Mohon tunggu...
Octaviana Dina
Octaviana Dina Mohon Tunggu... -

Cogito ergo sum\r\n\r\nhttps://octavianadina.wordpress.com/\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mata yang Bersalah

17 April 2014   23:00 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:32 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1397725063432835568


Ilustrasi : pxleyes.com

“Mereka menyebutku si Penggoda. Mereka bilang mataku menggugah hasrat, bibirku membangkitkan selera. Mereka tergila-gila pada jenjang leherku. Mereka kasmaran pada gerai rambutku. Mereka katakan suaraku memabukkan, dan senyumku membuat mata nanar. Kata mereka, liuk lenggokku saat aku berjalan membuat nafas mereka tersengal. Bahkan, lentik bulu mataku mereka sebut menyimpan sihir…,” tutur perempuan itu.

“Kalian ingin aku bercerita apa?”

“Ceritakan mengapa kau jadi pengemis,” ujar seseorang bertubuh kurus.

“Dia bukan pengemis. Dia ini pengembara. Ceritakan pada kami, sudah seberapa jauh engkau mengembara,” tukas yang lain.

“Ya, ya. Kurasa kau memang pengembara. Ceritakan tentang tempat-tempat yang telah kau singgahi. Pasti menarik,” tambah seorang lelaki muda berambut ikal.

“Hei, tidakkah kau tak lihat? Orang ini buta! Bagaimana bisa ia menceritakan tempat-tempat yang dilaluinya!” sambar sebuah suara ketus milik seorang berwajah masam. Kata-kata si wajah masam memicu perdebatan dalam kerumunan kecil itu. Lelaki muda berambut ikal tadi segera menyanggah, “Siapa bilang orang buta tak bisa bercerita tentang tempat-tempat yang dilaluinya? Meski ia buta, aku yakin ia masih bisa melihat dengan mata hatinya. Mata hati lebih jujur…”

Yang lain masing-masing mengeluarkan pendapatnya. Sebagian setuju dengan pernyataan si wajah masam, sebagian lagi membenarkan pendapat sang lelaki muda.

“Sudah! Sudah! Begini saja, biarkan lelaki tua ini menceritakan apa pun yang ia ingin ceritakan,” sergah orang berbadan tinggi besar dengan suara berwibawa. Mukanya kemerah-merahan, kumis tebal melintang di bawah hidungnya.Kerumunan itu segera terdiam. Mereka segan padanya. Orang bertubuh tinggi besar itu lantas mempersilahkan si lelaki tua bercerita.

“Mereka menyebutku si Penggoda. Mereka bilang mataku menggugah hasrat, bibirku membangkitkan selera. Mereka tergila-gila pada jenjang leherku. Mereka kasmaran pada gerai rambutku. Mereka katakan suaraku memabukkan, dan senyumku membuat mata nanar. Kata mereka, liuk lenggokku saat aku berjalan membuat nafas mereka tersengal. Bahkan, lentik bulu mataku mereka sebut menyimpan sihir…,” tutur perempuan itu.

Kesatria itu tak berkata sepatah pun. Hidungnya menangkap harum mawar. Matanya sibuk mencari-cari sosok jelita yang banyak diperbincangkan orang tersebut. Namunruangan tempatnya berada sekarang terlalu gelap. Ia meluncurkan pertanyaan, “Mengapa orang-orang menyebutmu si Penggoda?”

“Karena mereka tergoda olehku,” jawab perempuan itu, seperti sedang tersenyum.

“Apakah kau sengaja menggoda mereka sehingga mereka tergoda olehmu?”

“Tentu saja tidak. Baiklah, kuceritakan muasal julukan itu. Waktu itu usiaku baru empatbelas tahun. Aku masih perawan hijau, tetapi mereka telah menyebutku perempuan penggoda. Padahal tahu apa aku tentang lelaki? Tersentuh pun belum pernah. Duniaku dulu menyenangkan. Lalu mereka datang merusaknya. Mereka membuatku takut. Mata mereka membara setiap kali melihatku melintas. Bagai mata harimau yang mengintai rusa. Meski pakaianku tertutup rapat hingga mata kaki, aku merasa telanjang bulat di bawah tatapan mereka. Mulut mereka selalu melontarkan ceracau yang membuatku bergidik…”

“Aku ini anak sulung seorang penjual roti. Tiap hari aku harus mengantarkan roti buatan ayahku ke berbagai tempat. Aku sangat tersiksa. Mereka ada di mana-mana, di sudut-sudut gang yang kulewati, di jalan-jalan yang kulalui tiap hari, di kedai-kedai yang harus kusinggahi. Aku tak bisa menghindar…”

Kesatria itu mendengarkan dengan seksama. Hatinya bertanya-tanya, mengapa perempuan itu tak kunjung menampakkan diri.

“Hingga suatu hari aku merasa bosan terus-menerus ketakutan. Lantas, aku memutuskan untuk tidak takut, dan tidak menjadi budak permainan mereka lagi. Aku akhirnya paham, bahwa sebutan yang mereka timpakan padaku selama ini sesungguhnya adalah kekuatanku,” ujar perempuan itu lagi.

“Apakah itu berarti kau memutuskan untuk memakai kekuatan itu untuk menggoda mereka agar mereka takluk padamu?” selidik sang kesatria.

“Tentu saja tidak. Aku hanya tidak lagi gentar menampilkan sosok diriku. Ternyata aku memang perempuan cantik molek. Aku tak lagi takut pada mata dan mulut mereka. Aku sudah sampai pada kesimpulan, jika mereka menyalahkanku karena sosok diriku, berarti mereka juga menyalahkan Sang Maha Pencipta…”

“Tetapi, jika kau memang tidak menggodai mereka, mengapa ada begitu banyak korban? Maksudku, banyak lelaki berkata, hidup mereka hancur setelah mengenalmu. Kaum perempuan mengeluhkan engkau, karena suami-suami mereka tergila-gila mengejarmu sehingga mengabaikan mereka, karena teruna-teruna mereka berkelana mencarimu demi mendapatkan cintamu. Bukankah itu berarti kau punya andil menyebabkan itu semua?” tandas kesatria itu.

“Kau ingin mengatakan bahwa akulah penyebab semua itu?”

“Seperti sebuah perumpamaan, jika ada batu di tengah jalan yang menyebabkan orang-orang yang lalu-lalang di situ tersandung, bukankah baik jika batu itu disingkirkan,” tukas sang kesatria lagi.

Perempuan itu tertawa pelan. “Jadi kau sengaja datang untuk membunuhku?” tanyanya. Kesatria itu terdiam. Sesungguhnya ia sendiri tak tahu kebenaran reputasi perempuan yang tersohor sebagai Sang Penggoda. Kebenaran tentang apa yang dikatakan orang sebagai akibat yang disebabkan perempuan itu. Kabar-kabar saling berlawanan. Perempuan itu menimbulkan perseteruan berkepanjangan. Sebagian orang memujanya, sebagian lagi menghujat. Kekaguman lawan kebencian.

Tanpa disadari tangannya meraba pedang di pinggangnya. Pedang pusaka kebanggaan kaumnya. Para kesatria pendahulunya memakai pedang berukir itu setiap kali berperang melawan musuh jahat. Kini ia diutus menemui perempuan itu berbekal pedang tersebut. Tapi, kaumnya tak mengatakan dengan jelas apakah perempuan itu merupakan musuh jahat yang harus dibinasakan atau tidak. Itu berarti mereka menyerahkan keputusan sulit ke dalam tangannya. Pedang itu adalah penumpah darah, yang pantang keluar dari tempat penyimpanannya jikalau tak kembali bersimbah darah musuh jahat. Bila tidak, maka kutuk turun-temurun akan menimpa kaumnya.

“Kau belum menjawabku. Atau, kau ingin langsung membunuhku dengan pedang itu?” tukas perempuan itu lagi, membuat lelaki gagah itu tergagap-gagap. Haruskah ia membunuh perempuan ini tanpa tahu seberapa jauh kebenarannya: bahwa perempuan ini memang musuh jahat yang tak layak diberi ampun.

Sementara kesatria itu berpikir, terdengar suara gesekan keras. Ruangan mendadak benderang. Sinar matahari menerobos lewat jendela berukuran besar. Tirai tebal penutupnya tersibak. Tepat di hadapannya, kira-kira sepelemparan batu jauhnya, perempuan itu duduk dengan anggun dalam gaun panjang tertutup rapat.

Kesatria itu terbelalak. Belum pernah ia menyaksikan perempuan semolek itu seumur hidupnya. Perempuan itu bangkit dan berjalan mendekati. Gerakannya halus. Tak sampai lima langkah, perempuan itu berhenti. Mereka kini berdiri berhadapan. Perempuan itu menatapnya dengan tatapan bening. Tanpa sepatah pun kata terucap. Lama mereka saling berpandangan dalam diam.

Mata kesatria itu nyaris tak berkedip. Perempuan itu sungguh sempurna. Ia mulai merasakan gejolak. Darah berdesir dalam urat nadi. Aliran hangat menjalari sekujur tubuh. Wajahnya memerah. Lalu didengarnya hatinya berbisik-bisik. Mengajak untuk melakukan sesuatu. Bisikan demi bisikan datang menghasutnya untuk segera bertindak. Sang kesatria pun mulai bergerak. Sementara perempuan itu tetap bergeming dalam diam.

Waktu berjalan cepat. Kesatria itu lantas tersadar. Sesuatu telah terjadi di antara mereka. Sungguh memalukan, tapi semua sudah terlambat. Hatinya lebih dulu membungkam akal sehat. Merontokkan nilai agung yang selama ini dijunjung kaumnya. Tak ada cara lain. Kesatria itu merasa amat terhina. Terimpit malu yang tak terhingga. Tak ada cara lain selain pedang. Segera ia mencabut pusaka itu dari sarungnya.

“Jadi, bagaimana akhirnya? Apa sebenarnya yang terjadi dengan kesatria itu?”

“Ayolah, Pak Tua, lanjutkan.Kami tahu ceritamu belum tiba di akhirnya. Jangan biarkan kami pulang dengan kisah yang menggantung begitu.”

“Perempuan itu mati di tangannya?”

“Pasti begitu. Bukankah kesatria itu telah menghunus pedangnya? Iya kan, Pak Tua?”

“Perempuan itu tetap hidup. Kesatria terhormat itu membiarkannya hidup.”

“Ah. Tapi, bukankah pedang itu harus kembali membawa darah musuhnya?”

“Apakah kesatria itu tega menuang kutuk atas kaumnya jika ia tak membunuh perempuan itu?” Kerumunan itu tak sabar menanti kesudahan cerita.

“Pedang itu patah menjadi dua…”

“Hah?”

“Pedang itu patah karena darah kesatria itu…”

“Jadi perempuan itu berhasil menggodanya, lalu membunuhnya?”

“Tidak. Kesatria itu membutakan matanya sendiri dengan pedangnya.”

“Astaga!”

“Saat matanya menatap sosok cantik molek itu, kesatria itu kehilangan kendali. Ia tergoda hawa nafsunya sendiri.”

“Ah! Masakan hanya karena itu ia sampai membutakan matanya? Lelaki mengingini perempuan, bukankah itu wajar?”

“Kesatria itu merayu perempuan itu untuk bercinta. Perempuan itu menolak dan lari. Tapi si kesatria menangkapnya, dan memperkosanya…”

“Astaga…”

“Apakah cerita itu adalah kisah nyata, Pak Tua?”

“Tak kusangka, kesatria dari golongan terhormat begitu mudah berbuat hina.”

“Tak usah dipikirkan, itu hanya dongeng belaka.”

Kerumunan itu kembali beradu pendapat. Tak ada yang memperhatikan gemetar tangan lelaki tua itu saat mengusap kedua matanya yang buta. Tak ada yang menanyakan penyebab kebutaannya. Seandainya pun ada, ia takkan mampu menjawab. Mata itu dulu melakukan kejahatan. Menyeretnya ke dalam nafsu rendah, hingga ia menodai kehormatan seorang perempuan, juga kehormatannya sebagai kesatria. Mata yang jahat dan bersalah. Dengan sebuah pedang berukir ia lalu membunuhnya.

Octaviana Dina

Jakarta, 2007

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun