Mohon tunggu...
odam
odam Mohon Tunggu... lainnya -

Senang membaca dan lagi coba untuk senang juga menulis, tinggal di Depok

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menguji Sebentuk Kepercayaan

11 Oktober 2011   17:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:04 775
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kepercayaan adalah sesuatu yang sangat pribadi sifatnya. Kepercayaan yang kita anut, umumnya kita sakralkan. Sayangnya, pensakralan ini juga berarti tabu untuk mengkritisinya dengan cara mengujinya. Disinilah sebetulnya dogmatisme hingga fanatisme-ekstrim itu mengakar.

Setiap bentuk kepercayaan punya sebentuk landasan kebenaran, pada landasan mana mereka berpijak dan dari landasan mana mereka mulai melangkah. Semua bentuk kebenaran relatif, butuh landasan luar, landasan yang bukan dari dirinya sendiri. Namun tidak kebenaran absolut. Kebenaran absolut melandasi DiriNya Sendiri. Ia tak butuh landasan apapun kecuali DiriNya Sendiri. Justru yang lainnyalah yang butuh melandaskan dirinya kepada-Nya.

Seorang pendamba kebenaran sejati atau kesujatian jelastidak akan menerima dan memutlakkan begitu saja kebenaran relatif, untuk dijadikan sebagai landasan dari kepercayaannya. Walaupun, secara sadar, ia tidak akan menentang dan memposisikan dirinya secara berhadap-hadapan dengannya, apa yang ia tuju tetap adalah kebenaran absolut, kebenaran mutlak, kebenaran hakiki, kebenaran tertinggi.

Menguji suatu kepercayaan adalah sebuah upaya pengujian dengan mencermati kemungkinan sifat relatif yang terkandung pada setiap klaim akan kebenaran dari setiap bentuk kepercayaan. Ini bukanlah pengujian yang sepenuhnya mengarah ke luar. Bahkan sebetulnya ia lebih dimaksudkan untuk diarahkan ke dalam, melalui mempertanyakan kepada diri kita: Mengapa kita mempercayainya? Adakah hanya lantaran ikut-ikutan? Adakah hanya lantaran kita terlahir di lingkungan komunitas yang mayoritas anggotanya mempercayainya? Adakah hanya karena ia disampaikan oleh seseorang yang kita kagumi, sangat kharismatik, mampu mempertontonkan keajaiban-keajaiban, atau punya pengaruh dan kekuasaan besar di masyarakat?

Guna pengujian ini, Hindu memberi landasan metodis: “neti, neti”—bukan ini, dan bukan itu. Di alam dualistik ini, dengan berhasilnya ditetapkan sesuatu sebagai bersifat relatif—tentunya setelah melalui menelitinya dengan cermat dan sistematis—, kebenaran absolut bisa ditemukan. Dengan mengenali sesuatu sebagai kebenaran relatif dan menyanggahnya, cepat atau lambat seorang pendamba kesujatian akan diantarkan kepada-Nya.

================================================================================

Kebetulan baca tulisan salah satu kompasianer jadi tertarik sharing artikel ini,tulisan Bpk Ngurah Agung diambil dari Milis Berkas Cahaya Kehidupan, posting pertama saya di kompasiana,"itung-itung" latihan mempublish tulisan, siapa tahu bermanfaat juga :D Sumber gambar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun