang tinggi dibandingkan negara produsen lainnya. Sejak dulu, Indonesia dikenal sebagai negara pemasok utama dalam perdagangan lada dunia hingga dijuluki sebagai The King of Spice (raja rempah-rempah) oleh bangsa penjajah rempah nusantara. Kini, posisi Indonesia kalah bersaing dengan Vietnam yang menjadi negara produsen dan eksportir lada dunia, padahal dulu peringkat tersebut berada di tangan Indonesia.

Nasib Petani Lada Kian Tragis, Pemerintah Tidak Bisa Intervensi Harga Lada

Saat ini, persoalan harga lada masih menyulitkan kehidupan petani tetapi animo masyarakat masih saja antusias walaupun terkendala, seperti penyakit kuning lada, pupuk, ketersediaan bibit dan lainnya. Petani lada kian menjerit dikarenakan biaya penanaman tidaklah sebanding dengan nilai penjualan saat ini.

Dalam pembukaan Asian Agriculture & Food Forum (ASAFF) di Istana Negara, Jakarta Pusat beberapa bulan lalu. Seorang petani asal Bangka, Jauhari curhat soal rendahnya harga lada kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dikatakan Jauhari, harga lada Bangka di era 90-an sempat mencapai Rp 200 ribu per kilogram tetapi hari ini harga lada per kilonya hanya Rp 50 ribu-an/kg. Padahal, tahun 2015 lalu harga lada di petani hingga Rp 150.000/kg. Singkatnya, Presiden Jokowi menjelaskan bahwa harga lada rendah karena merupakan harga pasar dunia dan pemerintah tidak bisa intervensi karena harga dunia yng menentukan. Dalam kesempatan itu, Jokowi juga menggelar kuis berhadiah sepeda. Para petani yang diminta maju oleh Jokowi mendapatkan sepeda. (Kompas, 28 Juni 2018)

Memang, mengatasi harga lada petani tidak mudah untuk dicarikan solusinya. Melalui Kementerian Perdagangan (Kemdag) setidaknya ada upaya dalam meningkatkan pengawasan terhadap mata rantai perdagangan lada itu sendiri. Seperti ada indikasi permasalahan dirantai distribusinya, bisa oligopoly atau monopoly. Kendati demikian, cara terbaik tentunya dengan penjualan langsung atau direct sale. Sementara untuk strategi lain, para eksportir pun perlu dikumpulkan untuk mencari solusinya. Dengan sistem resi gudang mungkin saja bisa menaikkan harga melalui pembatasan penjualan. Pasalnya harga lada di petani dan ritel mengalami ketimpangan tajam, jika harga lada di petani sebesar Rp 50.000 per kilogram (kg), sementara di ritel modern Rp 330.000 per kg. Ada selisih sebesar 560% antara harga di petani dan di ritel. Sehingga, harga lada di tingkat petani juga berlarut-larut turun, sekalipun kontribusi lada Bangka Belitung tidak dominan karena real-nya produksi lada petani masih rendah.

Ditengah hiruk pikuk tahun politik terkini, masyarakat petani lada Bangka Belitung terus menaruh harapan kepada pemerintah supaya harga lada perlahan akan membaik. Apalagi, impor pemerintah dan pelemahan rupiah saat ini sangat berpengaruh terhadap kenaikan harga pangan dan kebutuhan ikutan lainnya. Tak pelak, jeritan petani lada yang kian lantang saban hari diviralkan warganet hingga ke media sosial, bahkan nyaris setiap pekan pemberitaan terkait anjloknya harga lada menjadi sajian empuk media massa lokal.

Lada Sebagai Penyeimbang Perekonomian Bangka Belitung

Menginjak usia remaja sebagai sebuah provinsi kepulauan, pengembangan sektor-sektor unggulan seperti lada, peternakan dan pariwisata terus diperkuat tanpa mengabaikan potensi lainnya. Barangkali, pemerintah mampu menangani tata niaga perdagangan lada selain timah sebagai komoditas ekspor terbesar Bangka Belitung.

Melalui Kementerian Perdagangan RI, campur tangan atau intervensi pemerintah sangatlah penting. Adanya keseriusan dalam implementasi kebijakan tata niaga lada hingga dapat memberikan jaminan harga lada di tingkat petani maupun ritel supaya stabilisasi harga tetap terjaga. Fungsi penyeimbang perdagangan lada antara produksi dan permintaan terhadap komoditas lada dianggap perlu perlindungan daya saing. Selain itu, fungsi konsolidasi ekspor komoditas juga dapat memperluas pasar rempah Indonesia ke luar negeri. Hal ini perlu diterapkan pemerintah dalam tata niaga lada sebagai salah satu komoditas utama rempah Indonesia, sekalipun produksi lada dalam negeri masih belum signifikan.

Di era 1990-an, masyarakat petani mengalami masa kejayaan lada. Bahkan warga pedesaan justru sangat konsumtif dan mereka berpendapat tidak ada krisis di Bangka saat sebagian wilayah Indonesia dilanda krisis perekonomian 1997. Berdasarkan dari data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam kurun waktu 2012 - 2016 lalu, lada merupakan salah satu jenis rempah yang memberikan kontribusi utama dalam penerimaan devisa negara serta menyumbang nilai ekspor lebih dari USD 400 juta dengan rata-rata volume perdagangan mencapai 54 ribu ton.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun