The names of some of the most ancient departments of human knowledge tell their own tale
Dalam bukunya The Science of Language (1899), Profesor Friedrich Max Müller, seorang filologis - atau katakanlah seorang "ahli bahasa" dari Jerman, menyatakan bahwa nama-nama dari beberapa disiplin ilmu pengetahuan kita sebetulnya bercerita tentang sejarahnya sendiri. Kata "geometri", semisal, terdiri dari kata /γῆ/ (gê), yang berarti "tanah atau bumi" dan kata /μέτρον/ (métron) yang berarti "mengukur" dalam bahasa Yunani. Hal ini, menurut beliau, mengisyaratkan bahwa ilmu pengetahuan ini, walau telah berkembang ke arah perhitungan-perhitungan yang relatif "abstrak", sebetulnya dimulai dari pengukuran-pengukuran hal-hal yang konkret, di sini; (tanah) kebun dan ladang. Satu lagi, yang beliau contohkan, adalah kata "botani" yang berasal dari kata /βοτάνη/ (botanē) yang bermakna "pakan ternak (fodder)" - yang juga berasal dari kata /βόσκειν/ (boskein) atau "memberi pakan" dalam bahasa yang sama. Ide sederhananya di sini adalah, sebagaimana yang juga terjadi pada kata "geometri", "botani" (bisa jadi) awalnya merupakan keahlian dalam memilih pakan ternak, yang lalu berkembang menjadi ilmu pengetahuan tentang tanaman (secara keseluruhan). Prof. Muller menambahkan, ilmu tentang tanaman dalam bahasa Yunani akan disebut sebagai "phytology" (pitologi) yang berasal dari kata /φυτόν/ (phutón) atau "tanaman".
Selain dari nama-nama suatu bidang studi, seperti dalam kata "geometri" dan "botani", sejarah perjalanan suatu disiplin ilmu sebetulnya juga dapat dilihat dari nama-nama "subjek" yang dikaji dalam ilmu pengetahuan tersebut. Masih menurut Prof. Muller, nama bulan, bintang, dan konstelasi dalam kajian astronomi, contohnya, memberikan isyarat yang jelas bahwa nama-nama ini diberikan oleh para pembajak tanah dan pengarung lautan, yaitu; para petani dan nelayan - atau mereka yang hidupnya bergantung pada kemampuan dalam membaca petunjuk-petunjuk yang bersinar dan berkelap-kelip di gelapnya malam. Sebagai contoh, "bulan" disebut sebagai "sang pengukur" oleh mereka yang pertama-tama mengobservasi hukum peredaran benda-benda langit atau astronomy (/ἄστρον/ [astron] atau "bintang" dan /-νομία-/ [nomia] dari /νόμος/ [nomos] atau "hukum" atau "budaya"). Hal ini disebabkan jauh sebelum manusia menggunakan hari, matahari, dan tahun sebagai suatu penanda, manusia sebetulnya menggunakan malam, bulan, dan musim dingin (winters) sebagai patokan untuk menentukan waktu. Dalam bahasa Indonesia sederhana, ada alasan mengapa "bulan" disebut "bulan": sebab, setidaknya pada awalnya, perubahan bentuk-bentuk bulan (fase bulan) digunakan untuk "mengukur" (1) bulan. Dan, penggunaan nama "bulan" untuk merujuk pada "bulan" ini tidak saja terjadi dalam bahasa Indonesia, tetapi juga di banyak bahasa lainnya. Tapi, hal ini akan kita bahas belakangan.
Penamaan gugus (rasi) bintang juga dapat menjadi contoh lain bagaimana penamaan subjek dalam ilmu astronomi dapat membantu kita memahami sejarah dari nama-nama itu sendiri. Salah satu yang dicontohkan oleh Prof. Max Muller adalah rasi bintang Pleiades (Πλειάδες) yang tampak di belahan bumi bagian utara. Menurut beliau, nama gugus bintang ini berasal dari kata "plein" yang memiliki arti "berlayar" - yang karenanya, rasi bintang ini dikenal sebagai "bintang pelayaran" (the sailing-stars). Dari nama inilah, kita dapat memahami bahwa mereka yang memberikan nama tersebut kemungkinannya adalah mereka yang mengamati angkasa raya untuk melihat rasi bintang ini sebelum mengarungi ombak dan gelombang samudra, sebab navigasi di perairan Yunani dianggap aman apabila rasi ini mulai tampak dan ditutup saat rasi ini menghilang. Di sini, kita paham bahwa "nama" dari konstelasi ini pastilah diberikan oleh mereka yang hidupnya bergantung pada dunia pelayaran, yaitu para pelaut.
Gugusan bintang ini tidak hanya dikenal oleh orang Yunani, tetapi juga bangsa-bangsa kuno lainnya, seperti bangsa Arab yang mengenal bintang ini dengan sebutan /الثريا/ (Al-Thurayyā), bangsa Cina yang menyebutnya dengan /昴/ (Mǎo), bangsa Jepang dengan sebutan /昴/ (Subaru), dan sebagainya. Menurut laman Facebook resmi Lapan RI, gugus bintang terbuka ini dikenal dengan nama Lintang Wuluh atau Lintang Kerti di cakrawala nusantara. Dan, sebagaimana nama-nama yang berbeda-beda yang diberikan oleh bangsa-bangsa ini, tentu atau biasanya akan ada cerita dibalik penamaan itu sendiri - yang membuat kita mengerti kenapa rasi bintang ini dinamakan demikian. Sayangnya, mungkin tidak semua mengetahui atau menyadari arti dibalik nama-nama tersebut. Jika saja kita mengetahui arti dibalik nama-nama ini, mungkin kita akan menemukan alasan, sejarah, atau bahkan cerita-cerita menarik dibalik penamaan itu sendiri. Seperti nama Latin dari Lintang Wuluh ini, Vergiliae, yang menurut Prof. Muller berasal dari kata "virga" yang berarti "tunas" atau "ranting". Jika dalam bahasa Yunani rasi bintang ini diberi nama yang berarti "berlayar" dan oleh karena itu yang memberikan nama kemungkinannya adalah mereka yang mengarungi lautan yaitu para pelaut, nama dari gugus bintang ini dalam bahasa Latin, yang berarti "tunas" atau "ranting", mengindikasikan bahwa mereka yang memberi nama Vergiliae pada konstelasi ini kemungkinannya adalah mereka yang mengamati tumbuhnya tunas dan ranting seiring dengan terlihatnya rasi Lintang Wuluh. Prof. Max Muller menyatakan bahwa nama ini diberikan oleh para petani Italia, sebab saat rasi bintang ini tampak, yaitu pada sekitar bulan Mei, gugus bintang ini menandakan kembalinya musim panas. Menariknya, dalam artikel mereka tentang rasi bintang Pleiades atau bintang Tsuraya, laman Facebook resmi Lapan RI menyatakan hal yang hampir senada:
Dalam tradisi agraris nusantara, munculnya Pleiades ketika fajar digunakan sebagai tanda untuk memulai menggarap sawah dan membersihkan huma, sebagai tanda awal bercocok tanam; sedangkan di timur tengah, Tsuraya yang terbit ketika fajar merupakan penanda berakhirnya masa mewabahnya hama tanaman dan dimulainya panen buah kurma
Dari keterangannya itu sendiri, kita tahu bahwa rasi bintang ini diamati oleh kelompok petani di nusantara dan timur tengah, yang membuat penggunaan gugus bintang ini lebih dekat dengan orang-orang yang berbahasa Latin ketimbang dengan orang-orang yang berbahasa Yunani, yang menggunakan konstelasi ini sebagai panduan navigasi pelayaran. Sayangnya, penyebutan gugus bintang ini dalam keterangan tersebut menggunakan nama Yunani, Pleiades, dan bukan dengan nama yang digunakan oleh orang-orang di nusantara; dengan nama apa konstelasi ini disebutkan dalam tradisi tersebut? Apakah Lintang Wuluh ataukah Lintang Kerti? Yang pasti, nama lokal yang digunakan sangat mungkin terkait dengan "penggunaan" dari rasi bintang itu sendiri - sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh nama "Pleiades" dan "Vergiliae". Dan dari nama-nama ini, narasi sejarah mulai menampakkan jejaknya...
Selama bertahun-tahun mempelajari tulisan-tulisan Prof. Muller dalam buku-bukunya, tulisan-tulisan beliau sepertinya selalu mengarah pada pencariannya terhadap sifat alamiah, asal-usul, dan perkembangan (the nature, the origin, and development) bahasa manusia - dan, tampaknya, pada akhirnya mengarah pada "bahasa(-bahasa) pertama (most ancient of tongues)". Tapi tentu, tidak mudah untuk mengikuti isi pemikiran beliau, menjabarkannya secara sederhana, dan, jelas, tidak memungkinkan untuk menuangkan semuanya dalam tulisan ini. Yang pasti, dalam tulisan-tulisan beliau, tetap ada hal yang sebetulnya berhubungan dengan bahasa yang kita gunakan, yaitu bahasa Indonesia; seperti asal-usul, penggunaan, dan hubungan bahasa Indonesia secara mendalam dengan bahasa-bahasa dunia - dalam tulisan ini, khususnya bahasa Inggris. Dan, untuk itu, kita butuh untuk kembali pada perihal tentang "nama bulan" yang sebelumnya telah kita bahas secara singkat.
"Bulan", sebagaimana yang mungkin banyak orang telah mengetahui, disebut "moon" dalam bahasa Inggris. Kata ini merupakan kata yang sangat tua dan berasal dari kata /mone/ dalam bahasa Inggris Pertengahan (Middle English, digunakan sekitar abad ke-11 hingga abad ke-15) - yang juga berasal dari kata /mōna/ dalam bahasa Inggris Kuno atau yang juga dikenal sebagai bahasa Anglo-Saxon (Old English, digunakan sebelum 1066 atau sebelum kedatangan orang-orang Normandia ke Inggris). Dan, sebagaimana kata "bulan", kata ini terhubung dengan kata "bulan" (month) dalam bahasa Inggris; yang berasal dari kata /moneth/ dalam bahasa Inggris Pertengahan dan /monaþ/ (sederhananya, dibaca: monath) dalam bahasa Inggris Kuno/Anglo-Saxon. Keduanya, atau kata "moon" dan "month" ini, kemungkinan berasal dari kata /méh₁n̥ss/ dalam bahasa Proto-Indo-Eropa (bahasa leluhur rumpun bahasa Indo-Eropa). Kata ini sendiri kemungkinan berasal dari akar kata /*meh₁-/ yang berarti "mengukur" (to measure).
Informasi ini kemungkinan tidak seberapa menarik, apalagi informatif, bagi penutur asli bahasa Indonesia seperti kita: terlepas dari informasinya itu sendiri, apa yang bisa kita dapatkan sebagai orang Indonesia dari informasi semacam ini? Ini sebetulnya merupakan suatu pertanyaan yang wajar saja yang bisa kita pertanyakan terkait informasi yang sepertinya tidak berhubungan dengan kehidupan kita sehari-hari... setidaknya, tidak dipermukaan...
Dalam keterangan lanjutannya, di antara banyaknya penjelasan yang Prof. Muller berikan, satu hal yang sebetulnya paling menarik untuk diperhatikan adalah keterangan beliau tentang kata yang berhubungan dalam bahasa Sanskerta (Sanskrit). "Bulan" disebut /मस्/ (mas) dalam bahasa Sanskerta dan, sebagaimana "bulan" terhubung dengan "bulan" dan "moon" terhubung dengan "month", kata "mas" (bulan sebagai benda langit) juga terhubung dengan /मास/ (mā́sa) yang berarti "bulan" (sebagai satuan waktu) dalam bahasa yang sama:
Pada titik ini, sebetulnya, penjelasan Prof. Max Muller mulai menjadi sangat menarik untuk dicermati bagi penulis yang merupakan orang Indonesia. Sebagai pengguna bahasa Indonesia, yang kebanyakan berasal dari bahasa Sanskerta, kita sesungguhnya masih menggunakan kata dalam bahasa Sanskerta ini:
Menurut Prof. Muller, sebagaimana kata "moon" dan "month" dalam bahasa Inggris yang berasal dari akar kata /*meh₁-/ yang berarti "mengukur" (to measure) dalam bahasa Proto-Indo-Eropa, kata "mas" dan "mā́sa" berasal dari akar kata /MA/ yang juga berarti "mengukur" (to measure, to mete) dalam bahasa Sanskerta. Karenanya, dalam bahasa Sanskerta, "saya mengukur" dinyatakan dengan /ma-mi/; "kamu mengukur" dengan /ma-si/; dan "dia mengukur" dengan /ma-ti/ (atau /mimi-te/). Menariknya, jika Prof. Max Muller menghubungkan kata "mas" dan "mā́sa" dengan akar kata /MA/ dalam bahasa Sanskerta, laman Wiktionary kata /मास्/ (mas) dan /मास/ (masa) justru menghubungkan kedua kata ini dengan akar /méh₁n̥ss/ dalam bahasa Proto-Indo-Eropa, yang secara langsung menghubungkan antara kata "mā́sa" (masa) dalam bahasa Indonesia dengan kata "month" dalam bahasa Inggris:
Dari keterangan-keterangan ini kita sebetulnya dapat mengetahui bahwa pada suatu masa, sebelum kata "masa" ini sendiri semata bermakna "waktu" secara umum, kata ini sesungguhnya juga bermakna "bulan" sebagai penanda waktu. Dan, dalam contoh kutipan yang diberikan laman Wiktionary dari kata /मस्/ (mas) dan /मास/ (mā́sa), keduanya sama-sama bisa bermakna "bulan" (moon) dan "bulan" (month):
Sekali lagi, dari penjelasan-penjelasan ini, kita bukan saja dapat menemukan hubungan yang ada antara kata "bulan" dengan kata "bulan" melalui suatu hubungan yang juga terdapat dalam kata "moon" dengan "month" dalam bahasa Inggris, tetapi kita juga dapat melihat hubungan yang ada antara kata "masa" dalam bahasa Indonesia dengan kata "moon" dan "month" melalui jalur bahasa Sanskerta. Sayangnya, sampai di sini masih kurang jelas, apakah pada suatu waktu nenek moyang bangsa Indonesia menggunakan kata "mas" untuk menyebut satelit bumi dan menggunakan kata "masa" untuk menandai pergerakan satelit ini dalam satu fase (revolusi) bulan ataukah neneng moyang bangsa Indonesia hanya mengenal kata "masa" untuk merujuk pada "bulan"; baik sebagai satelit bumi maupun sebagai suatu penanda waktu? Yang pasti, setidaknya kita tahu ada pergeseran makna yang dialami oleh kata "masa" itu sendiri. Pergeseran makna ini sebetulnya juga dapat dilihat dalam satu kata terkait lainnya. Menurut Prof. Muller, selain kata "mas" dan "masa" (mā́sa), satu kata lain yang terhubung dengan akar kata /MA/ dalam bahasa Sanskerta, yang berarti "mengukur" (to measure, to mete), adalah kata /ma-tram/ yang, sederhananya, bermakna: "alat ukur" (instrument of measuring). Dalam bahasa Sanskerta, kata ini menggunakan bentuk /मात्र/ (mātra). Sebagaimana kata /मास/ (mā́sa), bangsa Indonesia sebetulnya mengenal kata ini, walau tampaknya sangat jarang digunakan atau dipahami dengan pemaknaan yang jauh berbeda:
Masih menurut Prof. Muller, kata /मात्र/ (mātra) ini terhubung dengan kata /μέτρον/ (métron) dalam bahasa Yunani, seperti yang digunakan dalam kata "geometri", dan pada akhirnya juga terhubung dengan kata "metre" (meter) dalam bahasa Inggris. Di sini, kita kembali menemukan hubungan yang ada antara bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris melalui jalur Sanskerta. Dan, sebagaimana dengan kata "masa" yang berarti "bulan", kata "matra" juga datang dari akar kata /MA/ yang berarti "mengukur" dalam bahasa Sanskerta, sebagaimana juga kata "metre" (meter) datang dari akar kata /*meh₁-/ yang berarti "mengukur" (to measure) dalam bahasa Proto-Indo-Eropa. Karenanya, di sini, baik kata "masa" dan "matra" sama-sama terhubung dengan kata "moon", "month", dan "metre" (meter) dalam satu pemaknaan yang sama: "mengukur". Bedanya, jika "masa", "moon", dan "month" menggunakan "bulan" sebagai alat ukur, "matra" dan "metre" (meter) dijadikan suatu satuan (patokan) untuk mengukur.
Kesamaan ini jelas bukan suatu kebetulan. Kesamaan ini menunjukkan bahwa pada suatu masa, entah bagaimana, nenek moyang bangsa Indonesia sempat berinteraksi dengan nenek moyang bangsa Inggris, sebelum akhirnya nenek moyang bangsa Indonesia menggunakan bahasanya sendiri (di sini: bahasa Sanskerta) dan nenek moyang bangsa Inggris mengembangkan bahasanya sendiri; dari mulai bahasa Proto-Indo-Eropa, Yunani, Anglo-Saxon (bahasa Inggris Kuno), hingga menjadi bahasa Inggris yang kita kenal pada saat ini. Dan, sebagaimana yang Prof. Muller terangkan dan penulis sertakan di awal tulisan ini, kesamaan ini sebetulnya bercerita banyak tentang sejarah bahasa Indonesia, walau mungkin tidak secara terperinci, tetapi secara garis besar semata. Contoh yang paling mudah yang mungkin bisa kita dapatkan adalah nenek moyang-nenek moyang ini merupakan orang-orang yang mengenal "ukuran" atau mengetahui cara "mengukur" dengan terperinci, baik dengan menggunakan fase/revolusi/perubahan bentuk bulan atau dengan menggunakan satuan ukur yaitu "matra" dan "metre" (meter). Menariknya, perubahan makna pada kata "masa" dan "matra" sebetulnya turut mengindikasikan adanya perubahan yang terjadi pada masyarakat nenek moyang orang Indonesia. Sayangnya, untuk saat ini, kita mungkin hanya bisa memahami "pergeseran" ini dalam suatu tanya, dan bukan pada suatu kesimpulan akhir. Contohnya, apakah penggunaan kata "meter", dan bukan "matra", mengindikasikan hilangnya kemampuan "mengukur" nenek moyang bangsa Indonesia pada suatu waktu - yang entah disebabkan oleh faktor apa? Apakah hilangnya kemampuan tersebut yang menjadi alasan kata "matra" ini bukan saja mengalami pergeseran jika kita gunakan pada masa ini, tetapi tidak lagi digunakan sebagai satuan ukur? Padahal, dalam penggunaannya, kata "matra" sama persis dengan kata "metre" (meter) dalam bahasa Inggris? Ataukah, kata "matra" sebetulnya tetap digunakan hingga, pada satu titik, kata ini kalah dalam hal popularitas, sehingga kata ini tidak lagi digunakan dan tergantikan oleh kata serapan "meter" yang jauh lebih populer? Tetapi, sekali lagi, mau apa pun jawaban yang kita dapatkan, tetap dari perubahan "nama-nama" ini atau "kata" yang kita gunakan, di baliknya tetaplah ada cerita dan sejarah yang membantu kita memahami lebih baik tentang siapa kita dan/atau apa yang telah dilalui oleh nenek moyang bangsa ini.
Dan, sebagaimana dengan kata "matra", pergeseran makna yang terjadi pada kata "masa" sejatinya juga mengindikasikan perubahan lain yang dialami oleh nenek moyang bangsa Indonesia. Tentu, pertanyaan utamanya adalah: bagaimana kata "masa" yang memiliki pemaknaan yang sama dengan kata "bulan", baik semata sebagai satelit bumi atau penanda waktu maupun bermakna keduanya sekaligus seperti yang dicontohkan dalam keterangan Wiktionary di atas, dapat tergantikan oleh kata "bulan" dan, pada akhirnya, mengalami pergeseran makna? Satu hal yang mungkin bisa dicermati sejauh ini adalah penggunaan kata "bulan" untuk merujuk pada satelit bumi dan alat ukur waktu yang menggunakan peredaran satelit tersebut sebagai penanda, yang berbeda dengan penggunaan dua kata dalam bahasa Inggris, yaitu "moon" dan "month", bisa menjadi suatu indikator yang baik bahwa perhitungan bulan dengan menggunakan periode bulan masih dikenali oleh nenek moyang bangsa Indonesia. Apakah hal ini dipengaruhi oleh perhitungan "masa" dengan menggunakan metode yang sama (bulan) yang mengisyaratkan terjadinya asimilasi bahasa, sekaligus percampuran masyarakat alias perkawinan campuran nenek moyang bangsa Indonesia; antara nenek moyang yang berbicara bahasa Sanskerta dengan nenek moyang yang berbicara dalam bahasa Melayu? Pergeseran (bentuk) "kata" yang diakibatkan oleh bertemunya masyarakat yang berbicara dalam bahasa yang berbeda sebetulnya merupakan hal yang wajar. Prof. Max Muller, dalam bukunya, menjelaskan bahwa perubahan dari bahasa Inggris Kuno (Anglo-Saxon) menjadi bahasa Inggris Pertengahan, atau dalam konteks ini dari kata /mōna/ menjadi /mone/ dan dari kata /monaþ/ menjadi /moneth/, turut dipengaruhi oleh masuknya orang Denmark (Danish) dan Normandia ke tanah Inggris. Perubahan dari penggunaan kata /mā́sa/ menjadi kata "bulan" untuk merujuk pada hal yang sama jelas menyimpan cerita pertemuan antara nenek moyang yang berbahasa Sanskerta dengan nenek moyang yang berbahasa Melayu. Pertanyaan lanjutannya hanya tinggal: bagaimana, dari mana, di mana, kapan, dan sebagainya- yang, sayangnya, tidak dapat penulis temukan untuk saat ini. Yang pasti, kita tahu bahwa kata "bulan" berasal dari bahasa Melayu - yang entah dari mana asalnya dan apa akar katanya:
Sebagaimana yang telah penulis sertakan pada awal tulisan, yang berasal dari pernyataan Prof. Max Muller, sebagian "nama-nama" (atau bahkan "kata-kata") yang kita gunakan sebetulnya mampu untuk bercerita tentang dirinya sendiri. Dan, dalam penceritaannya, kita dapat melihat sejarah para penggunanya. Sayangnya, tidak seperti sejarah yang kita dapatkan dari keterangan langsung, narasi yang kita dapatkan dari etimologi (asal kata) ini memang harus diakui terkesan meraba-raba sejarah dari penggunaan "nama-nama" itu sendiri. Dan, seringkali, malahan, temuan yang didapatkan justru mengundang berbagai pertanyaan daripada jawaban. Sebagaimana yang terjadi pada penggunaan kata "bulan", "masa", dan "matra" dalam bahasa Indonesia di atas - bagaimana pergeseran penggunaan kata dan makna itu dapat terjadi? Dan, bagaimana ceritanya kata-kata yang digunakan di ujung tenggara benua Eurasia ini dapat terhubung dengan kata-kata yang digunakan oleh orang-orang di ujung yang berseberangan dari benua tersebut? Apa yang sebenarnya terjadi? Dan, jika memang kata-kata ini berasal dari sumber yang sama, berapa lama perpisahan ini terjadi? Apakah temuan-temuan ini dapat mengantarkan kita pada pencarian kita terhadap bahasa-bahasa pertama? Tetapi, jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini tentu saja tidaklah mudah untuk dijawab. Yang pasti, jika ada satu tanya yang penulis ingin tanyakan: apakah temuan-temuan ini betul-betul tidak ada gunanya sama sekali?
Dan saya akan biarkan masing-masing orang dengan pikirannya sendiri-sendiri...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!