Hidup manusia itu dikutuk untuk bebas, karena begitu ia terlempar ke dunia yang dimana dia bertanggung jawab apapun yang ia lakukan. Dan terserah apapun yang dilakukan, yang diinginkan asalkan dapat bertanggung jawab dengan apa yang dilakukannya. Misalnya ketika menyukai gula atau minuman yang manis-manis, ia harus dapat menerima resiko terkena diabetes. Dan tidak bisa ketika menyukai gula tapi tak terkena diabetes. Itu sudah resiko dan itulah resiko dari kebebasan. Dan katanya Sartre bebas itu tidak enak. Lebih enak dipilihkan karena tidak ada tanggung jawabnya. Seperti hewan yang tak punya pertanggung jawaban karena hewan bergerak berdasarkan insting bukan kebebasan, tidak mungkin ada seekor bebek yang dituntut ke pengadilan karena memerkosa bebek betina. Karena yang dilakukan bebek bukan pilihan bebasnya, melainkan insting. Tetapi kalau manusia melakukan itu ya salah, karena manusia bisa memilih untuk menghindar melakukan itu. Jadi kita dikasih pilihan oleh Tuhan segala potensi, jadi baik bisa, jadi jahat bisa, tergantung keinginan individu.
Manusia adalah makhluk yang bebas menentukan hakikat-hakikatnya sendiri. Bebas menentukan jalan hidupnya. Namun, disisi lain hal tersebut justru menjadi suatu kenyataan yang mengerikan. Ketika dihadapkan pada pilihan, manusia sesungguhnya benar-benar dihadapkan pada kebebasannya sendiri. Manusia benar-benar sendirian. Kebebasan adalah beban, karena kebebasan mengimplikasikan tanggung jawab. Semua pilihan ada resikonya, terkadang resikonya baik terkadang juga resikonya buruk.
Jadi setiap pilhan bebasmu disana mengikuti tanggung jawab dan resiko itulah maka manusia dikutuk untuk bebas. Kebebasan itu dasarnya pilihan, wadahnya faktisitas, dan harus berhadapan dengan resiko. Disitulah sumber kegelisahan manusia, manusia itu gelisah karena diawal harus memilih dan diakhir harus menanggung resiko, jadi jangan dikira hidup itu menyenangkan dan katanya Sartre hidup itu kegelisahan untuk eksis.
Bad Faith
Hidup itu tidak enak karena harus memilih dan bertanggung jawab. Tapi ada orang yang lari dari takdir bebasnya, lari dari kesiapan menanggung resiko. Dan akhirnya ia memasrahkan hidupnya pada institusi, orang lain, perusahaannya, lembaga yang ia percaya dan ini yang dinamakan bad faith. Hidup matinya dipasrahkan pada intstitusi tersebut, ia takut menjalani takdir sebagai makhluk yang bebas, tidak berani mengambil keputusan sendiri. Dan ini yang lebih menyakitkan katanya Sartre karena resikonya kehilangan jati dirinya sendiri. Ia tidak memilih tapi dipilihkan orang lain, tidak memutuskan sendiri tapi orang lain yang memutuskan untuk dirinya. Kalau katanya sopenhower "tenggelam dalam kerumunan", Jadi adanya seperti tidak ada, tidak penting ada atau tidak karena ia tidak eksis sebagai diri sendiri.
Orang Lain adalah Neraka
Kenapa orang lain adalah neraka, karena orang lain selalu memposisikan kita sebagai objek. Contohnya, orang batuk ditengah keramaian menjadi tidak bebas karena banyak orang, tetapi ketika ia sedang sendiri ia batuk dengan bebas sekencang-kencangnya.
Setiap relasi antarmanusia adalah konflik, saling menegasikan terus menerus, karena seorang manusia menjadi subjek sekaligus juga objek bagi yang lain. oleh karena itu, satu dengan yang lainnya berusaha untuk memasukkan orang lain (yang ada diluar dirinya) dalam pusat "dunia"-nya. Setiap perjumpaan dan komunikasi dengan orang lain merupakan ancaman bagi eksistensinya.
Manusia dapat menemukan kebebasannya ketika ia berada seorang diri di dalam kamar. Ia bebas melakukan apapun, menjadi dirinya sendiri. Namun, ketika ia menyadari ada orang lain yang mengintipnya dari balik lubang kunci di pintu kamarnya, dalam sekejap manusia tersebut akan berubah dan membuat dirinya menjadi "sesuai dengan apa yang ingin dilihat si pengintip" maka "neraka adalah orang lain".
Bagi Sartre, Tuhan termasuk dalam kategori "si pengintip". Manusia tidak akan bebas selama Tuhan mengawasi gerak-gerik mereka. Oleh sebab itu, menurutnya seorang eksistensialis sebaliknya adalah seorang atheis, Fyodor Dostoyevsky mengatakan, "jika Tuhan tidak ada, semuanya boleh", namun Sartre membalik pernyataan tersebut menjadi, "Karena semuanya boleh  berarti Tuhan tidak ada". Sarte sendiri merupakan seorang Atheis.
"Sartre reminds us that actions and statements, most choices, are made within the view of oyhers and others will determine if we are liars or being authentic"