Belakangan ini sifat intoleransi dan radikalisme tengah meluas di di media online, media sosial bahkan kehidupan nyata. Tragedi tersebut membuat isu nasionalisme menjadi perbincangan hangat dan menarik perhatian publik.Â
Diantaranya terdapat kasus NII yang melanda wilayah Garut. Ketua Aliansi Masyarakat Garut Anti Radikalisme dan Intoleransi (Almagari) KH Abdul Mujib mengungkapkan salah satu yang tengah menyusup ke tengah masyarakat adalah gerakan NII (Negara Islam Indonesia) pada Rabu, 2 April 2022 lalu.
NII merupakan suatu organisasi yang menjadikan Sensen Komara (alm) warga Kecamatan Karangpawitan sebagai sosok pemimpin atau presiden bahkan disebut pula sebagai panglimanya. Walaupun tokoh NII Sensen tersebut sudah meninggal pada tahun 2020 namun pengikutnya masih tetap bermunculan dan menunjukkan aksi yang membuat aparat penegak hukum harus kembali bertindak.
Selain itu, terdapat pula kasus Pendeta Saifuddin Ibrahim. Permintaan seorang Pendeta Saifuddin Ibrahim atau Abraham Ben Moses yang bersifat intoleran sebab meminta Kementrian Agama (Kemenag) untuk menghapus 300 ayat di dalam Al Quran.Â
Menurutnya ayat-ayat tersebut mengajarkan kekerasan dan terorisme serta mengatakan bahwa pesantren adalah sumber terorisme. Sungguh perkataan Pendeta Saifuddin tersebut sangat kejam dan menistakan agama Islam. Penegak hukum harus menindak tegas dalam menangani kasus radikalisme dan penistaan serta sikap intoleran yang dilakukan oleh Pendeta tersebut.
Kasus ini dapat menjadi contoh nyata bahwa penceramah dalam agama apapun dapat bersifat radikal, menyebarkan permusuhan, intoleran. Hal ini harus menjadi perhatian serius oleh BNPT jika ingin menegakkan dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila, mencerminkan Bhinneka Tunggal Ika, serta membasmi radikalisme.Â
Jika sifat seperti ini selalu saja dibela dan diwajarkan sebab dia merupakan seorang pemimpin atau penceramah maka radikalisme tidak akan pernah hilang dalam negara Indonesia.
Selain itu, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Boy Rafli Amar mengatakan bahwa 50% konten di media sosial berisi ujaran intoleransi dan rencana kejahatan.
Tentu berdasarkan beberapa contoh di atas dapat dipahami bahwa negara Indonesia masih minim akan sifat toleransi dan menghargai antar sesama. Masih terdapat banyak kasus maupun indikasi-indikasi mengenai radikalisme dan intoleransi di berbagai daerah. Jika dilihat Indonesia sangat miris dalam menangani radikalisme yang tidak kunjung mereda, terutama radikalisme yang melanda antar umat beragama.
Padahal negara sudah menjamin rakyatnya untuk memeluk agama sesuai kepercayaan dan keyakinannya masing-masing. Hal ini dijelaskan dalam UUD 1945 Pasal 29, ayat (2): Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Namun tetap saja beragam paham dan ajaran baru muncul, tercipta berbagai pemberontakan,dan lain sebagainya yang menghilangkan kedamaian. Hal ini harus menjadi perhatian bagi masyarakat maupun pemerintah untuk bersama-sama membasmi radikalisme dan merubah pola pikir atau sifat intoleran dalam hidup. Pemerintah dapat menangkal radikalisme melalui cara moderat untuk menjaga persatuan bangsa didampingi dengan dukungan dari masyarakat. Sehingga kita dapat bergotong royong menciptakan kehidupan yang harmonis.