Mohon tunggu...
Octalina Savitri
Octalina Savitri Mohon Tunggu... -

apapun itu kalau bisa dikerjakan sendiri, ya harus dikerjakan sendiri

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Perempuan Hebat, bukan Melawan Kodrat, namun Menjunjung Martabat

20 April 2012   13:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:22 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Dalam kodratnya, perempuan adalah pendamping kaum laki-laki, dalam arti yang luas sebagai jembatan sektor kehidupan, kehidupan antara tugas dan kebutuhan. Dalam menunjang lingkungan, perempuan tidak lepas dari dua peran. Pertama, peran dalam keluarga. Perempuan mempunyai andil yang besar, selain menjaga keutuhan rumah tangga, mempererat hubungan dengan generasi penerus, kedudukan, tugas, kewajiban, dan fungsinya. Perempuan juga mempunyai kemampuan dan tanggung jawab untuk menciptakan suasana keluarga yang sakinah. Kedua, dalam peran sebagai anggota masyarakat. Perempuan menempati posisi yang strategis dan sentral dalam pembangunan lingkungan. Oleh karena itu, perempuan mempunyai beban dan peran multi dimensi, aktif dinamis, dan kreatif dalam mengembangkan nilai-nilai positif, sekaligus mengurangi nilai-nilai negatif di lingkungan masyarakat sekitarnya. Disinilah, perempuan punya peran kuat dan luas mendukung terciptanya pengertian emansipasi.

Emansipasi menurut garis sejarah awalnya dihembuskan perempuan Barat, yaitu suatu usaha kaum perempuan memerdekakan diri dari cengkeraman kekuasaan kaum laki-laki dengan tujuan untuk mendapatkan haknya sebagai makhluk sosial. Dalam sejarah kaum perempuan pada zaman Jahiliyah, baik di Timur maupun Barat, perempuan dijadikan budak, dipermainkan bahkan diperjualbelikan. Namun dalam satu sisi, pengertian emansipasi yang dirujukkan perempuan sering diartikan tuntutan untuk mendapatkan hak dan kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki dalam segala aspek kehidupan. Penafsiran keliru inilah yang memungkinkan akan menjatuhkan martabat nilai perempuan itu sendiri.

Sebenarnya di Indonesia perempuan sudah mendapatkan hak dan kedudukan sangat baik, lihat saja Megawati, beliau seorang perempuan yang menjadi Presiden, sebuah sukses dalam peraihan karir yang paling tinggi di negeri ini. Ada Rini Suwandi seorang professional handal yang menjabat sebagai Menteri Perdagangan. Sangat mengherankan bahwa kaum perempuan Indonesia tidak merasa terwakili oleh prestasi yang diraih mereka ini. Disisi lain, banyak sekali wanita karir di Indonesia yang merangkap menjadi ibu tetapi tetap sukses dipekerjaannya. Profil-profil tersebut sudah menggambarkan bahwa perempuan mempunyai andil yang hebat dalam politik dan perekonomian Negara.

Pendidikan bagi perempuan bisa dikatakan masih rendah. Termasuk angka partisipasinya. Pada kenyataannya banyak perempuan yang hanya lulusan sekolah dasar kemudian tidak melanjutkan ke pendidikan menengah atau bahkan ke perguruan tinggi. Ada beberapa alasan yang menyebabkan perempuan tidak memiliki keinginan atau kecenderungan untuk melanjutkan pendidikan. Pertama, pandangan toelogis bahwa perempuan merupakan bagian dari laki-laki. Dia adalah tulang rusuk laki-laki. Pandangan ini diambil dari teks ajaran agama, bahwa yang bisa menjadi pemimpin hanyalah kaum laki-laki, sedangkan perempuan tidak. Kedua, pandangan sosiologis bahwa perempuan dalam berbagai hal banyak diposisikan berada di dalam rumah. Lebih banyak berada di dalam urusan domestik ketimbang urusan publik. Pandangan ini juga menyatakan perempuan tidak perlu pendidikan yang tinggi karena lebih banyak berada diruang domestik itu. Ketiga, pandangan psikologis bahwa perempuan dianggap tidak penting untuk berpendidikan tinggi karena posisinya yang lebih banyak menjadi istri. Dalam tradisi kita banyak anggapan perempuan harus segera dikawinkan. Kawin muda lebih baik daripada menjadi perawan tua. Orang tua merasa sangat ketakutan apabila anak perempuannya tidak segera mendapatkan jodoh. Keempat, pandangan budaya bahwa perempuan hanya menjadi pelengkap saja. Bahkan ada ungkapan tradisi yang menyatakan ”perempuan itu, suwargo nunut neroko katut”. Artinya bahwa perempuan itu hanyalah konco wingking, atau kawan di belakang atau di dalam rumah. Kelima, pandangan ekonomi bahwa banyak orang tua yang lebih mementingkan pendidikan anak laki-lakinya ketimbang anak perempuannya. Pandangan-pandangan seperti ini yang mengakibatkan kurangnya angka partisipasi perempuan dibidang pendidikan. Banyak perempuan, terutama di pedesaan tidak melanjutkan pendidikannya. Jika lulus sekolah dasar itu dianggap sudah cukup.

Masalah selanjutnya yang dihadapi perempuan adalah menikah muda, bercerai, dan menjadi single parent.Meskipun perceraian tidak pernah diinginkan namun pada kenyataannya sangat sering terjadi. Selain alasan menikah muda, single parent juga bisa terjadi karena kehamilan sebelum menikah dan kematian suami. Menjadi seorang single parent tidaklah mudah karena membutuhkan energi yang lebih. Apalagi adanya embel-embel janda, sering kali dalam masyarakat diremehkan. Masalah ekonomi keluarga yang harus ditopang sendiri, belum lagi kewajiban harus membesarkan anak. Di satu sisiia harus memenuhi kebutuhan psikologisanak-anaknyamemberikan kasih sayang,perhatian, rasa amandandi sisi lainiapunharus memenuhi semua kebutuhan fisik anak-anaknya yaitu kebutuhan sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan yang lain berkaitan dengan materi. Atinya, wanita yang berstatus single parent harus mampu mengkombinasikan antara pekerjaan domestik dan publik demi tercapainya tujuan keluarga yang utama, yaitu membentuk anak yang berkualitas. Tidak mudah menjalankan dua peran sekaligus, sehingga dibutuhkan manajemen keluarga khusus dan matang agar anak yang dibesarkan pada kondisi single parent sama berkualitasnya dengan anak yang dibesarkan pada keluarga utuh.

Sebagai perempuan generasi masa depan, kita harus berani membekali diri dengan segala macam pengetahuan, pengalaman yang positif serta mental yang kuat. Ketatnya persaingan dan kerasnya hidup harus bisa kita hadapi dengan baik, karena generasi yang baik itu bergantung pada perempuannya. Kodrat seorang perempuan memang menjadi seorang ibu atau domestik, namun apa salahnya bila kita juga bisa berperan disektor publik. Selama kita tidak lupa melakukan semua kewajiban sebagai seorang istri dan juga seorang ibu.

“Selamat hari Kartini, 21 April 2012”

oleh Octalina Gendhis Savitri


sumber :

suarasurabaya.net, 22 Desember 2010

republika online

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun