Konflik antara masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL) merupakan sengketa klaim kepemilikan tanah di daerah Huta Dolok Parmondangan, Nagori Pondok Buluh, Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara. Peristiwa ini bermula saat PT TPL menuduh Bapak Sorbatua Siallagan yang merupakan tokoh masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan, melakukan pengrusakan serta eksploitasi dengan melakukan penebangan dan pembakaran di area lahan milik PT TPL. Sedangkan berdasarkan penuturan dari Bapak Sorbatua Siallagan beserta masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan, menyatakan bahwa area lahan tempat dimana Bapak Sorbatua Siallagan melakukan aktivitas tersebut merupakan tanah ulayat milik Masyarakat Ompu Umbak Siallagan, yang merupakan warisan turun temurun dari leluhur mereka.
      PT TPL kemudian membawa masalah ini ke Pengadilan Negeri Simalungun, didukung dengan dokumen resmi berupa izin konsensi yang mereka dimiliki PT TPL. Dokumen yang dimiliki oleh PT TPL berupa SK No. 493/KPTS-II/Tahun 1992 yang diperbaharui dengan SK No. 307/Menlhk/Setjen/HPL.0/7/2020. Dokumen yang dimiliki oleh PT TPL ini merupakan dokumen resmi yang diakui oleh Hukum Positif Indonesia. Keputusan  Pengadilan pada 14 Agustus 2024 menyatakan Bapak Sorbatua Siallagan bersalah dan menjatuhkan vonis 2 tahun penjara. Hakim juga menjatuhkan denda sebesar Rp 1 miliar kepada Sorbatua Siallagan.
      Dalam putusan dari Pengadilan Negeri Simalungun tersebut terdapat dissenting opinion dari salah seorang Hakim, yaitu Cory Laia. Hakim tersebut merupakan satu dari 3 hakim yang mengadili perkara ini, menurut hakim Cory Laia, Sorbatua Siallagan tidak terbukti bersalah seperti yang didakwakan padanya. Ini menjadi peluang bagi Tim Advokasi Masyarakat Adat Nusantara (TAMAN), untuk mengajukan banding di Pengadilan Tinggi Medan. Hasil dari putusan banding tersebut memvonis bebas Sorbatua Siallagan dan menghapuskan segala putusan yang telah dijatuhkan oleh Pengadilan Negri Simalungun kepada beliau.
      Mencermati kasus diatas, penulis berpendapat bahwa hal ini menunjukan bahwa dalam Hukum yang hidup di masyarakat Indonesia terkhususnya dari aspek agraria, masih terdapat sengketa antara Hukum Agraria Naional sebagai Hukum Positif dengan Hukum Adat yang sudah ada turun temurun hidup di komunitas masyarakat adat. Jika kita melihat ke masa pemerintah kolonial, hal serupa juga terjadi. Dimana pada masa kolonial, peraturan tentang agraria merupakan Hukum yang berasal dari negri Belanda. Belanda sendiri dikenal sebagai negara yang menganut stelsel positif sebagai sistem pengaturan pendaftaran tanah yang lebih mengedepankan kepastian Hukum. Oleh karena itu sertifikat dan bukti tertulis resmi lainnya menjadi alat bukti terkuat dalam pembuktian kepemilikan tanah. Akan tetapi, hal seperti ini tidak dikenal dalam hukum adat yang pada saat itu juga sudah ada. Kepemilikan tanah bersifat komunal, turun temurun dan tidak memerlukan bukti tertulis untuk pembuktian kepemilikan tanah.
      Inilah yang menjadi salah satu alasan pembaharuan Hukum Agraria dari kolonial, menjadi Hukum Agraria Nasional. Karena Hukum Agraria masa Kolonial dianggap tidak memperhatikan kepentingan warga negara Indonesia, juga untuk menjamin kepastian hukum diantara dualisme sistem Hukum Agraria Belanda dan Adat. Sebagai pembaharuan Hukum Agraria yang lama, Hukum Agraria nasional yang berlaku di Indonesia menganut stelsel positif kuasi negatif dalam sistem pendaftaran kepemilikan tanah. Yaitu sistem yang mengakui kepemilikan tanah berdasarkan sertifikat atau surat resmi, akan tetapi membuka peluang untuk mengugat ke pengadilan jika dikemudian hari, pada tanah tersebut terjadi sengketa, mengingat di Indonesia masih banyak komunitas masyarakat adat yang memiliki tanah ulayat berdasarkan hukum adat.
      Dalam Kasus yang telah diuraikan diatas, dapat dilihat bahwa PT TPL yang menggugat Sorbatua Siallagan ke Pengadilan Negri Simalungun. Perkara tersebut dimenangkan oleh pihak PT TPL, karena mereka memiliki surat resmi yang dijadikan alat bukti keabsahan kepemilikan tanah yang di sengketakan pada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Simalungun. Penulis melihat bahwa sekalipun dalam putusan banding di Pengadilan Tinggi Medan memberikan vonis bebas kepada sorbatua siallagan, akan tetapi Pengadilan Negeri Simalungun dalam putusannya tersebut mencederai masyarakat adat terkhususnya masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan. Karena jika dengan alasan berhaknya PT TPL itu berdasarkan surat resmi yang dimiliki, maka sama saja Indonesia menganut stelsel positif. Penulis melihat kuasi negatif hanya sebagai formalitas karena pada ujungnya persidangan tersebut lebih mengedepankan bukti tertulis.
      Pengadilan tidak memperhatikan eksistensi masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan yang sudah menempati wilayah tersebut turun temurun, jauh sebelum kedatangan pihak PT TPL beserta surat-surat yang mereka miliki. Atas dasar itulah menurut penulis dalam perkara ini, jika dibawa ke pengadilan, maka akan lebih condong ke arah bukti tertulis, sehingga penyelesaian melalui jalur persidangan dirasa kurang tepat. Ada baiknya jika sengketa ini diselesaikan dengan cara mediasi dan negosiasi antara kedua belah pihak. Kehadiran pemerintah hendaknya dapat menjadi sarana atau pihak ketiga yang mengupayakan terjadinya kesepakatan antara kedua belah pihak. Sebab jika dibawa ke pengadilan, maka bukti tertulis akan lebih diutamakan karena kepastian hukum lebih di kedepankan daripada bukti tidak tertulis. Sedangkan pada umumnya, hampir seluruh tanah ulayat milik komunitas masyarakat adat di Indonesia tidak memiliki surat resmi atau bukti tertulis lainnya.
     Â
Â