Sri, namamu misteri
Mengundang 1000 imaji
Dalam pikiran-sanubari negeri ini
Sri, walau namamu abadi seperti dewi
Kau terlihat sepi tersendiri
Tertinggal waktu tak henti
Sri, apa arti nama ini?
Pun jauh terus kucari
Tetaplah misteri
Sayang ini
bukan puisi
Aduh, Sri...
Permasalahan eksistensi Sriwijaya, pada hakikatnya, sebetulnya bukanlah permasalahan sejarah – tetapi, lebih kepada permasalahan “bahasa”. Sebab, jika eksistensi Sriwijaya merupakan permasalahan sejarah, kita hanya harus melihat bukti-bukti yang ada. Dan, bukti-bukti tertulis (kerajaan?) ini jelas terpampang pada tugu-tugu batu bertulis (prasasti-prasasti) di mana nama ini disebutkan, seperti pada prasasti Kedukan Bukit (tahun Saka 605), prasasti Kota Kapur (tahun Saka 608), prasasti Karang Berahi (tahun Saka 608), prasasti Ligor (tahun Saka 697), dan prasasti Palas Pasemah (tidak disebutkan). Katakanlah, jika nama “Sriwijaya” ini betul disebutkan dalam peninggalan-peninggalan tertulis tersebut, nama ini sebetulnya sudah cukup baik, setidaknya, untuk menjadi “bukti awal” eksistensi dari kerajaan(?) tersebut. Hal ini dikarenakan bukti-bukti tertulis sejatinya sama pentingnya dengan temuan benda-benda dan bangunan-bangunan bersejarah.
Benda-benda dan bangunan-bangunan sesungguhnya tidak “bercerita” – yang “bercerita” sebetulnya adalah manusianya. Pun, bisa diargumentasikan bahwa benda-benda dan bangunan-bangunan bersejarah memiliki ciri, pola, atau karakteristik yang bisa “menunjukkan” atau “menceritakan” sejarah dari benda-benda atau bangunan-bangunan itu sendiri, tetapi tetap yang mengenali, melakukan analisa, dan pada akhirnya menceritakan kembali tetap manusianya, bukan? Untuk itu, tetap saja, pada dasarnya, benda-benda dan bangunan-bangunan bersejarah tidak bercerita, yang bercerita atau menceritakan kembali tetaplah manusianya! Dan, tulisan-tulisan atau peninggalan-peninggalan tertulis adalah “cara” untuk menghubungkan pikiran-pikiran manusia yang berbatas waktu (dan ruang).
Kita, sebagai manusia, sesungguhnya tidak saja terhubung dalam “darah” atau secara genetik semata, tetapi kita sejatinya juga terhubung melalui “kata” – melalui “bahasa”. Dari menggunakan “medium” (perantara) inilah, ilmu pengetahuan-ilmu pengetahuan itu kita dapatkan; baik yang berasal dari masa lalu maupun dari daerah-daerah atau wilayah-wilayah lain – baik lisan dan tulisan (di masa lalu, terutama melalui buku-buku atau kitab-kitab). Ilmu (&) pengetahuan tentang peristiwa di masa lampau alias “sejarah” yang kita dapatkan sebetulnya juga melalui jalur yang sama: adakah orang yang mengetahui sejarah atau “kejadian” di masa lalu tanpa melalui perantaraan “bahasa”? Jangankan sejarah ratusan tahun yang lalu, cerita orang-orang tua kita dulu pun kita dapatkan melalui perantaraan bahasa. Apakah cerita-cerita itu kita bawa serta dalam darah kita ataukah orang-orang tua kita yang sesungguhnya bercerita dari lisan atau tulisan tangan mereka?
Hal yang sama juga terjadi dengan kerajaan bersejarah yang kita kenal sebagai “Sriwijaya”. Eksistensinya, pada masa ini, tetap dikenal melalui tugu-tugu batu bertulis yang menyebutkan tentang nama ini – tulisan yang diukir oleh seorang manusia untuk dibaca oleh manusia lainnya. Walau mungkin tidak lengkap atau masih banyak kekurangannya, tulisan-tulisan itulah yang sesungguhnya mengantarkan “semangat” atau “jiwa” para pendahulu negeri ini kepada para penerusnya – yang, sayangnya, sepertinya tidak mau tahu tentang keberadaan semangat itu...
Padahal, walau kerajaan ini telah lama runtuh dan menghilang, “semangat” dari kerajaan itu sendiri sebetulnya masih bisa tetap hidup dan terabadikan jika saja kita mau membaca, mengingat, dan memahami tulisan-tulisan pada prasasti-prasasti tersebut. Akankah semangat itu, pada akhirnya, juga akan menghilang bersama zaman? Entahlah... Namun, satu hal yang pasti di sini adalah: setidaknya kita tahu bahwa nama “Sriwijaya” memang disebutkan dalam tugu-tugu batu bertulis yang tersebar di beberapa tempat – hal ini, sekali lagi, yang sebetulnya cukup tidak terbantahkan. Akan tetapi, pun demikian, nama “Sriwijaya” ini sebetulnya bukan tanpa masalah. Masalahnya, sebagaimana yang telah penulis nyatakan sebelumnya, berada di seputar “bahasa” yang digunakan.
Sebagaimana yang telah penulis jabarkan pada tulisan sebelumnya, permasalah pertama adalah: nama ini dikaitkan dengan nama-nama yang berbeda yang ditemukan dalam dokumen-dokumen sejarah dunia. Tentu hal ini bukanlah masalah, jika nama-nama lain tersebut memang merujuk pada nama “Sriwijaya”. Tetapi, akan berbeda ceritanya jika nama-nama itu tidak merujuk pada nama “Sriwijaya”. Hal inilah yang menimbulkan permasalahan.
Seperti yang terjadi pada nama “Sribuza” yang oleh monsieur George Cœdès dihubungkan dengan nama “Sriwijaya”. Dengan mencantumkan keterangan yang beliau dapatkan dari koleganya, monsieur Jean Sauvaget, monsieur Cœdès menghubungkan nama “Sribuza” yang disebut-sebut dalam catatan para pedagang Arab-Persia pada abad ke-10 dengan Sriwijaya. Namun, sensei Takakusu, Herr. Friedrich Hirth, dan Mr. William Woodville (WW) Rockhill yang menyebutkan nama yang sama (Sarbaza dan Serboza) tidak menghubungkan nama ini dengan nama “Sriwijaya”, tetapi dengan nama “Sribhoja”. Perbedaan inilah yang sebetulnya menjadi awal masalahnya.
Sayangnya, permasalahan yang sebetulnya menjadi masalah pratama ini sepertinya tidak banyak diketahui dan, entah bagaimana, nama “Sribhoja” seakan-akan terabaikan dan menghilang begitu saja. Padahal, nama ini sejatinya cukup penting untuk diketahui, sebab nama “Sribhoja” diam-diam turut memperjelas eksistensi dari “Sriwijaya” itu sendiri. Karenanya, pun terjadi tumpang tindih antara nama “Sribhoja” dan “Sriwijaya”, kedua nama ini sebetulnya saling terhubung – dan, karenanya, dua nama ini sama-sama butuh untuk dikenali dan dipahami.