(Pengalaman Misi Lintas Agama di Geliting)
Federasi Konferensi-Konferensi Para Uskup Asia telah bertahun-tahun  mendiskusikan tema seputar dialog. Dalam konferensi itu para uskup menetapkan tiga model dialog, yakni: dialog dengan orang-orang dari kebudayaan-kebudayaan lain, dialog dengan fakir miskin, dan dialog dengan orang-orang dari agama-agama lain.
Pada kesempatan ini, saya hendak merefleksikan model dialog dengan orang-orang dari agama-agama lain sebagai salah satu dari ketiga model dialog yang telah disebutkan di atas.Â
Refleksi ini merupakan tindakan lanjut atau sebagai bentuk representasi dari pengalaman saya selama tiga hari mengadakan kegiatan bersama umat Muslim di Geliting-Maumere, terhitung dari hari Jumat, (21/10) sampai Minggu, (23/10).
Hari Minggu Misi
Kegiatan Minggu Misi merupakan salah satu dari sekian banyak program yang ada di Komunitas Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero. Biasanya, beberapa waktu sebelum hari Minggu Misi tiba, para frater memilih dan menentukan sendiri ke tempat mana mereka menjalankan program misinya.
Perlu diketahui, program hari Minggu misi berbeda dengan program live in yang juga merupakan program dan kegiatan tahunan para frater. Kegiatan live in yang dilakukan oleh para frater di Ledalero biasanya berlangsung kurang lebih satu Minggu.Â
Pada saat itu, mereka mengunjungi paroki-paroki dan tinggal bersama umat. Mereka bukan saja hadir sebagai rombongan tetamu, tetapi benar-benar berada bersama umat.Â
Artinya, para frater terlibat langsung dalam rutinitas harian umat dan turut merasakan suka-duka pengalaman hidup mereka di tempat di mana para frater menjalankan program live in-nya.
Program kegiatan hari Minggu misi hanya berlangsung selama tiga hari. Namun, tujuan yang ingin dicapai dalam kegiatan ini tidak berbeda jauh dengan tujuan yang ingin digapai dalam program live in.Â
Tujuan dari dua kegiatan ini sama, yaitu memberi kesempatan kepada para calon imam untuk turut merasakan apa yang dialami oleh umat Allah di mana pun mereka berada sekaligus merupakan ajang kreativitas bagi mereka bagaimana cara berteologi berdasarkan konteks atau pengalaman hidup umat.Â
Karena itu, yang dituntut dari padanya adalah keterlibatannya yang aktif dalam setiap kegiatan, rutinitas, dan pengalaman harian umat.
Sebagai bentuk tanggapan konkrit atas program hari Minggu misi ini, para frater dari wisma St. Arnoldus Janssen-Ledalero memilih daerah Geliting sebagai locus dan sasaran misinya adalah saudara dan saudari Muslim.Â
Ada cukup banyak kegiatan yang dilakukan oleh para frater bersama umat muslim di Geliting, di antaranya: Sosialisasi tentang masalah perdagangan manusia (Human Trafficking) dan HIV dan AIDS, bakti sosial di Pemakaman Islam Geliting, membersihkan sampah baik di sepanjang jalan depan pasar maupun di pesisir pantai Geliting, pertandingan persahabatan, dan kegiatan Lailatul Sahabah (malam persahabatan).
Ada satu hal yang sangat menarik dari kegiatan ini, khususnya pada saat Lailatul Sahabah. Acara-acara yang dipentaskan di panggung tidak dimonopoli oleh acara dari para frater, tetapi ditampilkan juga acara dan kreativitas dari umat Muslim dengan menampilkan gaya dan kekhasannya tersendiri.Â
Dari setiap mata acara yang dipentaskan itu sungguh nyata terlihat betapa kerukunan antarumat beragama, khususnya relasi antara agama Katolik dengan agama Islam itu sangat indah mempesona.
Makna Dialog
Sebagai insan beragama, kita tentunya mengafirmasi pernyataan bahwa semua agama mengajarkan tentang keadilan, perdamaian, kesetiakawanan, bela rasa, dan kasih.Â
Namun, kita juga perlu rendah hati menerima kanyataan bahwa sejarah memperlihatkan ada sekian banyak permusuhan, kebencian, pertikaian, dan peperangan yang dilakukan oleh orang-orang dari berbagai agama itu. Beberapa faktor pemicu yang perlu disebutkan di sini, yaitu: faktor sosial, politik, ras, dll.Â
Jika ditilik dari posisi agama, kejanggalan-kejanggalan (baca: kegelisahan) itu terjadi karena para penganut agama bersangkutan cenderung memutlakan agama, seolah-olah agama itu memiliki seluruh kebenaran dan keselamatan.Â
Sebaliknya, ketika kita mengakui bahwa Pemerintahan Allah jauh lebih besar dari agama mana pun di seantero jagat ini, dan bahwa orang-orang lain pun dalam satu dan lain cara telah mengalami kasih Allah, maka kita mestinya lebih terbuka pada dialog dan kerja sama (bdk. Leo Kleden, dalam Misi Untuk Abad ke-21, hlm. 280).Â
Atas dasar itu, maka saya sepantasnya memetik beberapa hal atau makna penting dari kegiatan para frater bersama umat Muslim di Geliting.
Pertama, program dan kegiatan hari Minggu misi yang dilakukan oleh beberapa frater itu sebetulnya ingin menggugat, menggedor, dan membongkar jeruji prasangka kita tentang umat beragama lain.Â
Sebab, tidak sedikit pihak dari agama yang satu menaruh prasangka negatif terhadap pihak beragama lain dan justru prasangka-prasangka seperti itulah yang mendorong orang merasa acuh tak acuh dan malah merasa takut berinteraksi dengan umat beragama lain.
Kedua, kegiatan hari Minggu misi itu hendak menggelitik nurani dan pikiran kita bahwa sebagai anak-anak Abraham, kita semua adalah saudara. Bahwasannya, tidak ada sekat yang memisahkan yang satu dari yang lain. Sebaliknya, kita mesti bersama-sama membangun rumah persaudaraan untuk kita huni secara bersama sebagai saudara sebapa.
Ketiga, di tengah kegelisahan panggung zaman yang sering kali mempertontonkan aksi anarkis atas nama agama tertentu, maka kegiatan dan pengalaman yang telah diramu oleh para frater bersama umat Muslim di Geliting itu kiranya menjadi seberkas titik cerah yang menerangi kalbu kita bahwa tidak ada cara lain selain bertekad membangun dialog, baik dialog kehidupan maupun dialog aksi guna memupuk tali persaudaraan dan rasa solidaritas di antara kita, sebab bagaimanapun dialog mengandaikan adanya sikap saling terbuka, saling memahami, dan saling menerima yang lain sebagai suatu keberagaman dan kekayaan yang khas.
Dari sekian makna yang telah saya petik dari pengalaman berdialog bersama umat Islam di Geliting itu, ada satu hal yang menggelisahkan hati kecil saya, yaitu soal ketidakterlibatan remaja (kaum muda) Muslim dalam hampir setiap kegiatan.Â
Bayangkan, mereka terlibat hanya pada saat olahraga bersama (pertandingan persahabatan) saja. Mestinya, jika kegiatan ini berkontinyu, baiklah jika kaum muda dilibatkan dalam setiap kegiatan yang telah direncanakan bersama. Ingat, masa depan Bangsa ada di telapak tangan kaum muda. Salam.
*Artikel ini pernah dipublikasikan di Surat Kabar Harian Umum Flores Pos.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H