Salah satu prinsip yang paling sering diulang dalam industri media digital adalah "konten adalah raja." Jika Anda mengikuti cukup banyak diskusi di bidang ini, ungkapan tersebut akan terdengar berulang kali, baik dari para praktisi pemasaran digital maupun pembuat platform media. Meskipun pernyataan ini mengandung kebenaran, ada kekeliruan umum yang sering terjadi: anggapan bahwa produksi konten adalah tujuan akhir. Padahal, produksi konten hanyalah langkah awal yang membawa tantangan baru, seperti pertanyaan mendasar tentang siapa yang akan mengonsumsi konten tersebut dan bagaimana mereka akan menemukannya.
Baru-baru ini, saya merekam diskusi terkait pengumuman Jovial dan Andovi tentang keputusan mereka meninggalkan YouTube. Saya sangat menghormati mereka dan mengakui kontribusi besar mereka dalam menjadikan YouTube sebagai platform utama yang juga telah saya manfaatkan secara pribadi. Dalam video tersebut, saya telah menyampaikan banyak pemikiran saya, tetapi ada satu pelajaran penting yang terus saya renungkan: saya tidak dapat menyalahkan audiens saya karena tidak mengonsumsi konten saya.
Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa audiens memiliki dua sifat paradoks: mereka berdaulat namun tidak sepenuhnya menyadari apa yang mereka inginkan. Audiens dianggap berdaulat karena mereka memiliki kendali penuh atas keberhasilan sebuah konten; nilai sebuah konten sering kali diukur dari seberapa banyak orang yang menontonnya. Dalam konteks ini, audienslah yang sebenarnya menjadi "raja," bukan sekadar kontennya.
Namun di sisi lain, audiens juga tidak sepenuhnya menyadari atau peduli terhadap niat di balik sebuah konten. Mereka hanya mengonsumsi konten yang sesuai dengan preferensi mereka tanpa mempertimbangkan motivasi pembuatnya. Konsep ini mengingatkan saya pada gagasan Roland Barthes tentang "kematian pengarang," di mana makna suatu karya tidak lagi bergantung pada niat penciptanya, melainkan pada interpretasi audiens.
Paradoks ini menciptakan dinamika hubungan kekuasaan antara pembuat konten dan audiens. Di satu sisi, pembuat konten memiliki potensi untuk membentuk persepsi audiens melalui karya mereka. Namun, di sisi lain, agar kontennya dapat diterima, pembuat harus memahami keinginan dan kebutuhan audiens. Oleh karena itu, memahami audiens menjadi kunci utama dalam mencapai kesuksesan, meskipun proses ini sering kali sulit karena membutuhkan kesediaan untuk "melepaskan" sebagian kontrol kepada audiens.
Namun, memberikan audiens posisi yang lebih kuat tidak berarti menyerahkan kendali sepenuhnya. Sebaliknya, ini adalah langkah strategis untuk membangun hubungan yang saling menguntungkan, di mana pembuat konten dapat lebih memahami kebutuhan audiens dan mengartikulasikan pesan mereka dengan lebih efektif. Seperti dalam dunia politik, keberhasilan tidak hanya bergantung pada ide terbaik, tetapi juga pada kemampuan untuk menyampaikan ide tersebut dengan cara yang dapat diterima oleh khalayak.
Faktor lain yang tidak dapat diabaikan dalam ekosistem media digital adalah peran platform. Algoritma yang diterapkan oleh platform memiliki pengaruh besar dalam membentuk pola konsumsi audiens. Oleh karena itu, mengabaikan algoritma dan hanya berfokus pada produksi konten adalah kesalahan. Jika audiens adalah pihak yang berdaulat, dan perilaku mereka sangat dipengaruhi oleh algoritma platform, maka pembuat konten harus memahami dan beradaptasi dengan sistem tersebut.
Perkembangan teknologi digital memang membawa tantangan bagi media tradisional, tetapi di sisi lain, ia juga menciptakan peluang bagi media baru dan kreator individu. Meskipun demikian, ketidakpastian tetap menjadi bagian dari permainan ini. Dalam lanskap media digital, hubungan tidak lagi hanya antara produser dan audiens, tetapi juga melibatkan platform sebagai variabel penentu.
Keberhasilan sebuah konten tidak hanya ditentukan oleh kualitasnya, tetapi juga oleh pemahaman akan bagaimana platform mendistribusikannya kepada audiens yang tepat. Oleh karena itu, sebagai pembuat konten, saya menyadari bahwa jika saya gagal menjangkau audiens saya, saya tidak bisa sekadar menyalahkan mereka. Sebaliknya, saya harus terus belajar dan beradaptasi dalam menghadapi tantangan yang ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H