Sumber ilustrasi : patheos.com
“Fretilin telah menyerang Atsabe, Senhor. Banyak orang terbunuh, termasuk wanita dan anak-anak. Mereka juga menangkapi orang-orang Apodeti. Namun Raja Atsabe dan sejumlah pejuang berhasil meloloskan diri ke perbatasan,” lapor Ernesto pada Joao Ermondo Carvalho.
Felemena Carvalho duduk mematung dalam kamarnya yang sempit. Sepotong lilin menyala di atas meja kayu di hadapannya. Malam yang mengurung perkampungan bagaikan malam dari jaman purba. Sunyi, gelap dan mencekam. Felemena tak mendengar suara apa pun selain suara serangga dan burung malam. Semenjak kerusuhan merebak lagi di Dili belakangan ini, sudah seminggu aliran listrik terputus. Membuat perkampungan di pinggiran kota gelap gulita di malam hari dan mencekam karena telah ditinggalkan sebagian besar penghuninya untuk mengungsi ke tempat yang lebih aman. Hanya tersisa segelintir orang yang memilih tetap bertahan di situ. Ia termasuk di antaranya.
Tiba-tiba terdengar suara-suara di kejauhan. Suara rentetan tembakan, sambung-menyambung selama beberapa detik. Kedengarannya datang dari arah bukit di selatan perkampungan. Hati Felemena robek. Konsentrasinya seketika buyar. Jemarinya berhenti di butir kelima manik-manik rosario dalam genggaman tangannya. Doa yang mengalir dari celah bibirnya terputus begitu saja. Belum ada kabar dari Adelino. Putera satu-satunya itu sudah beberapa hari tak pulang ke rumah. Kegelisahan dan kecemasan mencengkeram Felemena. Tergambar jelas di wajahnya yang sarat digarisi kerut. Kerut-merut buah kesedihan, kegelisahan, kecemasan, juga ketakutan yang telah lama menyertai perjalanan hidupnya, semenjak dirinya masih seorang gadis meztico –sebutan bagi Indo Portugis- yang jelita.
***
Siang yang panas di bulan September 1975. Dengan langkah tergesa Ernesto memasuki rumah besar bercat putih yang terletak di perbukitan.
“Fretilin telah menyerang Atsabe, Senhor. Banyak orang terbunuh, termasuk wanita dan anak-anak. Mereka juga menangkapi orang-orang Apodeti. Namun Raja Atsabe dan sejumlah pejuang berhasil meloloskan diri ke perbatasan,” lapor Ernesto pada Joao Ermondo Carvalho.
Seketika itu Mariana Theodalinda terisak-isak. Perasaan Felemena kian tak menentu. Sedih, khawatir dan takut menggumpal jadi satu. Ia bisa meraba kesedihan ibunya. Mariana Theodalinda adalah perempuan pribumi asal wilayah Atsabe yang terletak di utara Maliana. Setelah menikah, ia meninggalkan keluarganya untuk mengikuti Joao Ermondo, suaminya. Ayah Felemena.
“Miguel Saldanha terlihat berada dalam pasukan Fretilin, Senhor,” Ernesto menambahkan.
“Traidor!” geraman itu meluncur dari bibir Joao Ermondo. Felemena melihat kemarahan menyala dalam mata ayahnya. “Kau tidak salah lihat?” tanya ayahnya pada Ernesto. Kedua tangannya mengepal.
Ernesto menggeleng. “Tidak, Senhor. Memang benar dia, Miguel Saldanha,” tegas pemuda tegap berkulit cokelat itu. Ernesto adalah salah satu orang kepercayaan ayahnya. Keluarga Ernesto sudah tiga generasi bekerja pada keluarga Carvalho. Mereka merupakan penduduk pribumi yang berasal dari daerah barat Timor Portugal, tepatnya di timur Batugade. Dulu Josemagno Carvalho, kakek buyut Felemena yang berdarah Portugis murni, adalah pengusaha penggergajian kayu di Batugade. Kakek Ernesto merupakan salah seorang pekerjanya. Saat Josemagno Carvalho meninggal, anak lelaki satu-satunya, Joaquim Felipe –kakek Felemena- memutuskan menjual usaha ayahnya kepada seorang Portugis lainnya. Joaquim Felipe Carvalho kemudian merintis usaha perkebunan kopi di sebelah selatan Maliana. Keluarga Ernesto tetap mengikuti mereka. Ayah Felemena kini mewarisi perkebunan itu.
“Fretilin dipastikan sedang bergerak menuju Maliana. Apakah kita akan menunggu mereka di sini, Senhor?” lanjut Ernesto. Joao Ermondo terdiam.
Setelah pemerintahan Portugal meninggalkan Timor bulan lalu, keadaan makin tak terkendali. Pihak Fretilin mengambil alih belasan ribu pucuk senjata pihak militer. Pergolakan yang memanas di Timor Timur sejak tahunlalu menempatkan Joao Ermondo ada posisi sulit. Dirinya adalah partisan UDT –Uniao Democratica Timorense, sebuah partai politik yang menginginkan otonomi Timor Timur secara penuh di bawah pemerintahan Portugal. Sebagai penganut Katolik yang taat, ia tak menyukai Fretilin yang dianggapnya beraliansi dengan paham komunis. Namun tanpa diduga, ternyata Fretilin dan UDT memutuskan untuk berkoalisi pada awal tahun itu.
Sementara di lain pihak, Mariana Theodalinda, isterinya, berasal dari wilayah Atsabe yang mendukung partai Apodeti. Raja Atsabe adalah salah satu pemimpin Apodeti. Bulan lalu UDT menyerang basis Apodeti di wilayah Atsabe, Laleia dan Balibo. Sedangkan di Dili, Fretilin justru berkolaborasi dengan Apodeti untuk menggempur pihak UDT. Sementara di Suai, Apodeti berjuang bersama UDT untuk mengusir Fretilin. Hubungan saling silang yang rumit antar ketiga partai ini sungguh membingungkan Joao Ermondo.
Sambil memeluk ibunya, Felemena menatap ayahnya yang tegak memandangi hamparan perkebunan kopi jauh di luar sana. Ia merasakan ketegangan sedang melanda lelaki itu. Hati Felemena makin cemas.
Malam itu Joao Ermondo mengumpulkan seluruh keluarga, termasuk para pekerja perkebunan beserta keluarga mereka. Ia memerintahkan agar para wanita, anak-anak dan orang lanjut usia segera diungsikan ke luar Maliana demi keamanan. Ernesto dan beberapa pemuda yang pernah menjadi Voluntario –relawan yang dilatih kemiliteran untuk pertahanan sipil- ditugaskan untuk mengawal rombongan menempuh perjalanan panjang menuju Concelho Oekusi lewat perbatasan Indonesia.
“Papa, aku tidak mau pergi. Aku ingin menemani Papa,” isak Felemena seraya memeluk Joao Ermondo. Ia teramat dekat dengan ayahnya itu.
Joao Ermondo mencium kening puteri satu-satunya. “Tidak, Felemena sayang. Kau harus pergi bersama Mamamu. Di sini terlalu berbahaya. Percayalah, Papa akan baik-baik saja. Kakak-kakakmu akan menjaga Papa,” tegasnya dengan suara bergetar. Sesungguhnya Joao Ermondo tak ingin membuat keputusan itu, namun hanya itulah pilihan terbaik yang dimilikinya saat ini. Felemena kian terisak-isak.
***
Sejak kepergiannya dari Maliana pada hari itu, Felemena merasa peluru selalu mengikuti langkahnya. Ia dan rombongannya tak pernah sampai di Oekusi. Saat baru saja melewati perbatasan, mereka telah dihadang Fretilin yang baru saja melakukan penyerangan di beberapa desa di Tasifeto. Ernesto dan beberapa pemuda bahkan harus kehilangan nyawa dalam tembak-menembak yang tak seimbang. Sebagian dari rombongan beruntung berhasil melarikan diri. Namun tidak demikian dengan Mariana Theodalinda. Perempuan malang itu roboh tersambar peluru liar.
“Mama! Mamaaa!!” Felemena menjerit tatkala menyaksikan sang ibunda jatuh terkapar. Mariana Theodalinda mengerang sebentar, lalu terdiam.
“Mamaaa!! Bangun, Mama!! Ayo, kita lari!!” serunya sambil berjuang keras membuat tubuh ibunya berdiri. Akan tetapi tubuh itu tetap terkulai membisu. Kepanikan melanda gadis itu. Tangisnya meledak. Airmata deras mengaliri wajahnya. Seluruh perhatiannya tertumpah pada sosok Mariana Theodalinda yang tak bergerak lagi. Sama sekali tak peduli pada langkah-langkah kaki yang bergegas mendekati. Tentara Fretilin datang meringkusnya. Felemena yang tengah menangis histeris ditawan dan langsung diseret pergi, tanpa diberi kesempatan untuk mengurus jenazah sang bunda.
Tiga hari kemudian Miguel Saldanha datang. Lelaki itu adalah sepupu Felemena, enam tahun lebih tua darinya. Ibu Miguel adalah saudara angkat Joao Ermondo dan menikah dengan seorang lelaki meztico bermarga Saldanha. Felemena ingat, ayahnya tak pernah menyukai ayah Miguel yang gemar mabuk-mabukan. Miguel telah lama menaruh hati pada Felemena. Tiga tahun silam, pada pesta ulang tahun Felemena yang keempat belas, Joao Ermondo memergoki pemuda itu tengah berusaha mencium puterinya. Ia menghajar Miguel habis-habisan. Semenjak itu Miguel tak pernah lagi muncul. Kabarnya lelaki itu masuk dalam kesatuan tentara reguler Primaira Linha.
Miguel mengenakan seragam tentara Fretilin. Lelaki muda itu tampaknya cukup disegani. Dengan mudah ia mengambil Felemena dan membawanya pergi. Meski tak menyukai lelaki itu, sebagai tawanan Felemena hanya bisa pasrah. Ia berharap Miguel mengasihaninya, dan membawanya pulang ke Maliana. Namun harapan itu tak pernah terwujud. Miguel justru membawanya mengembara bersama gerombolannya. Selain menugasinya untuk merawat anggota pasukan yang terluka, lelaki bermata elang itu memperlakukan Felemena sebagai kekasih secara paksa.
Pengembaraan berlangsung berminggu-minggu. Tiada kabar tentang nasib keluarganya. Miguel tak pernah menjawab bila ditanyai. Hati Felemena yang koyak-moyak oleh kesedihan kian tercabik menyaksikan wajah bengis perang. Ia kerap mendapati Miguel melakukan cara-cara kejam pada musuh yang tertangkap. Lelaki itu terkadang juga tak segan bersikap keras dan kasar padanya jika ia tak menuruti keinginannya. Semua itu membuat kebenciannya pada Miguel bertambah tebal. Dan mimpi menakutkan terus mendatanginya hampir setiap malam: papa dan kakak-kakaknya rebah ke tanah dengan tangan-tanganterikat ke belakang. Felemena kian sengsara. Sekujur dirinya penuh luka. Luka kesedihan, ketakutan, kemarahan, keputusasaan, dan kesepian. Ia begitu lelah, dan hampa.
Pada akhir Desember tahun itu, seorang petugas Palang Merah menyelamatkannya. Gadis berusia tujuh belas tahun itu ditemukan duduk mematung dengan pandangan mata kosong di antara belasan mayat tentara Fretilin di sekitar daerah Aileu. Mulutnya tak henti menggumamkan ceracau tak jelas. Perempuan malang itu terguncang jiwanya. Dan ia tengah mengandung dua bulan.
***
Malam terus merambat. Rentetan tembakan tak lagi terdengar. Hanya suara sunyi di mana-mana. “Hentikan peluru itu, Tuhan,” bisik Felemena. Perang dan peluru sudah merampas banyak darinya. Felemena mulai mengenang jalan peluru dalam hidupnya. Ia mengenang Mariana Theodalinda, ibunya, saat tumbang diterjang peluru.Ia mengenang, dirinya hampir gila ketika seorang anak buah Miguel akhirnya menyampaikan kabar itu. Ayahnya dan ketiga kakak lelakinya tewas ditembak. Ia mengenang Crasinado da Silva.
Setelah luka-luka jiwanya mulai sembuh bertahun-tahun sesudah dirinya diselamatkan petugas Palang Merah, Felemena bertemu dengan Crasinado, seorang guru sekolah dasar di Dili. Mereka saling jatuh cinta, lalu menikah. Crasinado amat mencintainya. Lelaki itu juga mencintai Adelino Vicente dengan tulus, meski bocah itu berasal dari masa silam Felemena yang kelam: Miguel Saldanha. Felemena mengira kebahagiaan mereka berlangsung hingga akhir hayat. Namun ia salah. Ternyata peluru masih setia mengikutinya. Kerusuhan hebat di Dili yang mewarnai Referendum tujuh tahun silam merampas Crasinado darinya. Sebutir peluru nyasar mengakhiri hidup lelaki baik hati itu.
Kini sosok Adelino Vicente yang tengah tersenyum dan tampal gagah dalam seragam tentara memenuhi benaknya. “Hentikanlah peluru yang selalu mengikutiku, Tuhan. Hanya tersisa Adelino seorang. Jangan biarkan peluru merampasnya juga dariku, Tuhan...,” mohon Felemena dengan suara bergeletar. Butir-butir airmata berjatuhan di pipinya.
Entah berapa lama Felemena larut dalam kesenyapan itu. Waktu seakan berhenti untuk selamanya di sana. Hingga tiba-tiba terdengar lamat-lamat ketukan di daun pintu. Suara bariton yang amat dikenalnya dan yang tengah amat dirindukannya memanggil-manggil. “Mama… Mama, aku pulang….”
***
Octaviana Dina
Jakarta, Mei-Agustus 2006
Catatan :
Timor Portugal : sebutan untuk Timor Leste ketika itu
Traidor: pengkhianat
Concelho: kabupaten
Senhor: tuan
Apodeti: partai yang bertujuan agar Timor Timur berintegrasi dengan
Indonesia
Fretilin: partai yang bertujuan memerdekakan Timor Timur secara penuh
tanpa keterlibatan negara mana pun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H