Mohon tunggu...
Roy Octara
Roy Octara Mohon Tunggu... lainnya -

Segala tentang fiksi, misteri, horor dan humor

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rahasia Parmi

22 Februari 2013   04:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:54 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1361507467938449673

"Makasih ya bu." Suara itu mengangetkan Parmi. Seketika ia berhenti mengiris bawang, lalu membalikkan badan menatap bocah berseragam SD yang tiba-tiba sudah berdiri didepan pintu dapur. "Makasih untuk apa sayang?" "Makasih karena ibu nggak ngebuang Riski waktu bayi." "Ih, Riski kok ngomongnya gitu sih sayang?" Setengah berlari, bocah itu menghampiri Parmi. Ia diam sebentar dan menatap lama ke wajah Parmi. "Kenapa sayang? Kok ngomongnya gitu?" ulang Parmi sambil tersenyum melihat tingkah anaknya.

Tanpa bersuara, Riski menjawabnya dengan sebuah pelukan. Pelukan tererat yang belum pernah dirasakan Parmi selama ini.

--------------------RAHASIA--PARMI--------------------

Semuanya berawal setelah jam pulang sekolah. Seperti biasa, Riski mampir dulu untuk jajan di warung pak Bahar yang ada TV-nya. Kalau kebetulan saat itu ada film kartun, Riski bisa berlama-lama di sana karena memang di rumah dia tak punya TV.

Tapi siang itu, Riski  menyaksikan sebuah tayangan berita tentang mayat bayi yang ditemukan membusuk di tong sampah, yang kemungkinan besar dibuang ibunya sendiri. Ia terpana. Mulutnya menganga. Mungkin kali pertama ia mendengar dan melihat berita seperti itu.

"Pak, yang barusan di TV itu beneran? "Ya iyalah Ki. Itukan berita. Bukan sinetron." "Kok ada yang kayak begitu ya pak?" "Ya begitu itu.., manusia jaman sekarang emang begitu. Bejat-bejat. Ada orang yang pengen punya anak tapi nggak di kasih sama Tuhan. Ada yang tiap sebentar punya anak tapi malah dibunuh, dibuang, dijual." Riski terdiam. Ia mencoba mencerna kata-kata yang barusan diucapkan Pak Bahar. "Makanya kamu itu harus bersyukur karena nggak di buang sama ibumu. Kamu harus berbakti sama beliau. Ibumu itu orang baik."

Ya, Pak Bahar memang tahu banyak tentang bagaimana Parmi dulu. Saat pertamakali datang ke sini, Parmi pada awalnya cuma numpang berteduh di warung Pak Bahar.  Karena kasihan, dan karena saat itu Parmi juga membawa Riski yang masih bayi, Pak Bahar menawarkan pekerjaan di warungnya. Sebagai imbalan, Parmi boleh menempati rumah petaknya yang sedang kosong. Saat itu, Parmi mengaku diusir oleh suaminya. Saat di tanya kenapa, Parmi tidak pernah memberi jawaban, bahkan sampai sekarang Pak Bahar tak pernah tahu apa alasannya.

Karena tak mau menyusahkan Pak Bahar, siangnya setelah berkerja di warung, Parmi menjadi kuli panggul di pasar. Kadang-kadang dia juga memunguti kardus, botol-botol, sampai sampah plastik yang bisa dijual untuk membeli susu Riski dan makan sehari-hari. Parmi paling senang kalau menemukan baju-baju bekas yang masih bagus. Sampai di rumah akan langsung di cuci bersih dan dipakai untuk sehari-hari. Pernah suatu kali Parmi menemukam baju panjang bermotif polkadot yang masih bagus. Pak Bahar sampai pangling melihat Parmi yang hari itu datang ke warungnya. Parmi terlihat sangat cantik. Selain parasnya yang cukup menarik, Parmi juga santun dan jujur. Semua itu membuat Pak Bahar heran kenapa ada lelaki yang tega mengusir istri sebaik Parmi.

-------------------RAHASIA--PARMI--------------------

Parmi perlahan-lahan mencoba melepaskan pelukan anak kesayangannya. Ia menumpukan lututnya ke lantai. Kali ini matanya yang lembab bisa langsung memandang wajah putera kesayangannya secara sejajar. Parmi mencium kedua pipi dan kening Riski. merapikan rambutnya yang berantakan.

Jauh di dalam pikirannya, Parmi masih bergumul dengan masalalu yang berputar-putar seperti labirin. Bagaimana kepedihannya saat diusir suaminya lantaran tak kunjung bisa punya anak. Lara yang semakin pekat tatkala dirinya terjerumus menjadi wanita simpanan para juragan, hingga sebuah kesalahan yang gempar, saat dirinya dinyatakan hamil. Parmi kembali diusir untuk kedua kalinya dengan alasan yang bertolak belakang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun