Mohon tunggu...
Octaviana Dina
Octaviana Dina Mohon Tunggu... -

Cogito ergo sum\r\n\r\nhttps://octavianadina.wordpress.com/\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Riwayat Laut

23 Februari 2014   03:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:33 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13930747271704636069


….nafasmu tak ditakdirkan untuk berhenti di hari itu. Hitam itu mengambil semua yang kau miliki kecuali tubuh dan nyawamu. Hitam itu memberimu sesuatu yang tak kau punya sebelumnya. Luka hati maha dalam.

Pertama kali kau menghabiskan malam di tempat ini, aku mendapatimu meringkuk di sudut ruangan yang sejak saat hari itu menjadi kediamanmu yang baru –untuk entah berapa lama. Aku melihat matamu meliar; berkilat-kilat memancarkan rasa takut. Tatapanmu berkeriapan menjelajah setiap jengkal ruang. Sementara mulutmu tak putus-putusnya mendesiskan kata itu. Hanya sepatah kata itu saja. “Hitam, hitaam, hitaaamm, hitaaaammm…,” begitu desismu tak kunjung habis. Malam kau limpahi dengan kata itu. Kata yang meloncat keluar dari dalam tenggorokan yang tercekat ketakutan. “Hitam, hitaam, hitaaamm, hitaaaammm….”

Dan ketika kaki fajar menginjak bumi, kau akhirnya jatuh terlelap. Rupanya, kau tak lagi berdaya berseteru dengan rasa lelah yang makin kuat membekap tubuh ringkihmu. Sepanjang siang kau terlena ditawan mimpi; tergolek dalam diam. Wajahmu tenang; entah ke mana perginya ketakutan yang semalam-malaman mendera.

Namun tatkala malam datang kembali membungkus bumi, kau pun segera mengulang ritual yang sama. Meringkuk di sudut dengan rasa takut meruah dalam sepasang matamu. Mulutmu kembali mendesiskan sepatah kata itu lagi, “Hitam, hitaam, hitaaamm, hitaaaammm....”Sebuah kata yang tak berkesudahan menyesaki ruangan sempit berteralis yang kini menjadi tempat tinggalmu yang baru –entah sampai kapan.

Kau membuatku kerap mendatangimu. Bukan karena tingkahmu yang ganjil itu. Bukan. Tempat ini telah sarat dengan pelbagai keganjilan para penghuninya jauh sebelum kau tiba. Kau hanyalah satu dari sekian banyak keganjilan yang memang sengaja disimpan di tempatterpencil ini agar tak mengganggu kenyamanan hidup banyak orang.

Hitam yang tak henti kau sebut sepanjang tiap malam itulah yang membuatku tergerak. Malam demi malam aku mengawasimu. Gerangan hitam apa yang tiap malam datang menyiksamu? Aku ingin melihat hitam itu. Aku ingin menyaksikan hitam yang kau lihat dengan sepasang matamu. Demikian mengerikankah hitam yang kau sebut-sebut itu hingga gelombang ketakutan terus bergulung-gulung di kedua bola matamu? Aku ingin mengetahuinya. Aku ingin menghadapinya. Hitam itu.

Lantas oleh karena itu, pada malam ketujuh aku menjelma. Kuputuskan menjadi seekor kelelawar. Hitam dan teramat sangat kecil. Kelelawar yang luar biasa kecil bagai sebintik noktah. Sehingga kau sama sekali tak menyadari dan merasakan tatkala aku terbang memasuki rongga telingamu. Aku berkelebat mengarungi liang gelap nan sempit di kepalamu itu. Menembus gendang telingamu. Terbang dan berputar-putar untuk menemukan jalan. Dan terus terbang hingga kusampai di pusat benakmu. Aku melayang dan hinggap dari satu simpul memori ke simpul memori lainnya. Mencari sumber kenanganmu tentang hitam yang tak ada habisnya kau desiskan sepanjang malam-malammu di tempat yang sarat dengan aneka keganjilan itu.

Akhirnya, di sebuah celah yang menganga pada salah satu bagian benakmu aku menemukannya. Sumber kenangan tentang hitam yang membuatmu menderita setiap malam. Tanpa kesulitan aku memasukinya. Aku merasukinya. Dan aku menyaksikannya. Hitam yang meneror malam-malammu.

Hitam itu rupanya berawal sana. Langit biru benderang pagi itu. Hari cerah yang membuat riang hati. Ya, hati siapa tak senang melihat langit biru dan laut biru membentang luas di hadapan mata? Akan tetapi, pada pagi indah itu, setelah tiba-tiba saja bumi menggeliat kuat bagai ingin mengebaskan segala yang tegak di punggungnya, hitam itu terbit dari laut. Tegak dan tinggi menjulang. Kian lama kian membesar, disertai bunyi desau menggemuruh. Bagai raksasa bangkit dari dalam lautan, lalu berlari menuju daratan dengan segenap kekuatan dan suara yang merontokkan nyali. Hitam itu menerjang dengan kecepatan penuh. Menghantam. Meremukkan. Menyapu. Melumatkan segala yang ada di depannya.

Kulihat hitam itu meluluhlantakkan kampungmu. Ia memecah rumahmu menjadi kepingan tak berarti. Kau dan keluargamu berhamburan menjauh. Lari kencang demi seutas nyawa di badan. Tetapi, hitam yang mengejar itu sungguh sangat cepat. Kakek nenekmu lenyap ditelannya. Juga ibu dan pamanmu. Lalu ayah serta adik-adikmu. Kau berteriak-teriak. Menangis keras menyaksikan mereka seketika raib dalam terkaman hitam yang mengerikan. Kau paksa kakimu berlari lebih kencang lagi. Rasa takut mencengkerammu hingga ke ubun-ubun. Akhirnya, hitam itu meraihmu jua. Menggulungmu dalam amuk.

Namun, nafasmu tak ditakdirkan untuk berhenti di hari itu. Hitam itu mengambil semua yang kau miliki kecuali tubuh dan nyawamu. Hitam itu memberimu sesuatu yang tak kau punya sebelumnya. Luka hati maha dalam. Cengkeraman rasa kehilangan yang mencekam. Ketakutan yang tak usai menghantui. Mimpi buruk tanpa akhir. Pemberian yang menghantarmu ke tempat menyedihkan ini.

Kini kupahami sudah arti hitam itu bagimu. Sekarang, mari kuceritakan kisahku. Biar kubisikkan di telingamu saat kau tengah terlena di hari benderang. Biar jiwamu mendengarkan aku.

Dahulu aku pun tinggal di sini, di tempat menyedihkan ini.Tapi aku berbeda denganmu. Aku bertugas merawat orang-orang sepertimu. Orang-orang ganjil dan aneh. Sekalipun tempat ini muram dan penuh keganjilan, aku suka bekerja di sini. Aku senang merawat orang-orang ganjil sepertimu. Orang-orang sepertimu, sekalipun seringkali berulah aneh dan merepotkan, membuatku merasa lebih berarti.

Kuhabiskan tahun-tahun hidupku di tempat ini. Aku sama sekali tak merasa rugi. Entah kenapa, tempat yang senantiasa gaduh oleh polah ganjil orang-orang sepertimu justru memberiku perasaan damai.

Suatu hari, karena masalah keluarga yang mendesak,aku dipanggil pulang ke kota kelahiranku yang jauh di timur. Maka pergilah aku. Terbang menumpang pesawat menempuh perjalanan panjang. Mulanya aku sangat menikmatinya. Pagi itu langit biru sekali, dan aku bisa melihat laut yang juga biru sekali membentang di bawah sana. Kau tahu, aku suka warna biru. Warna yang memberiku ketenangan.

Akan tetapi, siapa nyana, aku sendiri tak pernah menyangka, nafasku habis dalam haribaan biru yang luas itu. Aku tak pernah mengerti mengapa aku harus celaka di bawah langit yang begitu biru. Tak sekelumit pun aku tahu, kenapa pesawat tiba-tiba berguncang hebat. Bergemeretak dahsyat seolah akan retak berkeping-keping, sebelum akhirnya melaju deras menghunjam ke dalam jantung biru yang luas terhampar di bawah. Biru itu memerangkapku. Mengisi seluruh paru-paruku hingga nafasku enyah.

Pahamkah kau sekarang? Sesungguhnya aku telah berakhir dalam biru. Biru yang juga telah melahirkan hitam yang menakutkan itu. Hitam yang telah merampas segala yang kau miliki kecuali tubuh dan nafasmu. Hitam yang membuatmu terus meracau tak berkesudahan.

Mungkin kau bertanya, mengapa kini aku berada di sini. Kuberitahu, aku mencintai tempat ini. Di sinilah hidupku menjadi berarti. Karenanya dengan segala upaya aku berusaha kembali. Setelah beberapa lama tersesat dalam biru itu, aku akhirnya bertemu seekor lumba-lumba budiman. Pada siripnya aku menumpang, menempuh perjalanan panjang hingga kudapat pulang kembali ke tempat ini. Dan meskiaku tak bisa lagi bertugas merawat, aku merasa bahagia. Setidaknya aku bisa terus memperhatikan dan mengawasi orang-orang ganjil sepertimu. Aku sungguh bahagia.

Dan kelak pada suatu hari nanti, jika telah dapat melihat dan mengetahui aku, kuharap kau dan aku akan berkawan. Kita pasti menjadi sepasang sobat akrab. Sesuatu telah mengikat kau dan aku. Riwayat laut. Ya, riwayat laut itulah namanya; mengalir dalam riwayat kita. Selamanya.

Octaviana Dina

Jakarta, 2007

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun