Mohon tunggu...
Rossa Febriana
Rossa Febriana Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Nama saya Rossa Febriana. Saya memiliki hobi jalan-jalan dan mencoba hal baru. Kegiatan ini memberi saya kesempatan untuk menjelajahi berbagai tempat, budaya, dan pengalaman yang berbeda. Setiap perjalanan yang saya lakukan selalu membawa cerita dan pelajaran baru yang memperkaya hidup saya. Saya percaya bahwa dengan mencoba hal-hal baru, saya dapat mengembangkan diri dan menemukan minat serta bakat yang mungkin belum saya sadari sebelumnya. Selain itu, hobi ini juga membantu saya membangun hubungan dengan orang-orang dari latar belakang yang beragam, menjadikan setiap pengalaman semakin berharga.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Antara Formalitas dan Kebenaran: Akreditasi Tidak Menunjukkan Kualitas Pendidikan yang sebenarnya

21 Desember 2024   09:09 Diperbarui: 21 Desember 2024   09:21 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu indikator yang digunakan untuk menilai kualitas program studi dan perguruan tinggi di Indonesia adalah akreditasi. Untuk meningkatkan citra kampus di mata masyarakat, calon mahasiswa, dan pemangku kepentingan lainnya, label seperti "akreditasi A" atau "unggul" sering dipromosikan. Apakah akreditasi, bagaimanapun, benar-benar mampu menunjukkan kualitas pendidikan secara keseluruhan? Apakah mahasiswa merasakan manfaat langsung dari status akreditasi tinggi sebagai bagian penting dari lingkungan pendidikan? 

Sebagai mahasiswa, kami sering merasa bahwa sistem akreditasi berfokus pada materi pembelajaran sehari-hari daripada aspek teknis yang dapat diukur. Meskipun indikator seperti jumlah fasilitas kampus, dosen bergelar doktor, atau publikasi jurnal internasional yang tercantum dalam dokumen akreditasi dapat berguna, mereka tidak selalu mencerminkan kualitas pengalaman akademik siswa. Banyak program pendidikan menerima akreditasi "A" atau "unggul" tetapi masih menerima kritik dari mahasiswanya. Sistem akreditasi sering mengabaikan masalah seperti kurikulum yang kuno, metode pengajaran yang tidak interaktif, dan kurangnya kesempatan untuk melakukan riset bersama. Sebaliknya, ada program studi yang memiliki akreditasi "B" tetapi masih mampu menghasilkan lulusan yang dihargai oleh industri. 

Sebagai mahasiswa Universitas Airlangga, kami menyaksikan perkembangan pendidikan tinggi yang terus berkembang dan menyaksikan bagaimana akreditasi program studi dan universitas seringkali tidak mencerminkan kualitas yang sebenarnya. Akreditasi, yang seharusnya menjadi standar pendidikan yang objektif, seringkali terperangkap dalam formalitas administratif yang jauh dari kehidupan nyata. Untuk mendapatkan akreditasi, kriteria kuantitatif dan teknokratis seperti jumlah penelitian yang dipublikasikan, tingkat pendidikan dosen, dan fasilitas infrastruktur sering diprioritaskan. Pengalaman mahasiswa, relevansi kurikulum, dan kemampuan lulusan untuk beradaptasi dan bersaing di dunia nyata tidak mendapat perhatian yang seimbang. Mahasiswa kadang-kadang percaya bahwa program studi dengan akreditasi tinggi tidak dapat menawarkan pembelajaran yang inovatif; sebaliknya, mereka merasa terjebak dalam rutinitas kelas yang rumit dan birokratis.

 Dilema etis muncul sebagai akibat dari fenomena ini: jika akreditasi digunakan untuk mempromosikan dan melegitimasi universitas, apakah itu mengutamakan kepentingan mahasiswa atau hanya memenuhi tuntutan publik dan pemerintah terhadap reputasi institusi? Biaya pendidikan seringkali dinaikkan karena akreditasi yang tinggi tanpa diiringi dengan peningkatan layanan akademik dan non-akademik. Menurut banyak mahasiswa Universitas Airlangga, fasilitas yang tersedia belum memenuhi standar akreditasi "A". Sebagian kecil dari masalah yang sebenarnya dirasakan termasuk ruang belajar yang terbatas, perpustakaan dengan koleksi buku yang kurang canggih, dan akses yang sulit terhadap penelitian berkualitas tinggi. Selain itu, sistem penilaian akreditasi ini jarang mempertimbangkan hal-hal penting seperti keadilan akses bagi siswa dari berbagai latar belakang sosial ekonomi. Apakah akreditasi "unggul" benar-benar membantu mahasiswa yang berasal dari keluarga yang tidak memiliki uang? Dalam kenyataannya, mahasiswa sering menghadapi masalah sendiri. Ini termasuk biaya hidup yang mahal di kota-kota besar, kesulitan mendapatkan beasiswa, dan tekanan akademik yang tidak proporsional. 

Kami menemukan bahwa sistem akreditasi saat ini hanya berfungsi untuk meningkatkan reputasi institusi secara visual, tetapi tidak benar-benar menangani masalah fundamental pendidikan tinggi. Universitas harus berani mengatasi paradigma ini dengan melibatkan masyarakat luas, alumni, dan siswa dalam evaluasi kualitas pendidikan. Kami percaya bahwa Universitas Airlangga memiliki potensi besar untuk menjadi pelopor dalam reformasi ini. Kami ingin mengubah fokus akreditasi dari sekadar menyelesaikan dokumen menjadi membuat dampak nyata bagi mahasiswa, masyarakat, dan dunia secara keseluruhan. Jika akreditasi tidak menunjukkan hasil pendidikan yang sebenarnya, lalu untuk siapa sistem ini dimaksudkan? Ini adalah pertanyaan penting yang perlu kita jawab secara kolektif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun