[caption id="attachment_305807" align="aligncenter" width="300" caption="alienasi"][/caption] Oleh: M. Rasyid Ridha Saragih
Runtuhnya dominasi immaterialisme dalam kekuasaan dunia ditandai dengan semakin progress-nya Revolusi Industri pada abad pencerahan di Eropa. Dibangun diatas fondasi kokoh rasionalitas, masyarakat Eropa pada saat itu semakin mantap untuk berpetualang di era modern. Namun rasionalitas abad pencerahan ini berbanding terbalik sekali dalam subjeknya itu sendiri. Atas nama Revolusi Industri, maka bangsa Eropa berbondong-bondong menuju “wilayah perawan” di Asia, lalu Amerika Latin dan Afrika. Penjajahan multidimensi menjadi agenda terbesar demi memenuhi syahwat revolusi industri tersebut. Namun apa dikata, semakin banyaknya pabrik-pabrik di Eropa, tidak justru membuat semua rakyat Eropa sejahtera dan hidup bahagia. Bak Takdir dari Tuhan, selalu ada saja bagian yang terasingkan dibalik gemerlap dan ramainya kehidupan dimensi material yang sibuk.
Di penghujung era modern yang sejatinya diharapkan membawakan kebahagiaan bagi masyarakat pada saat itu, Tuhan seperti memberikan “kutukan” bagi peradaban manusia. “Anak-anak yang tak pernah diharapkan untuk lahir” muncul di dunia; Marx, Nietzsche dan Freud. Jika dilihat kembali, bahwa trio ini berusaha membuka keborokan-keborokan realitas di dunia ini. Marx melalui diskursus Alienasi dan pertentangan kelas-nya, Nietzsche dengan membunuh harapan-harapan manusia yang selalu berkutat pada Tuhan, Metafisika, dan Kesenangan Dunia, juga Freud dengan menyingkapkan kain cadar mengenai hasrat dan ketidaksadaran dalam sebuah peradaban.
Pada tulisan ini, saya berusaha membaca konsep-konsep alienasi Marx (atau jika ada seorang Derridean yang protes, mungkin saya lebih menyebutnya konsep-konsep miliknya Marxian). Jika kita melirik bahwa karya-karya besar Marx “tua” secara eksplisit terlihat gambaran yang sangatlah materialistik, namun jika kita melirik pada tulisan-tulisan Marx ‘muda’, justru kita bisa melihat sisi humanisnya yang tampak bersemangat, menggebu-gebu untuk merealisasikan diri manusia seutuhnya.
Kita bisa melihat ketika mulai banyak bermunculan kritikus film, buku, novel, drama, dsb. Meresensi karya-karya yang terkait, kata alienasi selalu muncul disana sebagai sesuatu yang lazim, yang bisa dikatakan bahwa itu merupakan suatu kondisi dimana seorang subjek dalam lingkungan modern yang dirinya merasa terpasung dan terasing. Kita mendengar kata tersebut dalam berbagai kritik terhadap esensi pekerjaan dalam industri modern dan organisasi birokratis, kualitas hidup dalam kelas masyarakat borjuis menengah, hubungan pemerintah dengan yang diperintah, dst.
Adalah Hegel yang pertama kali memposisikan diskursus mengenai Alienasi ke dalam posisi penting dunia filsafat. Tulisan-tulisan awal Marx akan yang berbicara tentang alienasi akan menemui kesinambungannya ketika dikaitkan dengan tulisannya Hegel. Filsafat pada saat itu seolah-olah menyentuh ruang-ruang yang sama sekali abstrak, sedangkan alienasi itu sendiri merupakan fenomena yang kongkrit. Namun kenyataan berbeda akan kita jumpai berbeda ketika Marx menulis Manifesto Komunis, ia menyebut disana bahwa Alienasi itu sendiri sebagai omong kosong filsafat.
Alienasi Dalam Beberapa Deskripsi
Alienasi merupakan serapan kata dari bahasa latin, yakni alienatio. Kata benda ini mederivasi maknanya dari kata kerja alienare (untuk menjadikan sesuatu milik orang lain, membawa pergi, melepaskan). Alienaer, pada gilirannya, diderivasi dari alienus (milik atau berkaitan dengan pihak lain). Alienus inilah yang pada akhirnya diderivasi dari kata alius (yang berarti The Other-Yang Liyan sebagai kata sifat, atau another ‘yang lain’ sebagai kata benda).
Dalam bentuk deskripsi teologi tradisional, seperti protestan permulaan, beberapa konsep alienasi dipakai untuk penjabaran ayat-ayat al-kitab, misalnya seperti dalam Ephesian 4:18. Paulus yang sedang membicarakan Gentiles, berkata: “ Mereka telah digelapkan dalam pemahaman mereka, teralienasi dari kehidupan Tuhan karena kebodohan yang ada dalam diri mereka, karena kerasnya hati mereka”. Dalam beberapa ayat al-quran pun banyak sekali pembahasan yang menyangkut konsep alienasi ini sendiri. Konsep alienasi dalam teologi biasanya lebih secara spesifik penjabaran mengenai keterpisahannya spirit antara “Kaum-nya Tuhan” dengan “Kaum-nya yang melawan Tuhan (baik melalui politik, maupun dalam persoalan pengetahuan).
Dalam teori kontrak sosial, kita jua bisa melihat Hobbes yang berujar secara subtansi mengenai alienasi (walau ia tidak menggunakan istilah tersebut). Hobbes berpendapat bahwa siapa pun yang melakukan kontrak sosial, maka ia bisa mendapatkannya dengan cara ‘mencabut hak untuk melakukannya yang ia suka’ dari dirinya, lalu dialihkan kepada pihak yang memiliki daulat ‘right of nature’ untuk “menggunakan kekuatannya sendiri seperti yang akan dilakukan kepada dirinya sendiri, untuk perlindungan... terhadap kehidupannya sendiri”. Hal inilah yang menurut Hobbes, telah memungkinkan terciptanya masyarakat sipil dan persemakmuran.
Hegel pada karyanya-karya awalnya, memulai pembahasannya mengenai kemungkinan adanya konsep alienasi (namun ia tidak menggunakan istilah entfremdung sebelum meluncurkan karyanya “Fenomenologi”), salah satunya melalui jalur konsep cinta. Di dalamnya Hegel menaruh perhatian terhadap adanya persatuan sejati individu-individu, dan juga antara individu dengan dunia.Persatuan individu-individu ini hanya dapat dicapai dengan cinta, yang dikarakterisasikan olehnya sebagai suatu perasaan tunggal yang lengkap (oneness). Cinta dikatakan mengesampingkan semua sikap menentang dan menuntut tindakan menyerah yang lengkap. Setiap kebebasan yang tidak dilepaskan mencegah tercapainya persatuan yang lengkap. “Cinta tak sudi jika bagian dari individu tersebut diperlakukan secara kasar dan ditahan sebagai suatu milik pribadi”. Dalam esai-esai awalnya, memang Hegel lebih berbicara mengenai manusia, dunia dan kehidupannya. Namun selanjutnya kita bisa melihat, ia juga mulai melirik pada kehidupan yang tampaknya memiliki suatu ‘karakter asing’. Maka dari itu, disini ia lebih merangkul konsep pengakuan dan cinta terhadap adanya suatu hakikat esensial yang sama untuk mentransformasi situasi.
Setelah beberapa proses, akhirnya Hegel merumuskan secara lebih jeli mengenai alienasi ini dalam karyanya Fenomenologi of Spirit. Disini ada ulasannya mengenai spirit yang mengalienasi diri. Di dalamnya Hegel menjelaskan dengan dua pengertian mengenai Alienasi, yang pertama ia menjelaskan bahwa Alienasi sebagai Pemisahan, yang dimana akan terlihat hilangnya unitas dengan subtansi sosial. Dalam perjalanan hidup, kesadaran diri sendiri sebagai konsep individu yang disting tidaklah selalu muncul. Hubungannya dengan subtansi sosial bersifat unitas yang lengkap dan langsung. Ia menilai, bahwa potensi konflik dapat muncul jika ‘ditariknya seseorang menuju dirinya sendiri dari aktualitasnya’, terhentinya identifikasi diri dengan subtansi dan mengidentifikasi dirinya hanya pada hal partikular dan karakteristiknya sendiri. Hegel melihatnya ini adalah sesuatu yang wajar, karena dimensi individualitas yang berbeda dan eksistensi indepeden muncul. Dimensi inilah yang keluar dari ‘dunia etis’ (tempat pergantian proses hubungan individu dengan subtansi sosial), sehingga dengan adanya penyimpangan ini maka terdapatlah kondisi kehilangan wujud esensialnya. Maka untuk mengatasi defisiensi ini, maka karakteristik unitas lengkap harus diakhiri.
Setelah hilangnya kesatuan orisinal, hingga saat kesatuan yang baru dibentuk, hubungan individual yang bersangkutan dengan subtansi sosial bertabrakan. Sesudah diserap dalam keadaan disting yang baru ditemukan, individu tersebut menilai subtansi sosial yang awal ini benar-benar menjadi sesuatu yang liyan. Suatu ‘non identitas dalam kesadaran diantara ego dan subtansi’ akhirnya muncul. Individu tersebut melihat bahwa subtansi itu sebagai sesuatu yang eksternal dan berlawanan’ baginya. Dan subtansi itu terlihat sebagai sesuatu yang asing, sehingga pada saat itulah subtansi teralienasi. Jadi, konsep terpisahan yang diuraikan oleh Hegel ini merupakan konsep yang penting dalam pembicaraan Alienasi.
Lalu yang kedua, Hegel menjelaskan bahwa alienasi tidak hanya disebut untuk menyebut keterpisahan, ia juga menyebut bahwa alienasi merupakan sebuah penyerahan, sebuah jenis pengorbanan yang penting. Disini keterpisahan tersebut harus diatasi, demi melestarikan alienasi yang dikonsep sebagai sebuah penyerahan-pengorbanan diri. Konsep cinta dan pengakuan yang ditulis oleh Hegel menjadi yang penting jika merumuskan alienasi seperti penjabaran diatas.
Setengah abad kematian Hegel, Marx muda mulai merancang tulisan-tulisan awalnya. Ia tidak sepenuhnya setuju dengan pandangan Hegel yang menyatakan pembentukan diri manusia itu berasal dari spirit. Disini Marx berusaha menjelaskan bahwa material yang ada (kenyataan bagaimana manusia itu berada dalam alam yang nyata dan praktis) di dunia inilah yang terpenting. Marx melihat pemikiran Hegel tentang ‘proses historis’ sebagai suatu abstraksi, tetapi juga dilihat sebagai suatu garis-garis besar sejarah manusia dapat dilihat. Dengan demikian, Marx berusaha untuk lebih membumikan ide-ide Hegel, dengan menetapkkan batas-batas yang kongkret yakni batas ‘ekonomi politis’.
Pembahasan Marx dalam tulisan-tulisan awalnya berpusat pada konsep ‘manusia yang teralienasi dirinya sendiri dan ‘pekerja’ yang teralienasi. Selain itu, Marx menulis aktifitas hidup manusia yang penting itu berpusat pada aktifitas produksinya. Jika Hegel menulis bahwa karakteristik esensial manusia adalah individualitas dan universalitas, maka Marx memaknai bahwa karakteristik esensial manusia adalah individualitas, sosialitas, dan inderawi. Unsur Inderawi inilah yang hilang dari pembahasan Hegel, namun sepembaca kita jika ingin melakukan generalisasi, unsur ini sebenarnya mungkin saja masuk pada unsur individualitas-nya Hegel. Unsur Inderawi ini yang pada kelanjutannya mengilhami para psikoanalisis marxis belakangan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H