Mohon tunggu...
Octaviana Dina
Octaviana Dina Mohon Tunggu... -

Cogito ergo sum\r\n\r\nhttps://octavianadina.wordpress.com/\r\n

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Indonesia, Segeralah Menjadi Macan Asia!

2 April 2014   22:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:10 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Tinggal menunggu hitungan bulan, pemberlakukan ASEAN Free Trade Area (AFTA –Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN) 2015 akan segera dilaksanakan. Penerapan kebijakan AFTA akan membuka lebar-lebar pintu masuk bagi produk-produk baik barang dan jasa negara-negara ASEAN ke pasar dalam negeri Indonesia, begitu pula sebaliknya.Tentu saja, produk-produk yang diijinkan masuk adalah produk-produk yang sudah disepakati dalam Inclusion List dalam skema CEPT (Common Effective Preferential Tarrifs) AFTA, yakni skema sistem reduksi atau penurunan tarif bea masuk hingga 0-5 %. Artinya, jika negara B ingin mengekspor produk C produksi nasionalnya ke negara A, maka negara A juga berhak mengekspor produk C produksi nasionalnya ke negara B. Jadi produk C adalah jenis produk yang ada dalam Inclusion List negara A dan negara B. Demikian gambarannya.

Indonesia, dengan pasarnya yang demikian besar, dapat dipastikan akan menjadi target pemasaran utama produk-produk negara-negara ASEAN. Apalagi masyarakat Indonesia dikenal sangat konsumtif dan pemerintah Indonesia kini kian gemar mengentaskan masalah keterbatasan ketersediaan produk-produk kebutuhan masyarakat dengan cara mengimpor ketimbang memberdayakan dan memperkuat kemampuan produksi nasional untuk memenuhi permintaan dalam negeri. Pemberlakuan kebijakan AFTA 2015 sudah barang tentu akan membawa konsekuensinya sendiri. Jika pemerintah Indonesia masih adem ayem melestarikan kegemaran mengimpor dan tidak cerdas serta tangkas bersikap proaktif, inovatif dan agresif dalam menyongsong penerapan AFTA 2015, maka Indonesia akan tinggal ‘terbengong-bengong’ tanpa daya menyaksikan gempuran aliran deras masuknya produk-produk negara-negara tetangga se-ASEAN ke pasar dalam negeri.

Seandainya demikian yang terjadi, sungguh teramat sangat disayangkan meyaksikan negeri yang berlimpah sumber daya alam dan sangat kaya akan keragaman hayati dan budaya ini harus bertekuk lutut ‘dijajah’ negeri-negeri serumpun yang pada beberapa dekade lalu belum ada apa-apanya jika dibanding supremasi Indonesia.

Habisi Birokrasi dan Perbaharui Regulasi

Bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki birokrasi yang rumit dan buruk, itu bukan omong kosong. Birokrasi yang berbelit-belit, tidak efisien, dan tidak efektif berpotensi menumbuhkan praktik-praktik penuh muslihat yang pada akhirnya menjadi ladang subur bagi korupsi dan suap. Hal ini sudah tentu membuat iklim berbisnis menjadi tak sehat dan tak produktif. Apalagi jika dibarengi regulasi yang diskriminatif yang hanya menguntungkan golongan atau pihak-pihak tertentu sehingga justru berpotensi menciptakan kartel-kartel raksasa yang hanya berfokus untuk menangguk laba sebesar-besarnya tanpa peduli dengan kemajuan bangsa, apalagi pemerataan ekonomi kerakyatan!

Menurut hasil survei Bank Dunia yamg dilansir dalam laporan tahunan bertajuk "Doing Business 2014", Indonesia pada peringkat 120 dari 189 negara di dunia dalam soal kemudahan menjalankan bisnis. Peringkat Indonesia tersebut sebenarnya telah naik delapan tingkat dari posisi sebelumnya, namun masih tetap menjadkan Indonesia sebagai salah satu negara paling buruk untuk berbisnis di ASEAN. Menyedihkan sekali. Untuk itu, tak bisa tidak, pemberlakuan AFTA 2015 adalah lonceng bagi pemerintah untuk segera menghabisi birokrasi yang merongrong kinerja perekonomian negara serta secepatnya memperbaharui regulasi-regulasi yang tidak mendukung pemberdayaan dan penguatan produksi nasional.

Generasi Kreator dan Inovator

Dalam buku Megachange 50 terbitan majalah bergengsi The Economist pada tahun 2012, disebutkan bahwa Indonesia diramalkan akan menjadi salah satu negara maju dengan pendapatan sekitar US $ 24.000 pada tahun 2050. Tahun 2050? Lama sekali!! Mari kita bandingkan dengan Jepang. Pada tahun 1945, di akhir era Perang Dunia II, Jepang hancur lebur akibat bom atom pihak Amerika Serikat. Namun lihatlah, Jepang hanya membutuhkan waktu kurang dari setengah abad untuk membangun secara luar biasa. Pada dekade 80-an, Jepang telah berhasil bertransformasi menjadi salah satu negara adidaya di Asia bahkan menjadi salah satu negara termaju di dunia! Padahal dihitung dari kekayaan sumber daya alamnya, Jepang bisa dibilang tidak ada apa-apanya dibanding Indonesia.

Dengan kekayaan alam serta budaya yang begitu luar biasa, sudah selayaknya Indonesia menjadi salah satu Macan Asia, tidak sekedar Macan ASEAN. Bangsa Indonesia pun sesungguhnya juga tak kekurangan orang-orang cemerlang yang mampu menciptakan karya-karya masterpiece yang senantiasa mengundang kekaguman bangsa-bangsa lain. Tengoklah Batik, Wayang, seni ukir-ukiran khas Indonesia, dan masih banyak lagi. Tengoklah betapa banyak anak-anak Indonesia yang sukses menyabet berbagai penghargaan bergengsi ada ajang-ajang lomba sains maupun budaya bertaraf internasional. Lantas mengapa Indonesia tak kunjung menjadi Macan Asia? Apalagi yang kurang?

Sudah saatnya pemerintah memberi tempat dan peran yang lebih luas dan besar bagi para insan kreator dan inovator yang memiliki pemikiran-pemikiran jeli dan cerdas dalam mendongkrak daya saing Indonesia di pasar dunia. Para seniman yang super kreatif itu, para pemikir yang inovatif itu, para ilmuwan yang hebat-hebat itu dan para anak-anak muda yang jenius-jenius itu sudah seharusnya dipelihara, diberi tempat, difasilitasi dan diajak berperan aktif agar mereka dapat berkreasi sebesar-besarnya menciptakan masterpiece atau karya-karya unggulan Indonesia. Pemerintah harus mendukung secara penuh generasi kreator dan inovator Indonesia. Mereka inilah aset nasional yang akan menjadikan Indonesia sebagai Macan Asia. Jangan sampai mereka dibiarkan terserak di negara-negara lain yang justru lebih menghargai dan lebih pintar memanfaatkan keahlian mereka.

Masyarakat Yang Mandiri dan Berdaya

Sebagai masyarakat, kita perlu mendesak dan mendorong pemerintah agar proaktif menyongsong pemberlakuan AFTA 2015 dengan menciptakan regulasi dan iklim yang kondusif bagi pemberdayaan kekuatan ekonomi nasional. Akan tetapi di sisi lain, sebagai masyarakat kita pun berkewajiban memberdayakan diri sendiri menjadi masyarakat yang mandiri dan berdaya. Caranya adalah dengan tidak malas belajar menimba ilmu pengetahuan demi memperlengkapi diri dengan keahlian-keahlian yang dapat kita pelajari sendiri. Sebagai masyarakat, kita jangan mau hanya jadi penonton keberhasilan orang lain. Jika masyarakat Indonesia secara sadar mau terus mengasah dan meningkatkan potensi dirinya secara mandiri, maka langkah bangsa ini menjadi salah satu negara maju tinggal separuh jalan lagi. Indonesia, segeralah menjadi Macan Asia!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun