Oleh: M. Rasyid Ridha Saragih[1]
Membicangkan relasi seksualitas dengan arah humanisme peradaban manusia seakan-akan tak pernah ada habisnya. Kita tahu sendiri, bahwa seksualitas bagaikan ruang raksasa yang begitu kompleks, permainan rasa, seni, hasrat, tabu hingga politik berada disana. Pada gambaran umumnya, kita bisa melihat bahwa sejarah dituliskan oleh pemenang. Relasi seksualitas, dengan ditopangnya doktrin-doktrin agama, politik, hingga kependidikan, relasi seksual dirumuskan ke dalam varian yang begitu simpel; yang normal dan yang abnormal, yang halal dan yang haram, serta yang berkah dan yang laknat. Dalam hal ini, hanya satu jenis hasrat seksualitas-lah yang dikatakan sebagai hal yang absah, yakni heteroseksual.
Pengabsahan ini dinilai pula dengan kecocokan antara bentuk kelamin manusia; Laki-laki mempunyai penis yang berbatang, sedangkan perempuan mempunya vagina yang berlubang. Cocok sekali bukan sebagai puzzle dalam sebuah pasangan relasi seks? Inilah yang dinamakan sebagai pandangan bimorfis, yang dimana hanya ada laki-laki dan wanita tulen menikah. Tapi saya pribadi melihat, bahwa kontruksi sosial semacam ini cukup menggelikan, karena pada esensinya, relasi sosial sesungguhnya bukanlah sebuah ilmu pasti semacam rumus fisika maupun matematika, relasi maupun realitas sosial selalu tidak pasti. Selalu ada intervensi dari dimensi-dimensi luar yang mewarnainya. Inilah mengapa, baik itu culture, relasi sosial, politik, dsb. selalu beragam ekspresi dan bermetamorfosis.
Dengan adanya wajah generalisasi seksualitas yang cukup represif, melahirkanlah kelompok pemenang; yakni kaum heteroseks. Dalam konteks Indonesia, selain (seksualitas) menjadi hasrat biologi, ia juga menjadi sebuah ekspresi kultur. Seksualitas mampu menjadi alat pemuas hasrat dan nafsu, namun juga ia bisa menjadi sebuah identitas sosial. Sehingga wajah seksualitas itu sendiri menjadi ganda; Yang Ekspresi dan Represif[2]. Dalam hal ini, melalui History of Sexuality Volume I-nya Foucault, kita tidak bisa menilai selamanya bahwa seksualitas merupakan ekspresi kebebasan. Ia terus menerus menjadi perhatian yang cukup serius, baik dalam konteks Eropa abad 18-19-an (Victorian Age), maupun dalam konteks keindonesiaan kini. Hasrat tiba-tiba ditransformasikan menjadi sebuah masalah yang penting yang akhirnya menjadi diwacanakan. Apalagi melalui Freud tentang wacana psikoanalisis-nya yang menaruh seks sebagai suatu masalah semenjak balita, implementasinya pada saat ini ia sudah menjadi sebuah identitas tersendiri yang berkelanjutan pada eksistensi diri manusia.
Pada tataran selanjutnya, sebagai sebuah identitas diri (identitas seksual), naasnya homoseks maupun transgender selalu diukur oleh sesuatu yang diluar dirinya[3]. Penilaian diri dari subjek (dalam hal ini heteroseks) kepada yang liyan (homoseks) selalu berdampak pada penindasan, baik secara psikis maupun fisik. Dalam hal ini, terkadang jika kita melihat ataupun mendengarkan statment tentang “gay”, selalu diiringi dengan tawa yang merendahkan. Tawa seperti inilah yang justru membuat luka. Apa masalahnya jika memang benar-benar ada seseorang yang Gay? Itu merupakan pilihannya, dan itu merupakan eksistensi subjeknya. Justru dengan berdasarkan humanisme universal-lah kita perlu memberi penghargaan kepada orang-orang yang berani jujur dan terbuka bersama pilihan tersebut.
Diantara Dilema: Amir dalam Pembelahan Identitas
Dalam film “Cinta yang Disembunyikan”[4], besutan Denny JA bersama Hanung Brahmantyo, diceritakan mengenai kisah dramatis yang dalam konteks kulturnya bisa disebut sebagai “yang kurang lazim”. Bagaimana tidak, film tersebut menampilkan sebuah roman yang begitu nyentrik, yakni roman cinta sesama jenis. Roman ini beranjak dari latar belakang remaja SMA dan perkuliahan, dimana pada saat itu manusia remaja sedang gencar-gencarnya mencari identitas diri, identitas yang "Aku". Pada masa SMA tersebut, Amir dan Bambang belajar juga mengenai pendidikan agama (yang dimana secara general pendidikan ini cukup represif terhadap ekspresi seksual yang Liyan). Akan tetapi ketika ada guru mengajinya bercerita mengenai kisah kaum Nabi Luth AS di depan kelas, Amir yang berjiwa bimbang mulai meragukan hasratnya. Ia merasa mendurhakai pemberian Tuhan serta mengkhianati kehendak sang Ibu.
Seolah tak bisa dibendung, hasrat cinta yang liyan ini semakin membesar ketika Amir dan Bambang mulai memasuki dunia perkuliahan. Kondisi dunia perkuliahan yang cukup bebas, membuat keduanya bisa leluasa untuk mengekspresikan batin cintanya. Bambang dengan kepercayaan dirinya mulai menyambangi komunitas-komunitas gay. Namun cukup unik disini, kita bisa melihat ada nuansa kebebasan eksistensial yang coba ditawarkan beberapa aktivis gay dalam film tersebut. Salah satu pemeran disana berkata bahwa “setiap manusia bebas akan kehendak dirinya masing-masing”. Disini mirip dengan seruan Sartre, bahwa Manusia itu adalah makhluk yang eksistensinya mendahului esensi, dalam artian bahwa manusia selalu berupaya menimbang segala sesuatu yang menancap pada cakrawalanya dan berupaya mempertanyakan keberadaannya; “Jadi tidak ada kodrat manusia karena tidak ada Allah yang bisa mengkonsepsikanya. Manusia sekedar ada saja. Bukannya ia merupakan apa yang dia pikirkan sendiri, tetapi ia adalah apa yang dikehendakinya, dan bagaimana ia menghendaki diri sendiri sesudah loncatan itu kedalam eksistensi, Manusia bukan lain hanyalah apa yang diciptakannya sendiri”[5].
Namun karena banyaknya cakrawala pilihan yang ada di dunia ini, tidak semerta-merta semua manusia bebas sebebas-bebasnya melakukan hal-hal yang ia mau, karena diantara pilihan yang dipilih, masih banyak juga orang lain yang memilih pilihan. Dengan begitu, selain bertanggung jawab atas eksistensinya pada dirinya sendiri, dia juga bertanggung jawab pula pada semua orang; “…saya bukan hanya mengambil sebuah posisi bagi diri saya sendiri. Saya merelakan diri atas nama semua, maka, sebagai akibatnya, langkah saya mengikat seluruh umat manusia”[6].
Eksistensialisme Sartre ini berupaya untuk mengajak semua manusia bersikap tidak munafik, bebas-otentik, dalam pengertian bahwa segala sesuatu itu tidak bisa diukur dengan nilai-nilai sosial begitu saja, karena nilai-nilai sosial itu sendiri sebenarnya tercipta oleh manusia itu sendiri. Lebih jauh lagi, tolak ukur sebuah subjek mungkin hanya bisa dinilai melalui kejujurannya, karena dengan kejujurannya, ia sudah berani berupaya untuk memilih pilihannya secara bebas melalui kebebasan diri individunya. Berbeda dengan sikap berdusta, sikap dusta ini memang cukup situasional untuk menilainya, namun dalam hal ini ia merupakan implementasi sifat kepalsuan yang berusaha menafikkan kebebasannya.
Kembali kepada Amir, sampai pada menjelang pernikahannya bersama seorang wanita, ia terus-terusan bimbang. Ia tak mampu menjadi dirinya sendiri, ia dipaksa oleh keadaan untuk menjadi seorang lelaki tulen yang heteroseksual. Seolah-olah dalam keadaan ini, jiwa Amir mengalami keterasingan[7]. Amir berusaha mencintai sang istri, namun terasa hambar. Jiwanya seolah tercerabut dari semesta yang menghinggapinya. Hingga pada akhirnya, Amir pun membuat sebuah pengakuan yang mengejutkan kepada istrinya bahwa dirinya adalah seorang gay. Kelanjutannya, istri Amir akhirnya memilih untuk menjauhi diri Amir yang sudah menjadi “subjek” dan bertekad merajut kembali cintanya yang sudah rapuh dahulu kala bersama Bambang.
Namun tak dinanya, Bambang yang sudah menjadi seorang aktivis totalitas pada akhirnya menikah dengan seorang gay yang lain. Sontak hati Bambang pun menjadi tersungkur. Ia merasakan betapa perihnya ketika cinta yang tak terwujudkan. Namun disini Bambang sudah berani menunjukkan keberaniannya, keberanian seorang subjek yang berani tampil jujur, dan memilih atas dasar kebebasannya sebagai manusia.
Tawa, Namun Mengundang Luka
Realitas masyarakat Indonesia yang cukup patriarki dan tulen heteroseks kini seringkali memandang fenomena gay (homoseksualitas) sebagai sesuatu lelucon. Ketika ada statmen sindiran gay, sontak banyak sekali yang tertawa. Seolah tak ada dosa untuk menertawakan “gay”. Seolah-olah, bahwa “gay” itu adalah sebuah derajat yang rendah sehingga pantas dijadikan bahan tertawaan. Tawaan seperti ini selalu saja mengarah pada pemisahan antara diri “kita” dan “mereka”, seolah diri “kita” yang merupakan sempurna dan eksis, dan diri “mereka” hanyalah sebuah objek mati nan satir.
Inilah mengapa banyak sekali individu-individu yang memiliki kecenderungan gay seringkali menutup diri, tidak mau mengekspresikan kehendaknya di ruang publik, ya alih-alih dalam bentuk pengakuan. Lelucon-lelucon gay seringkali membunuh eksistensi seorang gay. Ketika tatapan orang lain menatap seorang gay, sebagai subjek, sang gay malah menjadi objek. Tatapan orang lain tersebut justru mengarahkan diri sang gay menjadi sesuatu “yang lain”. Dari tatapan orang lain tersebutlah, sang gay terkadang selalu berusaha merekontruksi kembali eksistensinya. Namun ketika ia merekontruksi kembali eksistensinya, seketika itu ia dilihat sebagai seorang subjek yang tak terlepas dari kondisi “alienasi’[8].
Pada kelanjutannya, dalam perspektif eksistensialisme, mungkin gay bisa dibangkitkan sebagai subjek. Karena eksistensialisme itu sendiri menuntut sebuah kebebasan untuk jujur-mengakui atas kebebasan pilihannya. Pada dasarnya, tubuh adalah milik diri sendiri, bukan milik orang lain ataupun milik masyarakat. Justru ketika tubuh dikontruksikan dengan kehendak eksternal si subjek, maka jiwa akan menuju keterasingannya. []
[1] Mahasiswa S1 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro yang paling imut dan menggemaskan, faqir asmara dan penuh kasih sayang. Paper ini dipersembahkan dalam diskusi eLSA (Lembaga Studi Sosial dan Agama) Semarang & LPM Justisia Fakultas Syari’ah IAIN Wali Songo pada hari Rabu , tanggal 27 September 2013.
[2] Wajah seksualitas yang ekspresif ditandai dengan manifestasi seks seperti poligami, insest, homoseksualitas, perselingkuhan, dsb. Sedangkan wajah seksualitas yang represif ialah wajah yang sudah ditandai dan diredam oleh aparatus negara, ideologi maupun agama, sehingga pada tataran ini seksulitas terlihat dibungkam di satu sisi. Lebih lanjut, lihat: Hatib Abdul Kadir. Tangan Kuasa Dalam Kelamin. InsistsPress. 2007. Hal. 17.
[3] Dalam hal ini, saya melihat ada keselarasan mengenai penilaian diri seorang homoseks oleh subjek yang lain dengan pendapatnya Simmone de Beauvoir, seorang feminis eksistensialis, kekasihnya Jean-Paul Sartre. Simone mengatakan “the terms masculine and feminine are used symmetrically only as a matter of form on legal papers. In actuality the relation of the two sexes is not quite like that of two electrical poles, for man represent both the positive and the neutral as indicated by the common use of man to designate human being in general; whereas woman represents only the negative, defined by limiting criteria without reciprocity” (Simmone de Beauvoir. The Second Sex. Jonathan Cape. London. 1967. Hlm 15), bahwa dunia itu selalu tidak adil bagi perempuan karena ia selalu dinilai berdasarkan dari suatu hal diluar dirinya. Perempuan ditimbang berdasarkan pada ukuran dan sudut pandang laki-laki, pada titik ini perempuan bukanlah seorang subyek yang eksis namun ia hanyalah menjadi obyek. Sama seperti halnya seorang yang homoseks, ia selalu dinilai oleh yang diluarnya. Orang yang heteroseks selalu menilai bahwa homoseks itu anu dan itu, seakan-akan ia yang paling mengetahui semesta-nya orang yang homoseks. Namun pada titik identitas subjek-objeknya yang berbeda. Pergerakan emansipasi kaum gay sekarang cukup menitik beratkan pada pembentukan subjek hingga menjadi agen.
[4] Film “Cinta Yang Disembunyikan” adalah sebuah roman yang tak biasa, dimana disana ditampilkan kisah cinta dan hasrat pasangan gay. Film ini diproduseri oleh Denny JA, Ph.D bersama Hanung Brahmantyo, dan merupakan bagian dari sosialisasi program Yayasan Indonesia Tanpa Diskriminasi Denny JA. Selain itu, ada juga film yang alur ceritanya hampir sama, namun pembawaan narasinya yang berbeda (memakai latar film berupa puisi dan teater), yakni film “cinta terlarang batman dan robin”.
[5] Sartre dalam “L’Eksistentialisme est un Humanisme” dikutip dari Franz Magnis Suseno, Etika Abad Keduapuluh : 12 teks kunci. Kanisius. 2009. Jogjakarta. Hlm 73.
[6] Ibid Hlm. 75
[7] Karl Jaspers (seorang filsuf eksistensialisme) sering berujar mengenai keterasingan. Katanya; “Dunia sebagai objek pengetahuan adalah (sesuatu yang) asing (alien). Saya berdiri dalam suatu jarak darinya. Bagi saya itu sesuatu yang lain. Saya bersikap tidak peduli terhadapnya... Saya tidak nyaman di dalamnya, karena dunia tersebut tidak berbicara dengan bahasa yang berkaitan dengan saya. Semakin saya memahaminya secara lebih determinatif melalui pengetahuan, saya semakin merasa tak nyaman di dunia ini” (Richard Scahct. Alienasi: Sebuah Pengantar Komprehensif. Penerbit Jalasutra.2005. Jogjakarta. Hlm. 264). Disini, Amir merasa semakin ia menyelami relasi cinta yang heteroseks, justru dirinya semakin mengalami keterasingan. Seolah-olah dia yang “ada” menjadi “lenyap”.
[8] Ibid. Hlm 294.