Sebelum kita memulai, penulis ingin menyampaikan bahwa tulisan ini sebetulnya merupakan sambungan dari tulisan sebelumnya: Sejarah Indonesia Berdasarkan Buku Klasik (Bagian 1): Catatan Biksu I-Tsing. Karenanya, informasi yang ada di dalam tulisan ini erat kaitannya dengan Bagian 1 tersebut. Karenanya, tanpa melihat ke bagian awal, bagian kedua ini mungkin akan terasa cukup membingungkan; mungkin sama membingungkannya dengan menghubungkan narasi sejarah Indonesia berdasarkan buku-buku klasik yang dapat kita temukan, yang sebetulnya dapat diuraikan satu-satu dengan mencermati penjelasan-penjelasan yang diberikan - dan dengan alasan yang sama, tulisan-tulisan ini dibuat...
San-bo-tsai
Dalam catatan kaki sensei Takakusu pada bukunya “A Record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago”, beliau menyebutkan tentang sumber-sumber yang beliau dapatkan; salah satunya dari catatan meester Willem Pieter (WP) Groeneveldt, seorang ahli bahasa dan sejarah Cina (sinologist) yang berasal dari Belanda, dalam “Notes on the Malay Archipelago” (xlii). Dan, sebab sensei Takakusu menghubungkan Sribhoja (Shih-li-fo-shih) dengan San-bo-tsai untuk mengidentifikasi (letak) kerajaan Sribhoja, kita jelas butuh untuk memahami kerajaan ini. Dalam tulisan ini, kita akan membahas tentang kerajaan San-bo-tsai berdasarkan penjelasan meester WP Groeneveldt – sekali lagi, salah satu sumber yang disebutkan oleh Takakusu sensei.
Dalam bukunya, Notes on the Malay Archipelago and Malacca (1876), keterangan tentang San-bo-tsai dapat dilihat pada bagian “Sumatra” (halaman 59), khususnya di bawah subbagian “Eastern Coast of Sumatra” (hal. 60). Dan, sebagaimana yang dijelaskan oleh Takakusu sensei, dalam catatan dinasti Sung (Song) kerajaan San-bo-tsai memang dinyatakan terletak di antara Kamboja dan Jawa.
Hanya saja, dalam buku ini juga terdapat penjelasan bahwa kerajaan San-bo-tsai awalnya bernama kerajaan “Kandali” (Kan-da-li), sebagaimana tercantum dalam catatan sejarah dinasti Ming (1368-1643). Nama ini sendiri sudah disebutkan dari mulai catatan sejarah dinasti Liang (502-556) yang menyatakan bahwa kerajaan ini terletak di laut selatan dan budaya serta kebiasaan orang-orangnya sama dengan orang-orang yang berada di Kamboja dan Siam (sederhananya: Thailand).
Namun, pun catatan sejarahnya berasal dari dinasti Liang, catatan ini sebenarnya turut menceritakan kedatangan utusan bernama Ta-ru-da dari kerajaan Kandali, yang (pada masa itu) berada di bawah kepemimpinan raja Sa-pa-la-na-lin-da, kepada kaisar Hsiau-wu (Xiaowu) dari dinasti Liu Song yang berkuasa pada tahun 454-464 (hal. 60) - yang menandakan bahwa kerajaan tersebut telah dikenal oleh dinasti Cina sekitar 50 tahun sebelumnya.
Penjelasan-penjelasan tersebut menandakan bahwa kerajaan Kandali, yang lalu kemudian dikenal sebagai San-bo-tsai, telah dikenal oleh bangsa Cina sekitar 200 tahun sebelum kedatangan biksu I-tsing ke Sumatra (688-695). Namun, pada bagian catatan kaki, meester Groeneveldt menjelaskan bahwa beliau tidak dapat mengidentifikasi nama “Kandali” (atau “Kandari” atau “Kandori”), sebab nama ini kemudian menghilang dari catatan sejarah Cina. Pun demikian, beliau menambahkan, (sejarawan) Cina sepakat bahwa kerajaan ini berada di wilayah yang sekarang kita kenal sebagai Palembang berdasarkan “tradisi” (identifikasi sejarah) yang tidak terputus (uninterrupted tradition – hal. 60).
Di sini, kita kembali dapat melihat bagaimana identifikasi terkait letak kerajaan ini didapatkan dengan mengikuti "tradisi" berdasarkan pemahaman para sejarawan Cina – sebagaimana hal yang sama juga dinyatakan dan diterapkan oleh sensei Takakusu. Lebih lanjut, meester Groeneveldt juga menjelaskan “kemungkinan” bahwa catatan sejarah Cina ini semata didapatkan dari keterangan para penduduk Kandali yang datang ke negeri Cina dan bukan karena (utusan-utusan) kekaisaran Cina mendatangi langsung kerajaan tersebut pada masa itu. Pertanyaan pertamanya pada titik ini adalah: apa hubungan yang ada antara kerajaan ini dengan kerajaan Malayu atau Sribhoja dan Bhoja? Hal ini disebabkan, dalam catatan ini, tidak disebutkan nama-nama tersebut.
Sampai pada titik ini, hubungan itu sebetulnya sulit untuk didapatkan - bahkan hubungan antara kerajaan Kandali dan San-bo-tsai sendiri sebetulnya mungkin sulit untuk dipastikan, jika bukan karena keterangan dari catatan dinasti Ming. Dalam catatan dinasti yang berkuasa dari 1368 hingga 1643 (1644) ini, terdapat keterangan yang menyebutkan bahwa San-bo-tsai "sebelumnya disebut Kandali" (hal. 68). Keterangan ini memperlihatkan pada kita bahwa ada jeda selama (sekitar) 800 tahun dari akhir dinasti Liang, di mana nama Kandali disebutkan, hingga kerajaan ini kembali diidentifikasi pada masa dinasti Ming. Tentu hal ini menimbulkan tanya: apa yang terjadi selama itu? Dan, mengapa nama Kandali tidak disebutkan oleh biksu I-tsing? Sedikit catatan, ada jarak sekitar 132 tahun dari sejak masa akhir dinasti Liang hingga kedatangan biksu I-tsing ke Sribhoja (sebagai kerajaan). Catatan lain, Takakusu sensei sebetulnya tidak menyebutkan secara jelas nama kerajaan yang beribukota di Bhoja (Takusu, hal. xl); yang beliau sebutkan semata ibu kotanya itu sendiri, yaitu “Bhoja”. Saat kerajaan (tanpa nama) yang beribukota di Bhoja ini memperluas wilayahnya hingga ke Malayu, yang juga mengindikasikan bahwa kerajaan ini berbeda dari Malayu, barulah kerajaan ini berganti nama menjadi Sribhoja. Lalu, apakah kerajaan Kandali ini yang disebutkan memiliki ibu kota di Bhoja – hingga saat kerajaan ini berganti nama menjadi Sribhoja? Ataukah, kerajaan ini merupakan kerajaan yang berbeda, baik dengan kerajaan Malayu ataupun dengan kerajaan yang beribukota di Bhoja? Sayangnya, penulis tidak menemukan cara untuk menjawab pertanyaan ini. Dan, seperti sensei Takakusu dan meester Groeneveldt, pada akhirnya kita hanya mampu bergantung pada tradisi catatan sejarah Cina yang menghubungkan antara kerajaan Kandali dan San-bo-tsai - dan, lalu kemudian, dengan Sribhoja dan (mungkin) Sriwijaya.