"Hidup itu kegelisahan untuk eksis"Â
 -- Jean Paul Sartre -
Jean Paul Sartre lahir 1905 dan meninggal 1980. Ia merupakan Filsuf, kritikus sastra, penulis naskah drama, dan lain-lain. Ia ditinggal mati ayahnya sejak umur dua tahun, ia tinggal bersama ibu dan kakeknya. Dari kakeknya ia belajar ilmu-ilmu dasar, dan diperkenalkan naskah-naskah klasik oleh kakeknya.
Sedari kecil ia cerdas, agak usil, sewaktu dikampus ia bersama teman-temannya membuat semacam intrik yang menyebabkan Rektornya dipecat dari kampus. Pengalamannya sangat luas, ia pernah ikut perang dunia kedua tapi sebagai meteorog (mengamati cuaca/alam), sempat dipenjara sembilan bulan oleh Nazi dan dipenjara ia mulai membaca tulisan-tulisan Heidegger dan lain-lain
Ia tidak menikah tapi hidup bersama dengan simone de beauvoir. Pandangannya tentang cinta sangat diwarnai oleh gagasan eksistensialnya dan hubungannya dengan simone de beauvoir. Ia berpikir yang penting saling jatuh cinta, saling membahagiakan, tidak saling mengganggu, mau selingkuh ya silahkan asal tidak bohong. Itulah Sartre.
Eksistensialisme
Katanya Sartre, fokusnya manusia tidak di esensi tetapi di eksistensi. Menurut Sartre, esensi manusia tidak bisa dijelaskan seperti halnya esensi benda-benda. Contohnya, ketika kita melihat handphone, kita langsung dapat memahami bahwa handphone tersebut untuk alat komunikasi dan bertujuan untuk berhubungan dengan orang lain. Tapi manusia tidak bisa begitu, jika kita bertemu seseorang tidak bisa kita sebut manusia tersebut punya hati dan punya otak. Terkadang ada manusia yang punya otak tapi tak punya hati. Tidak ada hakikat asli manusia.Â
Manusia menemukan hakikatnya dari eksistensinya, atau dalam Bahasa Heidegger "cara meng-ada". Tidak ada hakikat bawaan yang menyatakan bahwa manusia itu pasti baik atau pasti jahat, kalau manusia meng-ada dengan cara jahat maka eksistensi dirinya terbentuk jahat. Kalau tiap hari bohong, nanti hakikat dirinya menjadi pembohong. Pun sebaliknya jika tiap hari jujur, maka hakikat dirinya menjadi jujur. Jadi manusia tidak ada esensi bawaannya, esensi manusia terbentuk dari eksistensinya setiap hari yang dilakukan manusia. Atau dalam Bahasa sederhana "kamu itu apa, tergantung apa yang kamu lakukan setiap hari". Itulah eksistensialisme, jadi kita tidak membawa nilai yang sudah jadi, tapi nilai itu terbentuk dari perilaku kita setiap hari.
"Man is nothing else but what he makes of himself" -- Jean Paul Sartre --
Jadi tidak usah menunggu dirimu jadi apa, tapi bentuklah dirimu seperti yang kamu inginkan. Untuk jadi pintar maka berperilaku atau bersikap seperti orang pintar. Untuk jadi seorang dosen atau guru, maka dari sekarang latihanlah presentasi atau menjelaskan sesuatu, latihan menjadi seorang guru atau dosen yang  baik, jangan nanti-nanti. Jadi, bangun dirimu dari sekarang, karena kamu membangun hari ini maka jadinya besok, kalau membangun nanti-nanti maka tumbuhnya juga lama. Manusia tidak lain adalah apa yang ia buat untuk dirinya sendiri. Â
"Everything has been figured out, except how to live" Â -- Jean Paul Sartre -
Segala sesuatu itu sudah jelas kecuali bagaimana cara kita hidup itu ada ditangan kita. Semua yang disekeliling kita itu bisa diprediksi dan pasti. Misalnya, sebuah pohon pada saatnya akan tumbang itu pasti. Sunnatullahnya sudah jelas, satu-satunya  yang menjadi hak kita yang dikaruniakan Tuhan yaitu "how to live". Jadi, alam semesta ini sudradaranya itu Tuhan, ada sunnatullah dan satu-satunya hak kita yakni "how to live" bagaimana caranya kita hidup. Pilihlah cara hidup yang diinginkan walaupun nanti ada pertanggung jawaban yang ditanggung sendiri-sendiri. Skenario hidup, kita sendiri yang menulis, mau jadi apa dan menjadi apa segalanya bisa ditebak, kecuali cara hidup manusia. Ada yang sekolah tinggi sampai gelar S-3 tapi menjadi jahat, lalu ada juga yang tidak sekolah sama sekali tapi menjadi baik. Dari jahat menjadi baik pun sebaliknya, skenarionya kita sendiri yang menentukan.
Faktisitas
Kita bisa bebas memilih cara hidup kita, nah itu ada wadahnya. Wadahnya itu yakni Faktisitas. Faktisitas adalah fakta-fakta yang tak terhindarkan dalam kehidupan manusia. Fakta tersebut tidaklah dapat ditiadakan, namun mampu sedemikian rupa dilupakan, diolah, dan dimanipulasi. Beberapa faktisitas menurut Sartre misalnya: orang, maut, tempat, waktu, dan lingkungan. Iya kita bisa membentuk hidup, namun kita diwadahi oleh situasi, diwadahi oleh faktisitas. Misalnya kita ingin kuliah dijurusan kedokteran, namun kuliah jurusan kedokteran itu mahal sehingga kita tidak mampu kuliah dijurusan kedokteran, jadinya terpaksa kuliah dijurusan filsafat. Contoh lainnya , misalnya hari ini kita berkeinginan untuk membeli basok namun basoknya sudah habis. Mau tidak mau kita harus berhadapan dengan keadaan tersebut.
Jadi kita bebas membentuk eksistensi diri kita, namun dicegah dengan sesuatu yang bernama Faktisitas.
Kesadaran
Manusia harus mengeksistensikan dirinya karena manusia punya bekal kesadaran diri, berbeda dengan benda-benda, hewan, tumbuhan yang tidak mempunyai kesadaran. Kesadaran diri merupakan hal yang membedakan eksistensi manusia dengan eksistensi makhluk lainnya. Dunia benda-benda membantu dalam pencapaian kesadaran diri manusia. Tanpa adanya benda-benda, maka kesadaran diri manusia tidak mungkin tercapai.
Kesadaran ada dua jenis yakni kesadaran pra replektif dan kesadaran replektif. Kesadaran pra replektif adalah kesadaran langsung yang terarah kepada objek tanpa usaha untuk merefleksikannya, kesadaran pra reflektif tidak disadari karena subjek tidak sengaja memberi perhatian pada objek dan proses kesadaran. Misalnya, ketika saya sedang menerima pesan whatssapp otomatis saya akan membaca pesan tersebut tanpa berpikir. Kesadaran reflektif yaitu kesadaran yang membuat kesadaran yang tidak disadari menjadi kesadaran yang disadari. Dalam kesadaran reflektif subjek merefleksikan apa yang disadarinya. Misalnya, dalam kesadaran reflektif, kesadaran saya tidak lagi terarah pada pesan whatsapp yang dibaca, melainkan pada perbuatan ketika tadi saya membaca pesan whatsapp tersebut. sederhananya kesadaran replektif itu seperti merenung, mengapa hari ini saya main hp terus, kenapa hari ini saya whatsapp pan terus, apa yang sudah dilakukan hari ini, hal baik apa yang dilakukan hari ini dan sebagainya.
Kesadaran membawa manusia pada dua tipe eksistensi yaitu etre en soi (ada pada dirinya) dan etre pour soi (ada bagi dirinya). Etre en soi (being in itself) identik dengan dirinya, Etre en soi tidak aktif, tidak pasif, tidak afirmatif, dan tidak negative. Ada yang tidak sadar (non conscious being) sehingga ia tidak mampu memberi makna pada eksistensinya. Ini berkebalikan dengan manusia yang etre en soi. Etre en soi adalah benda-benda yang padat, selesai dan tanpa celah. Sedangkan etre pour soi (being for itself) adalah ada yang berkesadaran dan kosong sehingga banyak celah dalam dirinya untuk "menjadi".
Jadi, manusia itu bukan sesuatu. Sejelek apapun situasinya, serendah apapun IQ nya, EQ nya, dia tetap unik sebagai manusia dan tidak bisa disamakan dengan yang bukan manusia dengan segala sesuatu. Setiap manusia itu unik, segala yang terjadi selalu miliknya, yang terjadi padaku itulah milikku. Setiap manusia punya pengalaman eksistensialnya sendiri-sendiri. Jadi jangan samakan manusia dengan yang bukan manusia karena manusia apapun kondisinya itu unik karena manusia mempunyai kesadaran karakter yang unik.
Manusia dikutuk Untuk Bebas
"Man is condemned to be free; because once thrown into the world, he is responsible for everything he does. It is up to you to give (life) a meaning" -- Jean Paul Sartre -
Hidup manusia itu dikutuk untuk bebas, karena begitu ia terlempar ke dunia yang dimana dia bertanggung jawab apapun yang ia lakukan. Dan terserah apapun yang dilakukan, yang diinginkan asalkan dapat bertanggung jawab dengan apa yang dilakukannya. Misalnya ketika menyukai gula atau minuman yang manis-manis, ia harus dapat menerima resiko terkena diabetes. Dan tidak bisa ketika menyukai gula tapi tak terkena diabetes. Itu sudah resiko dan itulah resiko dari kebebasan. Dan katanya Sartre bebas itu tidak enak. Lebih enak dipilihkan karena tidak ada tanggung jawabnya. Seperti hewan yang tak punya pertanggung jawaban karena hewan bergerak berdasarkan insting bukan kebebasan, tidak mungkin ada seekor bebek yang dituntut ke pengadilan karena memerkosa bebek betina. Karena yang dilakukan bebek bukan pilihan bebasnya, melainkan insting. Tetapi kalau manusia melakukan itu ya salah, karena manusia bisa memilih untuk menghindar melakukan itu. Jadi kita dikasih pilihan oleh Tuhan segala potensi, jadi baik bisa, jadi jahat bisa, tergantung keinginan individu.
Manusia adalah makhluk yang bebas menentukan hakikat-hakikatnya sendiri. Bebas menentukan jalan hidupnya. Namun, disisi lain hal tersebut justru menjadi suatu kenyataan yang mengerikan. Ketika dihadapkan pada pilihan, manusia sesungguhnya benar-benar dihadapkan pada kebebasannya sendiri. Manusia benar-benar sendirian. Kebebasan adalah beban, karena kebebasan mengimplikasikan tanggung jawab. Semua pilihan ada resikonya, terkadang resikonya baik terkadang juga resikonya buruk.
Jadi setiap pilhan bebasmu disana mengikuti tanggung jawab dan resiko itulah maka manusia dikutuk untuk bebas. Kebebasan itu dasarnya pilihan, wadahnya faktisitas, dan harus berhadapan dengan resiko. Disitulah sumber kegelisahan manusia, manusia itu gelisah karena diawal harus memilih dan diakhir harus menanggung resiko, jadi jangan dikira hidup itu menyenangkan dan katanya Sartre hidup itu kegelisahan untuk eksis.
Bad Faith
Hidup itu tidak enak karena harus memilih dan bertanggung jawab. Tapi ada orang yang lari dari takdir bebasnya, lari dari kesiapan menanggung resiko. Dan akhirnya ia memasrahkan hidupnya pada institusi, orang lain, perusahaannya, lembaga yang ia percaya dan ini yang dinamakan bad faith. Hidup matinya dipasrahkan pada intstitusi tersebut, ia takut menjalani takdir sebagai makhluk yang bebas, tidak berani mengambil keputusan sendiri. Dan ini yang lebih menyakitkan katanya Sartre karena resikonya kehilangan jati dirinya sendiri. Ia tidak memilih tapi dipilihkan orang lain, tidak memutuskan sendiri tapi orang lain yang memutuskan untuk dirinya. Kalau katanya sopenhower "tenggelam dalam kerumunan", Jadi adanya seperti tidak ada, tidak penting ada atau tidak karena ia tidak eksis sebagai diri sendiri.
Orang Lain adalah Neraka
Kenapa orang lain adalah neraka, karena orang lain selalu memposisikan kita sebagai objek. Contohnya, orang batuk ditengah keramaian menjadi tidak bebas karena banyak orang, tetapi ketika ia sedang sendiri ia batuk dengan bebas sekencang-kencangnya.
Setiap relasi antarmanusia adalah konflik, saling menegasikan terus menerus, karena seorang manusia menjadi subjek sekaligus juga objek bagi yang lain. oleh karena itu, satu dengan yang lainnya berusaha untuk memasukkan orang lain (yang ada diluar dirinya) dalam pusat "dunia"-nya. Setiap perjumpaan dan komunikasi dengan orang lain merupakan ancaman bagi eksistensinya.
Manusia dapat menemukan kebebasannya ketika ia berada seorang diri di dalam kamar. Ia bebas melakukan apapun, menjadi dirinya sendiri. Namun, ketika ia menyadari ada orang lain yang mengintipnya dari balik lubang kunci di pintu kamarnya, dalam sekejap manusia tersebut akan berubah dan membuat dirinya menjadi "sesuai dengan apa yang ingin dilihat si pengintip" maka "neraka adalah orang lain".
Bagi Sartre, Tuhan termasuk dalam kategori "si pengintip". Manusia tidak akan bebas selama Tuhan mengawasi gerak-gerik mereka. Oleh sebab itu, menurutnya seorang eksistensialis sebaliknya adalah seorang atheis, Fyodor Dostoyevsky mengatakan, "jika Tuhan tidak ada, semuanya boleh", namun Sartre membalik pernyataan tersebut menjadi, "Karena semuanya boleh  berarti Tuhan tidak ada". Sarte sendiri merupakan seorang Atheis.
"Sartre reminds us that actions and statements, most choices, are made within the view of oyhers and others will determine if we are liars or being authentic"
Kenapa orang lain adalah neraka? Karena tindakan, perilaku, perkataan kita mempertimbangkan pendapat atau pandangan orang. Tadi diawal kita bebas ingin mewujudkan diri kita sesuai keinginan tapi gara-gara ada orang lain terus keinginan kita tidak bisa dipenuhi karena kita mempertimbangkan komentar orang, pandangan orang bukan berdasarkan kenyamanan kita sehingga kita tidak eksis menjadi diri sendiri. Jafi, hidup kita terkungkung oleh komentar orang lain sehingga kita tidak eksis menjadi diri kita sendiri. Mau ngomong anu takut dianggap anu, mau melakukan anu takut dianggap anu. Disitulah berlaku jargon "orang lain adalah neraka" Â dan untuk keluar dari neraka yakni eksis menjadi diri sendiri, wujudkan keinginan versimu yang authentic, sesuai yang kamu inginkan.
Humanisme Eksistensialisme
Dari situ muncul gagasan Humanisme Eksistensial. Menurut Sartre humanisme pada era sebelumnya masih belum radikal karena masih mengandaikan adanya nilai-nilai yang ditentukan dari luar diri manusia itu sendiri, entah itu Tuhan, Realitas Teringgi, ataupun norma-norma buatan manusia yang dilanggengkan. Individu tidak mendapatkan tempat untuk menciptakan sendiri nilai-nilai yang ia percayai dan yang ia libati (engagement).
Dalam Humanisme lama, Manusia sebagai tujuan dan nilai-nilai yang diperjuangkan. Nilai itu berasal dan berhubungan dengan hal-hal tertentu terbaik yang telah dilakukan orang tertentu. Kritik Sartre: Manusia itu bukan tujuan, karena ia selalu dalam proses 'menjadi'.
Humanisme Eksistensial itu sifatnya optimis: sebuah doktrin tentang tindakan aktif manusia. Manusia itu bebas, tidak ada lagi excuse, manusia ditinggalkan sendirian. Manusia dikutuk untuk menjadi bebas. Terkutuk sebab ia tidak menciptakan dirinya sendiri namun sungguh-sungguh bebas dan dituntut bertanggung jawab atas segala sesuatu yang ia lakukan. Maka, Action (tindakan), itulah kata kunci yang mau ditunjukan Sartre kepada kita guna memberi makna pada kemanusiaan. Action dan bukan quietism.
Manusia adalah makhluk yang mampu mengejar tujuan-tujuan transenden, karena manusia adalah makhluk yang mampu melampaui dirinya sendiri, self surpassing. Yang manusia butuhkan bukanlah bukti dari eksistensi Tuhan, namun penemuan dirinya kembali dan untuk memahami bahwa tidak ada satupun yang dapat menyelamatkan dirinya kecuali dirinya sendiri. Dalam pengertian inilah Sartre berani mengatakan bahwa eksistensialisme itu optimis, bukan sebuah ajaran untuk menarik diri dari dunia ramai dan masuk ke pertapaan guna menemukan kedamaian jiwa, melainkan sebuah ajaran untuk bertindak secara konkret dalam dunia nyata, dunia sehari-hari, dunia umat manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H