Kenapa orang lain adalah neraka? Karena tindakan, perilaku, perkataan kita mempertimbangkan pendapat atau pandangan orang. Tadi diawal kita bebas ingin mewujudkan diri kita sesuai keinginan tapi gara-gara ada orang lain terus keinginan kita tidak bisa dipenuhi karena kita mempertimbangkan komentar orang, pandangan orang bukan berdasarkan kenyamanan kita sehingga kita tidak eksis menjadi diri sendiri. Jafi, hidup kita terkungkung oleh komentar orang lain sehingga kita tidak eksis menjadi diri kita sendiri. Mau ngomong anu takut dianggap anu, mau melakukan anu takut dianggap anu. Disitulah berlaku jargon "orang lain adalah neraka" Â dan untuk keluar dari neraka yakni eksis menjadi diri sendiri, wujudkan keinginan versimu yang authentic, sesuai yang kamu inginkan.
Humanisme Eksistensialisme
Dari situ muncul gagasan Humanisme Eksistensial. Menurut Sartre humanisme pada era sebelumnya masih belum radikal karena masih mengandaikan adanya nilai-nilai yang ditentukan dari luar diri manusia itu sendiri, entah itu Tuhan, Realitas Teringgi, ataupun norma-norma buatan manusia yang dilanggengkan. Individu tidak mendapatkan tempat untuk menciptakan sendiri nilai-nilai yang ia percayai dan yang ia libati (engagement).
Dalam Humanisme lama, Manusia sebagai tujuan dan nilai-nilai yang diperjuangkan. Nilai itu berasal dan berhubungan dengan hal-hal tertentu terbaik yang telah dilakukan orang tertentu. Kritik Sartre: Manusia itu bukan tujuan, karena ia selalu dalam proses 'menjadi'.
Humanisme Eksistensial itu sifatnya optimis: sebuah doktrin tentang tindakan aktif manusia. Manusia itu bebas, tidak ada lagi excuse, manusia ditinggalkan sendirian. Manusia dikutuk untuk menjadi bebas. Terkutuk sebab ia tidak menciptakan dirinya sendiri namun sungguh-sungguh bebas dan dituntut bertanggung jawab atas segala sesuatu yang ia lakukan. Maka, Action (tindakan), itulah kata kunci yang mau ditunjukan Sartre kepada kita guna memberi makna pada kemanusiaan. Action dan bukan quietism.
Manusia adalah makhluk yang mampu mengejar tujuan-tujuan transenden, karena manusia adalah makhluk yang mampu melampaui dirinya sendiri, self surpassing. Yang manusia butuhkan bukanlah bukti dari eksistensi Tuhan, namun penemuan dirinya kembali dan untuk memahami bahwa tidak ada satupun yang dapat menyelamatkan dirinya kecuali dirinya sendiri. Dalam pengertian inilah Sartre berani mengatakan bahwa eksistensialisme itu optimis, bukan sebuah ajaran untuk menarik diri dari dunia ramai dan masuk ke pertapaan guna menemukan kedamaian jiwa, melainkan sebuah ajaran untuk bertindak secara konkret dalam dunia nyata, dunia sehari-hari, dunia umat manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H