Pagi tadi akun Fesbuk seorang kawan saya semasa SMAmemuat kisah tentang supir temannya yang babak belur digebuki pengendara mobil yang naik pitam akibat mobilnya disalip oleh supir tersebut. Kejadiannya sudah beberapa hari yang lalu. Ceritanya, si supir membawa mobil Daihatsu Grand Max di jalan tol –tidak disebutkan di jalan tol mana. Lalu ia menyalip sebuah sedan. Ternyata pengendara sedan itu tidak terima mobilnya disalip. Pengendara sedan itu langsung mengejar mobil yang dikendarai si supir temannya kawan saya ini, lalu menabraknya dari belakang serta melempari kaca depannya dengan batu hingga pecah. Si supir pun menghentikan kendaraannya.
Begitu si supir yang berperawakan kecil itu turun, pengendara sedan yang murka tersebut langsung menghajarnya bertubi-tubi tanpa ampun. Karena pengendara sedan itu bertubuh tinggi besar, maka akibatnya pun fatal. Supir temannya kawan saya itu jatuh tersungkur hingga nyaris pingsan dengan muka bengap biru lebam dan berdarah-darah. Tidak ada yang datang menolongnya. Si supir juga tak minta bantuan polisi dengan alasan dirinya sudah kesakitan dan pusing. Ajaibnya, meski dalam keadaan kesakitan dan pusing, si supir masih bisa mengendarai mobil sang majikan dengan selamat sampai di rumah. Supir tersebut akhirnya berobat ke dokter. Begitu kisah yang diceritakan kawan saya dalam status Fesbuknya.
Tergelitik dengan kisah itu, saya meresponnya. Saya katakan barangkali cara si supir menyalip yang salah : menyalip dengan tiba-tiba tanpa menyalakan lampu sein terlebih dahulu, dan dengan kecepatan tinggi sehingga membuat pengendara sedan yang disalipnya kaget. Bagi orang yang bertemperamen tinggi cara menyalip seperti itu sama saja dengan menantangnya berkelahi. Ya, bisa jadi supirteman kawan saya itu yang salah. Apalagi ceritanya hanya versi si supir yang tentunya bersifat sangat subyektif. Logikanya, jika cara menyalipnya benar, santun dan tidak membahayakan nyawa pengendara lain, takkan mungkin hal itu memicu kemarahan pengendara mobil yang disalipnya. Terkecuali bila kebetulan pengendara yang disalipnya tengah dalam kondisi jiwa yang labil dan tengah marah besar terhadap apa pun yang mendahuluinya.
Komentar saya diamini oleh salah satu teman kawan saya yang ikut mengomentari status tersebut. Rupanya teman kawan saya itu pernah mengalami kejadian serupa, yakni disalip secara sembarangan oleh pengendara lain saat ia tengah berkendara di jalan Tol Cikampek arah Jakarta. Ulah si penyalip yang menyalip dengan tiba-tiba tanpa memberi tanda terlebih dulu dengan lampu sein membuatnya terpaksa mengerem mendadak demi menghindarkan diri dari kecelakaan. Teman kawan saya itu langsung mengejar si penyalip dan berhasil memaksanya untuk berhenti. Meski dirinya seorang wanita, dengan berani teman kawan saya itu turun dari mobil serta menghampiri si penyalip sontoloyo tersebut, lantas menariknya keluar dari dalam mobil dan… menempelengnya! Ia melakukannya karena tindakan si penyalip dipandang sudah membahayakan orang lain di jalan raya.
Apa yang dikisahkan kawan saya dalam status akun Fesbuknya memang banyak terjadi di jalan raya. Semakin hari kita melihat bahwa kemampuan seseorang membeli dan mengendarai kendaraan di jalan raya tidak serta merta dibarengi kemampuan memahami dan menerapkan etika dalam berlalu lintas. Beberapa kali saya juga pernah dibuat geleng-geleng kepala dan jengkel akibat ulah pengendara mobil yang dengan entengnya meluncur dengan kecepatan tinggi di jalur paling kiri jalan tol –entah itu di tol dalam kota maupun di tol Jagorawi. Padahal orang yang berpendidikan seharusnya mahfum bahwa lajur paling kiri jalan berbahaya untuk digunakan untuk mendahului kendaraan lain, sebab lajur paling kiri jalan umumnya digunakan oleh kendaraan yang melambatkan kecepatan karena akan berbelok ke kiri atau akan berhenti karena sesuatu hal, seperti adanya kerusakan mesin dan sebagainya. Tak sedikit kita mendengar kecelakaan di jalan tol antar kota/propinsi yang diakibatkan kendaraan yang menabrak kendaraan yang tengah berhenti di bahu jalan alias lajur paling kiri.
Dalam urusan salip-menyalip kendaraan yang berada di depan, UU No. 22 tahun 2009 yang mengatur tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyebutkan dalam pasal 109 ayat 1 bahwa pengemudi kendaraan bermotor yang akan melewati kendaraan lain harus menggunakan lajur atau jalur jalan sebelah kanan dari kendaraan yang akan dilewati, mempunyai jarak pandang yang bebas, dan tersedia ruang yang cukup.
Menyalip dari lajur kiri jalan memang diperbolehkan, namun itu hanya dalam keadaan tertentu dan dengan syarat tidak membahayakan keamanan dan keselamatan lalu lintas dan pengguna jalan lainnya, sebagaimana yang tercantum dalam ayat 2 pasal 109 UU No. 22 tahun 2009 sebagai berikut : Dalam keadaan tertentu, Pengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan lajur Jalan sebelah kiri dengan tetap memperhatikan Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Entah seberapa banyak orang yang tak menyadari bahwa kemampuan menerapkan etika dalam berlalu lintas juga menunjukkan kualitas moral seseorang. Tingginya pendidikan atau besarnya kekayaan seseorang tidaklah berbanding lurus dengan kualitas moral dan etikanya dalam berlalu lintas. Seperti pemandangan yang saya saksikan pada suatu siang beberapa waktu silam di daerah Kebayoran Baru : sebuah sedan mewah bermerek BMW meluncur anggun, lalu salah satu jendela belakang perlahan membuka. Sedetik kemudian dari dalam sedan mewah itu melayang sebuah kotak kemasan karton yang mendarat dengan sukses di jalan yang kebetulan sedang sepi, dan… menumpahkan dan menyerakkan segala isinya : nasi beserta aneka lauk-pauknya. Duh!
Jakarta, 25 April 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H