Hari ini saya dan beberapa rekan janjian untuk makan siang di Penjual Bakmi langganan kami.
“Bakmi lagi ?...”, ujar Boss saya heran. “Yaaaa…udah langganan sih…”, sahut kami berbarengan.
Langganan? Yahh… bahkan kami berseloroh, saking seringnya kami ke sana seharusnya kami sudah punya Platinum Membership Card atas loyalitas kami sebagai pencinta Bakmi, ha…ha…
Tak pernah ada minggu dan bulan yang terlewatkan buat saya dan rekan-rekan tanpa mampir untuk menikmati semangkok Bakmi ayam komplit spesial, mmmmmm ….
Lokasi tempat Penjual Bakmi itu sendiri cukup jauh. Kami harus mengitari gedung kantor dan berjalan melewati gang-gang kecil di bawah cuaca Jakarta yang terik dan (terkadang) terhirup aroma tak sedap dari saluran pembuangan yang kami lewati. Tapi tetap saja kami rela berpanas-panas dan melewati serangkaian “hambatan” demi semangkok Bakmi Komplit (kadang lebih kalau sedang benar-benar laparrr…ha..ha).
Terkadang singgah di pikiran saya, apa sesungguhnya yang memotivasi saya dan rekan-rekan (dan juga semua pelangggan lain yang selalu memenuhi semua tempat duduk) untuk tetap setia kepada Bakmi tersebut padahal kami punya banyak pilihan lain yang lokasinya lebih nyaman? ...
Sebenarnya tak ada yang sangat istimewa dari tempat tersebut, kecuali memang rasanya yang sangat nikmat di lidah kami (namun herannya, waktu saya ngidam saya sama sekali benci sama Bakmi ini lho… aneh yaa?...).
Bakmi yang kenyal dan enak, kuah Bakmi yang gurih, pangsit yang legit, Bakso yang bulat (semua Bakso juga bulat yaa…eeeeh, teman saya protes…katanya ada juga bakso yang kotak dan gepeng, hehe…), pangsit goreng yang kriukk, sambal yang pedasnya khas….hmmmm…. jadi “ngiler” nihhh….
Namun, Sebenarnya ada yang membuat kami merasa “terikat” dengan Bakmi tersebut. Yaitu pertemanan kami dengan Encik (ini benar nggak nulisnya yaa?...), sang empunya “restoran” bakmi. Hubungan kami sangat baik. Setiap kami ke sana, si Encik selalu menyempatkan diri untuk menyapa kami dan mengajak kami ngobrol tentang apa saja (wahh..kalau ini kadang-kadang perlu di-rem, berhubung si Encik kalau ngomong nggak bisa stop…).
Dari obrolan-obrolan ringan kami, terselip kekaguman saya pada sang Encik dalam menjalankan bisnisnya dan etos kerjanya. Encik yang asalnya dari Bangka ini “tidak makan sekolahan” kalau istilah orang Betawi, tapi dia berbisnis laiknya professional. Dua hal yang sangat saya tangkap dari obrolan-obrolan kami adalah si Encik sangat memperhatikan “employee satisfaction” dan “customer satisfaction”.
Pernah di suatu obrolan kami protes padanya karena udara di dalam warung bakmi-nya sangaaat panas. Saya usul pada si Encik waktu itu,”Encik, mending pasang AC aja biar pembeli pada nggak kepanasan…”. Tak lama setelah itu, waktu kami ke sana lagi…wahhh….AC-nya sudah terpasang. Haha, saran kami didengarkan olehnya. Waktu kami ke sana lagi beberapa kali setelah AC dipasang, kok kayaknya dinginnya tidak maksimal (padahal Encik sudah pasang AC, tapi berhubung kompornya juga satu ruangan dan sirkulasi udara kurang baik, maka udara masih saja terasa panas). Kami usul lagi,”Ganti aja sama kipas angin besar deh,Encik…daripada rugi bayar listriknya AC-nya gak berasa…”. Ehhh…tak lama, AC pun turun pangkat digantikan oleh kipas angin besar. Lagi-lagi usul kami diterima.
Pernah pula kami usul pada Encik untuk “memperlebar” usahanya dengan menjual juice. Inipun ada kepentingan pribadi kami juga sebenarnya supaya kami tak usah repot-repot memesan juice di warung sebelah. Tak lama, pojok juice pun nangkring dengan manis (dan laris) di sudut warung Bakminya. Lagi-lagi, ia mendengarkan saran kami.
Dari suatu obrolan, Encik juga bercerita pada kami bahwa ia sangat-sangat mementingkan kualitas makanan yang dijualnya. Semua ia pakai dari bahan yang terbaik dan Quality Control-nya diawasi langsung oleh si Encik. Dengan suaranya yang nyaring si Encik bilang,