Oleh: M. Rasyid Ridha Saragih[2]
Pendahuluan Hampir semua kebudayaan, hingga dimensi Agama, memiliki wacana-wacana mengenai seksualitas. Hal ini sesungguhnya memang sesuatu hal yang sangat wajar dan alamiah, karena seksualitas itu sendiri merupakan kebutuhan dasar pada diri manusia. Namun sungguh masih terlalu dangkal jika seksualitas itu dimaknai oleh satu tafsir tunggal, yakni erotisme yang menekan manusia menjadi makhluk seperti binatang lainnya atau hanya diartikan sebagai hubungan badan semata. Padahal, seksualitas itu sendiri merupakan sesuatu hal yang sangat rumit, karena ia juga berhubungan dengan permasalahan pemaknaan, asosiasi yang penuh dengan pertarungan logika, hingga rasa berkesenian[3]. Namun masalahnya, seksualitas dalam konteks kekinian tidaklah jadi hubungan tertutup suami-istri, yang dimulai dengan kata Bismillah lalu berhubungan badan, dan ketika mencapai orgasme, kedua-duanya mengucapkan Alhamdulillah, dan setelah itu cerita semalam di kamar tertutup pun tidak menjadi cerita yang melebar kemana-mana, cukup tersimpan rapat di dalam hati. Kini tidaklah seperti itu, namun ia telah bertempat dimana-mana. Seorang Boss yang tidak tahan menahan syahwat seksual di kantor lalu mengajak sekretarisnya, guru ngaji yang mengajak santriwatinya untuk “beribadah” di kamar tertutup, hingga tante yang kesepian lalu mencari anak muda di kampus. Fenomena seks di abad 21 ini adalah fenomena yang abu-abu, antara malu-malu kucing, suka sama suka, paksaan, hingga pada kekerasan. Pada masa kini, seksualitas tidak lagi menjadi ember tertutup yang bersifat privat, namun ia sudah menjadi danau yang bersifat public-dinamis. Meminjam gaya bahasa FX. Rudy Gunawan, bahwa seksualitas kini telah menjadi sebuah kamar tidur raksasa bagi manusia[4]. Dan juga, fenomena seksualitas ini sendiri mencakup pada perilaku seksual hingga orientasi seksual. Dalam budaya Nusantara pun, sebenarnya tradisi seksulitasnya pun sangat mengakar kuat. Seperti Tradisi Bissu (Transgender Pria dan Wanita) di Masyarakat Bugis Sulawesi Selatan[5], tradisi Warok (Heteroseksual Pria maupun Wanita) di Reog Ponorogo[6], hingga pada cerita-cerita yang cukup vulgar mengenai sodomi, seks oral, saling bermasturbasi, persetubuhan dengan banyak orang, dan transvestisme dalam kesusatraan Jawa Serat Centhini[7]. Dan menurut Ben Anderson, setidaknya dalam lingkungan elit Jawa, bahwa Homoseksualitas itu sendiri tidak problematis ketika masa-masa keemasan tradisi tersebut. Ada Beragam, Tapi Disembunyikan Karena dalam berbagai banyak referensi mengenai tradisi budaya era kolonial menuliskan juga secara banyak mengenai tradisi seksualitas di Nusantara, maka ini membuktikan bahwa kekayaan budaya di Indonesia ini sangatlah mahal dan dinamis. Akan tetapi di satu sisi, seksualitas yang dahulu jaya di Nusantara kini tergerus oleh tafsir tunggal mengenai orientasi yang absah dan “mutlak” harus dipatuhi, yakni hubungan heteroseksual. Jadi, diluar heteroseksual (bisa jadi lesbianisme, transgender, hingga homoseksual), didefiniskan sebagai sesuatu yang abnormal yang hukumnya haram. Meminjam istilahnya Michel Foucault, bahwa disingkirkannya orang abnormal, tidak membuat mereka tersingkir dari kebudayaan. Orang normal bukannya didefinisikan terlebih dahulu, kemudian yang abnormal dipertentangkannya. Jadi, gejala umum masyarakat itu sendiri bahwa sesungguhnya pendefinisian normal itu sendiri melalui yang abnormal. Hanya melalu abnormalitas, seseorang bisa ‘mendefinisikan’ yang normal. Maka dari itu, meskipun abnormalitas itu disingkarkan maupun disembunyikan, orang-orang yang lain yang normal, akan terus mempelajari dan mempertanyakannya terus menerus, seperti terobsesi. Dalam wacana umum, selalu ada orang yang melarikan diri dari norma, yang sehingga kata-kata (hingga perbuatan) yang diungkapkan mereka itu memiliki makna yang berbeda[8]. Inilah mengapa dari tahun ke tahun, konsep kegilaan itu sendiri mengalami metamorphosis. Jika dahulu sebelum terbentuknya masyarakat industri, orang gila itu dianggap sesuatu yang wajar atau bahkan bisa memiliki kedudukan yang tinggi di suatu masyarakat, maka kini ia menjadi momok yang perlu “dinormalkan”. Dan stigma ini sebelum 17 mei 1990 masih menempel kepada orang-orang homoseksual, hingga pasca tanggal tersebut WHO mengeluarkan maklumat bahwa homeseksualitas itu adalah sesuatu yang alamiah & tidak lagi menjadi bagian dari gangguan kejiwaan. Normalitas adalah kata yang berbahaya, khususnya dalam memahami orientasi seksual. Tidak saja konsep kata itu kerdil, tetapi dampak dari diterapkannya kata itu pada kehidupan sehari-hari merangsang terjadi prasangka dan kekerasan. Dengan mudahnya pikiran manusia jatuh pada dikotomi seksualitas; orientasi normal dan orientasi abnormal. Bahwa relasi heteroseksual adalah relasi yang pantas, tepat, benar dan normal, sementara itu relasi gay atau homoseksual adalah relasi yang janggal, salah, menyimpang dan abnormal. Diskriminasi terjadi dikarenakan pola pikir dangkal ini, bahwa dikarenakan mereka yang berorientasi seksual berbeda dianggap menyimpang maka harus ‘disembuhkan’, atau harus disadarkan[9]. Dalam karyanya The Use of Pleasure (History of Sexuality Vol. 2), Michel Foucault menjelaskan bagaimana banal atau dangkalnya pemahaman manusia tentang seksualitas. Relasi seksual dipandang oleh Foucault selalu direduksi menjadi relasi yang rigid serta mekanistis. Seks selalu dikaitkan dengan bentukan-bentukan asumsi sosial, yang selalu melibatkan nilai moral, nilai agama, perspektif politis dan norma sosial. Disinilah Foucault ingin keluar dari anggapan yang sangat banal ini, lebih lanjut lagi, ia ingin menyampaikan bahwa ada segi lain tentang tubuh yang selama ini dilalaikan atau bahkan direpresi[10]. Banyak kasus juga yang tentunya sangat menyentuh sekali kepada wacana seksualitas di Indonesia, seperti mengenai UU Pornografi & Pornoaksi, Kontes Miss Waria (beserta pembubarannya), sensualitas pada film-film horor Indonesia masa kini, dan yang lainnya. Dan gerak kebudayaan yang sangat kultural inilah, penulis sangat tertarik untuk membahas dan mendiskusikannya lebih lanjut, karena masalah seksualitas itu sendiri tidak semerta-merta bersifat kodrati, namun ia juga mempunyai aspek horizontal masyarakat beserta interaksinya, hingga campur tangan penguasa mengenai pendefinisiannya. Sehingga, dalam realita konteks Keindonesiaan saat ini, tradisi seksualitas yang nyata-nyata akar-akarnya sangat kuat dalam jantung bangsa, saat ini sudah dianggap sebagai the others oleh kebanyakan masyarakat, dan ini tentunya karena sokongan doktrin agama dan campur tangan Pemerintah melalui hukum-hukumnya. Mengintip Pulau-pulau Birahi Dalam konteks Keindonesiaan, sebenarnya seksualitas itu dimaknai oleh dua arus. Yang satu seksualitas sakral dan yang satu lagi disebut sebagai seksualitas profan. Bentuk dari seksualitas sakral yakni: prokreasi, perkawinan, keluarga, kesetiaan, virginitas, dan disiplin Tubuh. Namun beda lagi dalam seksualitas profan, aktifitas seks dipandang sebagai sesuatu yang biasa saja (dan disinilah seksualitas profan mempunyai bentuk yang beragam, seperti pelacuran, homoseksualitas, liberasi tubuh, dll.). Kompleksnya akar permasalahan tradisi seksualitas di Indonesia sebenarnya adalah sesuatu yang sangat wajar dan alamiah, karena fenomena kebudayaan seperti ini memiliki kandungan yang muncul melalui rencana dan tujuan manusia; sensasi-sensasi atau kesan-kesan tertentu sampai kepada kita melalui sifat hubungan kita dengan dunia. Kemudian kita member satu bentuk tertentu kepada sensasi-sensasi dan kesan-kesan itu dengan cara menerapkan sebuah kategori pemikiran atau sebuah ide tentang semua itu[11]. Dalam perjalanannya, setiap bentuk-bentuk seksualitas di antara Nusa-nusa di Indonesia ini pun akhirnya menjadi sesuatu yang khas, sesuai masyarakat pada saat itu yang mendefinisikannya. Bangsa kita mempunyai contoh yang sangat kuat sekali mengenai tradisi homoseksualitas. Pada kata pengantar buku Dede Oetomo, Memberi Suara yang Bisu (2000), Benedict Anderson mencermati bahwa sebelum tahun 1962, ia mencermati bahwa sesungguhnya tradisi sensualitas bangsa Indonesia ini cukup tinggi, mirip sekali dengan tradisi sensualitas bangsa Timur lainnya, seperti China atau Jepang. Ini bisa dilihat yang pada saat itu anak laki-laki berumur sekitar 9 tahun bermain bola di lapangan luasa tanpa memakai pakaian (telanjang), dan tak ada seorang pun yang marah, jengkel atau melarangnya. Lalu di Jawa banyak juga laki-laki yang merebahkan dirinya di pangkuan saudaranya, balita yang menghisap puting bapaknya ketika sang Ibu harus kerja. Dalam Reog Ponorogo pun dikisahkan mengenai cerita asmara Warok kepada Gemblak, yang perlakuannya tersebut ditafsirkan sebagai tindakan homoseksual. Warok itu posisinya sebagai “Bapak”, sedangkan “Gemblak” posisinya sebagai Ibu. Pembagian tugas dalam kehidupannya pun persis seperti pembagian tugas keluarga secara umumnya, Warok bertugas mencari uang, makan, dan menjaga keamanan, sedangkan Gemblak tugasnya adalah mengurus dapur, hingga mengurus ranjang. Pada tradisi kaum Bangsawan Aceh juga sering membeli laki-laki “terpilih” dari Nias (Seudati) untuk dijadikan “kesenangan” diatas ranjang yang membara, maupun disuruh menyanyi dengan memakai pakaian wanita. Dalam tradisi pesantren pun, sudah menjadi rahasia umum jika tiap tahun itu selalu ada mairil (yakni homoseksualitas dalam kalangan santri, dilakukan pada malam hari yang gelap, yang biasanya hanya menggesek-gesekkan kelamin ke paha pasangan sesama jenis. Namun juga bisa melebihi dari itu, seperti oral seks hingga anal seks). Lalu ada juga tradisi Bissu di Sulawesi Selatan, yakni sebuah individu dalam masyarakat adat yang diposisikan sebagai imam dalam hal ritual, perdukunan, atau mistisisme. Bissu ini dominan bertubuh laki-laki, namun berpakaian pakaian adat perempuan di Sulawesi Selatan tersebut. Secara orientasi seksual, Bissu lebih condong kepada laki-laki. Jadi Bissu pun mempunyai pasangan sesama jenis yang dinamakan sebagai tobatto (pria muda). Tobatto ini tugasnya yakni mendampingi Sang Bissu, dan tentunya pada malam hari juga bertugas di ranjang. Namun pada era orde lama, eksistensi para Bissu tergerus oleh gerakan NII Sulawesi Selatan, karena penumpasan ini berdasarkan inspirasi dari ajaran moralitas Agama. Lalu hingga era Orde Baru, eksistensinya semakin tergerus juga. Ini dikarenakan isu yang dikembangkan oleh pemerintah pada saat itu, bahwa pada pra-orde lama, Bissu itu merupakan pendukung setia PKI. Dan ajaran-ajarannya pun distigmatisasi sebagai ajaran PKI dalam gaya baru. Sebenarnya keadaan yang cukup menarik ini mempunyai kontras tersendiri jika dibandingkan dengan belahan dunia lain. Benedict Anderson membayangkan jika pelaku tradisi-tradisi sensualitas pra-1962 tersebut dikirim ke Eropa di abad 18, atau dikirim ke Amerika Serikat abad 20, kemungkinan besar mereka sudah disiksa, dihukum seumur hidup, atau bahkan dihukum mati[12]. Melihat fenomena seperti yang dipaparkan oleh Benedict Anderson diatas, kita secara gamblang bisa melihat, bahwasanya ada gerak kebudayaan. Namun uniknya, ia kontras dan berbanding terbalik. Jika Eropa era Victoria hingga Amerika Serikat abad 20 masih menabukan fenomena seksualitas yang tidak senafas dengan doktrin moralitas kekristenan, namun pada saat itu Indonesia sedang jaya-jayanya dengan keberagaman tradisi seksualitas. Namun pada konteks saat ini, masyarakat di Eropa dan Amerika Serikat sedang on the way menuju sorga pembebasan seksualitas, sedangkan masyarakat Indonesia kini sedang menuju Biara pengkebirian kelamin beserta tradisi seksualitas lainnya. Dari Cerita yang Mencekam, Hingga Goyang Ranjang yang Panas Karena sudah menjadi sifat dasar manusia, mau bagaimana pun ditahan, wacana seksualitas akan terus bergeliat. Ini bisa dilihat dalam perkembangan film horor Indonesia era 2000-an hingga sekarang, yang dimana dalam ceritanya rata-rata menceritakan pengalaman mistis anak-anak muda di kota metropolitan. Erotisme, sensualitas, hingga “ranjang yang bergoyang” cukup dominan mengisi skenario film horor Indonesia tersebut. Penulis melihat dalam hal ini bahwa sesungguhnya perancang skenarionya cukup cerdik, yakni di satu sisi ia ingin menambah daya tarik film melalui adegan-adegan panas, namun di satu sisi yang lain perancang skenario tersebut kemungkinan paham betul bahwa tradisi seksualitas itu sendiri tidak akan pernah lepas dari dunia anak muda, yakni dalam artian bahwa ia sudah menjadi sesuatu yang alamiah dan membudaya pada anak-anak muda. Kuasa Pemerintah Menahan Efek Keberadaan Kelamin Namun di suatu saat yang lain, sejak era Orde Baru, Pemerintah gencar dalam memberdayakan program Keluarga Berencana (KB). Bagi penulis, ini merupakan sebuah program yang dahsyat bagi kapasitas Pemerintah sebagai penguasa wacana hingga tubuh individu. Kalangan feminis pun tidak tinggal diam dalam melihat hal ini, karena feminis melihat bahwa dalam wacana KB, lagi-lagi tubuh Kaum Perempuan ditempatkan kembali sebagai objek. Begitu juga mengenai UU Anti Pornografi dan Pornoaksi, dengan cukup jelas bahwa perempuan ditempatkan kembali sebagai objek. Andrea Dworkin dan Chaterine McKinnon menyatakan bahwa wacana pornografi telah mendehumanisasi perempuan, menjadikannya objek seksual yang menikmati rasa sakit dan penghinaan. Keduanya menolak tegas hal ini dengan memberikan batasan pornografi dan bukan pornografi pada bagaimana penggambaran terhadap perempuan dilakukan[13]. Jika penggambaran tersebut menampilkan perempuan sebagai objek seks, maka ia sebenarnya telah mereduksi sisi kemanusiaan perempuan tersebut. Pakaian yang Menutup Wajah Tubuh Ada juga satu hal yang cukup menarik dalam benak penulis, yakni bahwa sesungguhnya pada tahun 1930-an, masyarakat di Bali terbiasa bertelanjang dada setiap hari, baik itu laki-laki maupun perempuan. Pada era Orde Lama hingga Orde Baru pun, dalam tata cara berpakaian perempuan, penulis melihat bahwa disana masih ada dinamisasi konsep, yakni dalam artian ia cukup simpel, tidak bermacam-macam, dan sesuai dengan kebutuhan. Namun semenjak tahun 1990-an, geliat perubahan konsep keberpakaian mulai terasa. Jika dahulu kerudung bagi perempuan itu cukup seperti selendang, maka kini nyaris menutupi semua kepala bahkan hingga kain bawahnya menutupi bagian area perut. Kini kita bisa melihat dimana-mana, bahwa jilbab sudah sedemikian rupa menjadi kain yang sakral. Uniknya, selain sakral, ia juga bercorak kapitalis, yakni pada era kekinian, kita pun bisa melihat mengenai acara-acara bazaar hijab, kontes merancang hijab, dan lain sebagainya. Seorang teman sempat kebingungan mengenai hal ini, apakah ini bentuk dari kesalehan atau kapitalisme gaya baru? Sorga Syahwat Dunia: Gemerlapnya Malam Tanpa perlu munafik terhadap fakta, kita pun sudah maklum bahwasanya dibalik padatnya sebuah kawasan penduduk, maka semakin padat pula kebutuhannya terhadap seks. Kita mengenal di pulau jawa akan lokalisasi-lokalisasi yang menampung kebutuhan seperti itu, sebut saja: Saritem (Bandung), Sunan Kuning (Semarang), (Dolly), Sarkem (Yogyakarta), dll. Dalam satu perspektif, sebenarnya banyak masyarakat yang menolak bisnis pelacuran yang cukup tergorganisir seperti ini. Namun sebenarnya, dalam bisnis ini banyak juga manfaat yang bisa diambil. Bagi Negara ia bisa berupa pajak dari eksistensi lokalisasi, bisnis karaoke dan pengadaan minuman beralkohol. Bagi penduduk sekitar, masih banyak pula peluang bisnis yang lain seperti pembukaan warung nasi, dll. Belum lagi siklus perputaran uang yang terjadi dalam semalam di lokalisasi tersebut, bisa mencapai lebih dari ratusan juta hingga milyaran. Selain itu, dengan adanya lokalisasi, kontrol terhadap keadaan kesehatan penghuni bisa dengan dengan mudah dilakukan. Berbeda dengan pelacuran liar, maka kontrol kesehatan yang regulatif itu sulit untuk diupayakan. Tapi ada hal unik lainnya, bahwa sesungguhnya di tengah panasnya ranjang, para pelacur pun sebenarnya mempunyai sisi religiusitas tersendiri. Nur Syam menulis ini dalam bukunya, “Agama Pelacur”. Dalam buku tersebut disebutkan bahwasanya di tengah kesibukan para pelacur melayani lelaki hidung belang, di tempat mereka tetap bersemai, tetap saja menyediakan sajadah, mukena, kitab suci, dan juga lantunan-lantunan kalam Ilahi yang selalu dikumandangkan[14]. Mengutip apa kata Thomas Aquinas yang mencuplik St. Agustinus, pelacuran ibarat sebuah selokan di dalam istana. Mungkin tanpa selokan, sebuah istana bisa menjadi indah atau bagaimana pun megahnya, lambat laun akan mesum karena tidak ada jalan untuk membuang kotoran yang terdapat di dalamnya[15]. Antara Kekuasaan, Wacana, Masyarakat, dan Seksualitas Namun dalam hal ini, penulis mulai agak sejalan dengan Michel Foucault dalam Sejarah Seksualitas-nya (yang banyak menulis karya-karyanya tentang kegilaan, seksualitas, hingga kekuasaan), bahwa wacana seksualitas itu sendiri tidak terlepas dari tarik-menarik kekuasaan dalam menguasai wacana demi “keteraturan sosial”. Foucault mengamati fenomena pada abad 17 yang dimana pada saat itu, pembicaraan, perilaku hingga pakaian harus diteraturkan dan disensor, jika ada yang melanggar maka ia akan terkena sanksi. Seksualitas dikekang, dikendalikan, bahasa yang menyebutkan seks, atau mengandung insinuasi seksual dianggap tabu. Gereja bersama Negara menyebut disiplin moralitas ini demi mewujudkan peradaban yang maju dan santun. Walaupun terlihat “sunyi” pada saat itu, Foucault menyatakan bahwa sikap ini bukanlah berarti sudah nurut, atau sopan. Namun yang terjadi di belakang adalah sebaliknya, yakni menimbulkan kemunafikan, dan tentunya salah satu elemen yang cukup jelas menampilkan kemunafikan ini adalah elemen aristokrat. Nada ini sebenarnya cukup sejalan dengan fenomena saat ini, yakni kasus mengenai pengajar agama yang mencabuli muridnya, hingga petinggi-petinggi partai agama beserta jajaran orang yang terdekatnya yang “jajan” dengan gadis muda, atau menikahinya dengan cara siri (lalu berlanjut pada hubungan poligami). Padahal kalau kita cermati sendiri, partai agama seperti itu maupun person-person yang lainnya adalah salah satu elemen yang cukup lantang dalam menyuarakan anti tradisi seksualitas dalam bentuk dukungan penuh kepada UU Anti Pornografi-Pornoaksi. Dengan fenomena seperti ini, tentunya sebenarnya tubuh tidak menjadi milik diri sendiri, namun sudah dikuasai oleh Negara dan Agama atas alasan keteraturan moralitas. Namun perlu dilihat juga dalam perspektif liberasi seksual, bahwa katanya sesungguhnya lembaga perkawinan (yang mempunyai sokongan kuat dari agama) merupakan pelanggeng budaya patriarki[16]. Pernikahan dianggap sebagai ajang bagi tindakan subordinasi pada perempuan, sebagai manusia nomer dua. Dari sini bisa dilihat kalau pernikahan itu sendiri merupakan ajang pamer supremasi kaum laki-laki, lalu dalam perspektif Islam secara eskatologis, bahwa pernikahan merupakan pintu menuju rahmat jika sang istri manut-manut, tidak membantah kalau suami mengajak “tidur”. Dan bahkan dalam janji sorga-Nya, sorga yang ditampilkan pun sangat-sangat penuh dengan delusi seksualitas, yakni dimana kaum laki-laki yang masuk sorga bisa tidur sepuasnya bersama bidadari-bidadari yang selalu perawan (dan dalam perspektif ini, eksistensi kaum perempuan seperti nihil ditelan oleh blackhole di luar angkasa). Dan seperti yang kita ketahui, ada beberapa agama yang menganggap bahwa perbuatan seksual merupakan sesuatu yang menjijikkan, seperti Katholik, Buddha, dll. Dengan dalih mempertahankan kesucian. Dalam perspektif ini, bahwa yang terpenting dari manusia itu adalah menyucikan roh, maka sesuatu yang bersifat ragawi perlu dijaga. Melihat fenomena seperti ini, Nietzsche dalam Beyond Good and Evil menyatakan bahwa: “Wherever the religious neurosis has appeared so far, we find it connected with three dangerous dietary prescriptions: solitude, fasting, and sexual abstinence[17]”. Neurosis dalam agama ini diartikan seperti semacam mood yang nikmat, yang dimana karena kenikmatannya-lah, suatu kelompok yang memegang teguh prinsip seperti itu rela berkorban demi kebenaran dan kenikmatan yang mereka alami. Nietzsche memandang bahwa tubuh yang disengsarakan mempunyai kenikmatan tersendiri, berbungkus dogma agama yang sifatnya seperti zat adiksi dan menikam rasa kritis. Dalam padangan seorang yang beragama secara ortodoks, seks ditempatkan sebagai sesuatu yang turun dari langit, berisi perintah-perintah moral yang disucikan, dan karena disifatkan ke-ilahiyahannya maka peraturan tersebut mau tidak mau wajib diterapkan kepada semua diri manusia, mengontrol tubuh demi keteraturan. Disini juga Foucault melihat bahwa di dalam wacana-lah kekuasaan dan pengetahuan saling terkait. Ini tidak hanya sekedar adu dominasi, namun berstrategi dalam aneka ragamnya. Dan disanalah wacana mengalami distribusi yang kompleks, sehingga wacana pun bisa membentuk kekuasaan dan di saat yang bersamaan, ia bisa menjatuhkan kekuasaan. Penutup Seperti yang kita lihat diatas, bahwa gerak kebudayaan seksualitas bangsa Indonesia pun berubah-ubah. Memang ini sebenarnya adalah sesuatu yang alamiah, namun sayangnya ia cukup memperlihatkan resistensinya, yakni bahwa penguasa pun ikut bergejolak di dalamnya. Dengan adanya stigma normal-abnormal, sesat-tidak sesat, dll. Walaupun sebagaian orang menganggap bahwa dengan pengkategorisasian yang begitu mudah seperti ini bisa menciptakan keteraturan, namun sebenarnya jauh dari pada itu, hal seperti ini bisa menghilangkan keberagaman yang hadirnya dalam masyarakat itu sebenarnya sesuatu yang alamiah. Stigmatisasi ini tentunya sangat kental dengan nuansa politiknya, dan itu terlihat jelas. Kita perlu pendewasaan, yakni dalam era kekinian, paham kolektivitas yang membungkam keberagaman individu ini perlu direkontruksi ulang, perlu dikaji ulang. Hingga kini, masih banyak orang yang mensakralkan wacana-ide tertentu. Dan ini pula yang dijadikan dasar sebagai tindakan yang anti pluralisme, yang berimpas pada tindakan kekerasan, baik oleh ormas maupun aparatur negara. Dan juga tanpa memungkiri, bahwa selama ini pun Foucault melihat bahwa kekuasaan itu menjadikan individu-individu sebagai perangkat sekaligus efek terhadap eksistensi kekuasaan yang diproduksinya, dan bukan sesuatu yang berhadap-hadapan. Maka dalam pandangan Foucauldian mengenai relasi seksualitas, hendaknya ia bersifat elastis namun saling memberikan keterkaitan dan akomodatif. Tapi perlu kita ketahui pula, dalam skema diatas, semua pihak harus saling mengakomodir, yakni bahwa sesungguhnya keempat aspek itu memiliki kaitan yang erat. Era globalisasi kini ternyata menempatkan kapital sebagai salah satu unsur yang terpenting. Memang dalam pandangan liberalis, kapital itu berguna demi meraih keuntungan sebanyak-banyaknya. Namun dalam pandangan orang kiri, dominasi kapitalisme bisa menjadi momok yang menakutkan, yakni menjadikan diri kita sendiri sebagai subjek yang teralienasi. Disinilah etika/akhlak yang mempunyai posisi tertinggi (Humanisme, seperti keramahan, penyayang, pengakuan keberagaman, cinta sesama, dll) perlu berperan membangun struktur yang dinamis dan harmonis dalam skema ini, sehingga terus berdampak kepada karakter masyarakat dalam menghadapi realitas dan berujung kepada sikap Negara yang harus melindungi Hak-hak asasi individu, dan skema ini merupakan yang berkesinambungan, tidak terputus []. 1 Tulisan ini dipersembahkan dalam diskusi Komunitas Payung, Jumat 7 Juni 2013, mengenai: Relasi Seksualitas dan Tradisi di Indonesia. 2 Mahasiswa S1 Angkatan 2012 Fakultas Hukum Undip. Santri Pondok Pesantren At-Taharruriyyah Semarang. Tergabung juga di elemen Angkatan Muda Muhammadiyah. 3 Hatib Abdul Kadir. Tangan Kuasa dalam Kelamin, Yogyakarta: InsistsPress. 2007. Hal. 4 4 Ibid, Hal 4 5 Tom Boellstorff. The Gay Archipelago: Seksualitas dan Bangsa di Indonesia, Newjersey: Princeton University Press. 2005. Hal 55 6 Ibid, Hal. 58. 7 Ibid, Hal. 63 8 Michel Foucault. Madness and Civilization: Bahan Kuliah di Institut Jepang-Prancis, di Kyoto., dalam: Michel Foucault. Pengetahuan dan Metode: Karya-karya Penting Foucault (terj.), Yogyakarta: Penerbit Jalasutra. 2011. Hal. 106 9 Saras Dewi, pada http://sarasdewi.blog.com/2011/05/26/menggugat-normalitas/ . Diakses pada pukul 16.49 WIB, 4 Juni 2013. 10 Saras Dewi. Sejarah Seksualitas dalam Agama Timur, Makalah Diskusi Ourvoice 21 April 2013. Hal. 2 11 Chris Jenks. Culture: Studi Kebudayaan, terj oleh Erika Setyawati, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hal. 68 12 Hatib Abdul Kadir. Tangan Kuasa dalam Kelamin, Yogyakarta: InsistsPress. 2007. Hal. 84 13 Dalam persoalan ini, sebenarnya cukup menimbulkan polemik yang hangat di tengah-tengah masyarakat. Orang-orang yang pro terhadap UU APP diwakili dari Ormas-ormas seperti NU, Muhammadiyah, MUI, HTI, dll. Sedangkan yang kontra terhadap UU APP ini diwakili oleh gerakan seperti Fatayat NU, Yayasan Puan Amal Hayati, Rahima, Koalisi Perempuan Indonesia, Solidaritas Perempuan, LBH APIK, Yayasan Jurnal Perempuan, Konferensi Wali Gereja Indonesia, dan masih banyak yang lainnya. Selanjutnya bisa dicek pada: Neng Dara Affiah, dkk. Laporan Penelitian: Seksualitas dan Demokrasi: Kasus Perdebatan UU Pornografi di Indonesia. Jakarta: Komnas Perempuan, 2011. Hal.5 14 Nur Syam: Agama Pelacur: Dramaturgi Transedental, Yogyakarta: LkiS Grup. 2011. Hal. 183 15 Hatib Abdul Kadir. Tangan Kuasa dalam Kelamin, Yogyakarta: InsistsPress. 2007. Hal. 143 16 Ibid, hal. 28 17 Friedrich Nietzsche. Beyond Good and Evil. Cambridge: Cambridge University Press. Hal. 45 dalam Bab The religious character
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H