Mohon tunggu...
Octaviana Dina
Octaviana Dina Mohon Tunggu... -

Cogito ergo sum\r\n\r\nhttps://octavianadina.wordpress.com/\r\n

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Romantika Taksi (3)

22 Mei 2014   00:18 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:16 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ilustrasi : dailymail.co.uk

Sebagai lanjutan dari catatan ingatan tentang pengalaman menumpang taksi yang saya posting tanggal 12 Mei lalu (Romantika Taksi 1 & 2), maka dalam artikel ini memuat pengalaman naik taksi yang saya alami saat berkunjung ke luar negeri.

Lebih dari satu dekade lalu, saya berkesempatan melancong ke Eropa. Bersama tiga orang teman, saya berangkat dari Jakarta dengan tujuan pertama kota Paris. Setelah menempuh perjalanan udara selama 16 jam dengan maskapai Emirat Air, tibalah kami di bandara Charles De Gaulle menjelang tengah hari waktu setempat. Selesai urusan bagasi, kami pun menuju pintu keluar lobi bandara. Selagi tengah celingak-celinguk mencari keberadaan taksi, yang tak nampak di luar lobi, seorang pria berpostur tinggi langsing –saya perkirakan berusia 30-an- menghampiri kami. “Taxi?” ujarnya dengan cengkok Perancis yang khas. Nah ini dia! “Oui (ya)! Oui!” sahut kami sambil mengangguk-anggukkan kepala. Pria itu mengenakan setelan pantalon coklat, hem putih berdasi merah, plus jas coklat dengan aplikasi bahan kulit berwarna coklat muda pada masing-masing bagian siku lengannya. Seingat saya wajahnya cukup tampan: berkacamata, berambut coklat pirang dengan kumis tipis dan cambang halus di pipinya. Pendeknya, rapi dan serasi seperti layaknya penampilan pegawai kantoran kelas menengah atas.

Salah seorang teman saya lalu menjelaskan alamat hotel tujuan kami (teman saya fasih berbahasa Perancis). Pria itu mengangguk dan mengisyaratkan agar kami mengikutinya. Bagi saya yang baru pertama kali menginjakkan kaki di Eropa, saya mengira pria itu adalah petugas bandara yang cepat tanggap melihat aksi celingak-celinguk wisatawan Asia. Dua meter dari pintu keluar, sebuah mobil Mercedes Benz bercat gelap terparkir. Tak ada indikasi jika mobil tersebut adalah taksi. Ia membuka bagasi, lalu mengambil sehelai karton putih selebar dua kali ukuran kertas A4 bertuliskan angka 250 Fr (saat itu Eropa belum menggunakan mata uang Euro) dengan spidol merah. Kami paham, itulah tarif yang diinginkannya: 250 Franc Perancis. Kami sepakat. Pria itu mempersilahkan kami naik, sementara ia memasukkan koper-koper kami ke dalam bagasi. Selesai urusan koper, ia membuka pintu depan dan duduk di belakang kemudi. Lho?? Dia supir taksinya??? Wah!

Maka saya pun senyam-senyum cengar-cengir. Begitu juga teman-teman saya. Kami mulai melontarkan celetukan-celetukan usil. “Hehehe…seumur-umur baru kali ini nih dapet sopir bule,” kata saya sambil cengengesan. “Kalo di Indonesia nggak mungkin lho,” timpal teman saya. “Naik Mercy, supir bule, serasa jadi bos!!”Kami pun ketawa-ketiwi, sambil ditahan-tahan tentunya. Takut pak sopir tersinggung, meski saya jamin pak sopir enggak ngerti bahasa Indonesia..hehehe.

Ternyata di kota sekelas Paris tak dinyana kami menemukan supir taksi model‘koboy’. Ceritanya, pada hari kedatangan kami di sana, selepas menaruh barang bawaan di hotel, mandi dan berganti baju, kami langsung bablas menyusuri Paris hingga malam. Menjelang jam 22, kami naik Metro (kereta bawah tanah). Baru beberapa menit, kereta berhenti di sebuah stasiun. Selang beberapa detik kami mulai heran, kok ini kereta nggak maju-maju. Stasiun juga tampak sepi. Tak lama, sang masinis keluar dari ruang kemudi. Kostumnya sudah berganti T-shirt dan celana pendek. Dia melenggang tanpa beban meninggalkan kami dan beberapa penumpang lain (kebanyakan berwajah Asia) yang terbengong-bengong. Lho, masinisnya kabur ke mana tuh?? Apa perjalanan kereta memang berakhir di sini?? Kok nyelonong begitu saja?? Sial!! Kami memang tidak mengetahui jam operasi Metro. Mungkin memang salah kami tidak mengecek jadwal. Tapi mbok ya bilang-bilang, kasih pengumuman kek. Dasar masinis songong!

Nah, akibat kaki sudah 4L (lelah, letih, loyo dan letoy) akibat berjam-jam ngukur jalanan, kami memutuskan pulang naik taksi. Kami menyetop taksi berwarna putih. Supirnya sudah agak berumur, saya perkirakan sekitar 43-45 tahun. Jalanan sudah agak sepi. Maklum, di musim panas warga Paris banyak yang berlibur ke luar kota atau luar negeri. Di sebuah perempatan, lampu merah menyala. Si supir tampak celingak-celinguk, tengok kiri tengok kanan. “No police? No police?” ujarnya. Kami pun ikut celingak-celinguk memperhatikan. Tak ada polisi. Lalu…wuuuusshh! Si supir tancap gas menerobos lampu merah. Waduh! Gimana kalau nanti ketahuan dan ketangkep nih?? Namun untunglah, aksi supir tersebut berhasil dengan mulus. Haha! Dekat hotel, kami turun dan membayar ongkos. Seingat saya kami membayar 40 Fr dengan selembar pecahan 50 Fr. Ada sisa 10 Fr. Tapi si supir tak mengembalikannya. “C’est tout, c’est tout (sudah ya, sudah ya),” katanya seraya menggerak-gerakkan kedua telapak tangannya dengan gerakan menyilang di depan dada. Kami segera paham maksudnya. Tampaknya ia meminta kembalian 10 Fr tersebut sebagai tip. Ya, sudah, ambil saja, begitu jawab kami seraya tersenyum geli melihat kelakuannya. Mungkin dia tahu, orang Asia biasanya murah hati..hehehe.

Lain hari, untuk menghemat waktu ke tampat tujuan kami mencegat taksi. Jarak yang kami tuju tidak jauh-jauh amat, tapi ketimbang jalan kaki jauh lebih cepat jika naik taksi. Tak disangka, sambil mengantar kami ke tujuan, sang supir taksi malah ‘mengkuliahi’ kami. “Naik taksi itu mahal. Lebih baik kalian jalan kaki, selama jaraknya masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki,” kira-kira begitu perkataannya. Dinasehati begitu kami hanya saling pandang sambil tersenyum-senyum. Laaah, ya nggak apa-apa dong, Bang. Namanya juga turis. Mau jalan kaki kek, naik taksi kek, naik Metro kek, ya terserah turisnya dong! Bayar pake duit sendiri ini, celetuk saya dalam hati. Seumur-umur naik taksi baru kali ini nih saya dinasehati begitu sama supir taksi. Jangan-jangan dia berkata begitu karena tampang kami masuk kategori MOS (muke orang susah) yaa???

Dari Perancis kami menyeberang ke Spanyol dengan kereta api. Tujuan kami adalah Sevilla, nun jauh di selatan sana. Dari kota Lourdes kami naik kereta ke Irun, kota kecil tepat di perbatasan Perancis selatan-Spanyol utara untuk berganti kereta. Menjelang tengah malam, kami naik kereta Estrella –kereta malam berkompartemen yang menyediakan ranjang sempit untuk tidur- menuju Madrid, ibukota Spanyol. Setelah semalaman terguncang-guncang di kereta, paginya sekitar pukul 07.30 kami tiba di stasiun Madrid Chamartin. Untuk sampai ke Sevilla, kami harus melanjutkan perjalanan dengan kereta supercepat alias kereta peluru dari stasiun yang berbeda yakni Madrid Atocha. Dan kami hanya punya waktu setengah jam untuk berganti kereta. Bisa dibayangkan betapa paniknya kami. Madrid Atocha??? Di mana ituuuu??? Waktu kami cuma setengah jam!! Satu-satunya yang kami andalkan saat itu adalah supir taksi. Ya, supir taksi yang bisa membawa kami secepat kilat ke sana! Setengah berlari sambil menggeret-geret koper kami menuju pintu keluar stasiun. Ada taksi kuning menunggu penumpang. Teman saya –yang bertindak selaku pemimpin rombongan- berbicara dalam potongan-potongan kalimat bahasa Spanyol kepada sang supir. Menjelaskan situasi genting yang kami hadapi : kami harus secepatnya sampai di stasiun Madrid Atocha! Supir taksi berambut pirang pasir keriting itu mengangguk-angguk tanda mengerti, lalu tancap gas alias ngebut sepanjang jalan mengantar kami ke tujuan.Untung tidak sampai tertangkap polisi karena ngebut. Limabelas menit kemudian, kami pun sampai. Terimakasih, Tuhan! Gracias (terimakasih), Pak supir, Anda telah menyelamatkan kami!

Pengalaman bertaksi ria lainnya di Spanyol yang paling saya ingat adalah ketika kami hendak meninggalkan Sevilla. Kami memesan taksi lewat hotel dengan tujuan ke stasiun kereta Sevilla Santa Justa. Taksi kali ini adalah sedan hatchback bercat putih, entah mereknya apa. Yang jelas taksi ini tak memakai atribut yang menandakan kalau mobil ini adalah taksi. Supirnya lelaki muda –saya tebak umurnya tak lebih dari 22 tahun- berperawakan langsing, tak terlalu tinggi, berambut gelap, dan berwajah cukup ganteng. Yang menarik, dalam perjalanan supir ini berpapasan dengan pengemudi kendaraan yang tampaknya adalah temannya. Mereka saling bertegur sapa, lebih tepatnya berbicara agak panjang. Si teman menegur dengan nada ramai. Meski hanya paham sedikit bahasa Spanyol, insting saya bisa meraba kalau si teman supir yang satu itu tengah meledeknya. Saya memperhatikan supir taksi kami ini menjawab seraya senyam-senyum dan tertawa malu-malu. Mungkin si teman meledek karena dia tengah membawa cewek-cewek Asia nan eksotis dalam taksinya…hahaaayyy!

Pengalaman naik taksi yang tak bisa saya lupakan lainnya adalah pada akhir destinasi kami. Hari itu kami akan pulang ke Jakarta dari Zurrich, Swiss. Via hotel kami memesan layanan taksi ke bandara. Taksinya memakai mobil jenis station wagon. Sang pengemudi berperawakan pendekar alias pendek dan kekar. Rambutnya hitam lebat lengkap dengan kumis dan brewok yang rapih. Ia memperkenalkan diri, namanya Ben Mahmoud asal Tunisia. Ben memasukkan koper-koper kami ke bagasi. “Koper-koper kalian berat sekali. Apa isinya? Money??” celetuknya usil. Kami hanya cengengesan, dan segera naik. Ben siap di belakang kemudi. “Anda semua dari mana?” tanyanya. “Indonesia!” kami menjawab serentak. “Indonesia?? Assalamu’alaikuuuummm!!!” seru Ben Mahmoud. Salam sejahtera dari Ben sontak kami balas. “Wa’alaikumsalaaaaammm!!” sahut kami kompak meski kami berempat bukan Muslim.

Selain kami, Ben Mahmoud menjemput dua penumpang lain di dua hotel berbeda. Penumpang pertama adalah seorang wanita setengah baya berkebangsaan Amerika. Dua teman saya sempat bercakap-cakap sedikit dengannya. Penumpang yang satunya lagi seorang laki-laki berusia sekitar 35 tahunan. Tampaknya seorang businessman, ia mengenakan setelan jas dan membawa tas kerja. Begitu duduk, ia langsung sibuk dengan lembaran kertas kerjanya. Entah berkebangsaan mana, kami tak saling berbicara. Sampai di bandara, sang Nyonya Amerika turun terlebih dulu. Ben bilang, kami akan turun di terminal lain. Taksi berjalan lagi. Setelah beberapa lama, Ben menghentikan mobil, sementara kami asyik mengobrol. Selang beberapa detik, Ben berkata, “Ladies, apakah kalian mau kembali lagi ke hotel??”Kami terkejut. Lho?? Rupanya inilah terminal tempat kami turun. Dengan terburu-buru kami pun keluar dari taksi. Sementara saya sempat melihat si businessman tertawa kecil. Aaaiiiihhh, si Ben! Bilang dong kalau sudah nyampe di TKP. Bikin tengsin (malu) aja...***

Octaviana Dina

Jakarta, Mei 2014

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun