Mohon tunggu...
Anonim
Anonim Mohon Tunggu... Administrasi - anon aja

Akademis yg berguru pada "Kerasnya Kehidupan."

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Kenakalan Anak Akibat Ketidakpedulian Orangtua Terhadap Teknologi

22 Februari 2017   19:55 Diperbarui: 23 Februari 2017   18:30 758
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Inovasi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Apabila kita melihat dari kenakalan anak yang sering terjadi di Indonesia hal ini biasanya disebabkan oleh karena kurangnya perhatian dari orang tua kepada anak tersebut. Misalnya saja saya pernah berbelanja di indomaret saat itu ada seorang anak perempuan kecil yang  masih berumur sekitar empat atau lima tahun, yang saya perhatikan yaitu anak itu tanpa perhatian orangtuanya yang sedang sibuk berbelanja mengambil dan membuka buka barang-barang jajanan seperti coklat dan tidak ada  pegawai yang mencoba  menegurnya. Dari saat itulah saya berpikir bahwa salah satu penyebab dari kenakalan anak yaitu adalah kurangnya perhatian orang tua.

Tidak hanya menyebabkan kenakalan pada anak akibat dari kurangnya perhatian, bisa berdampak sangat bahaya sekali bagi anak tersebut, misalnya saja kita sering saksikan kasus-kasus yang sering  ditampilkan ditelevisi akibat dari kurangnya perhatian dari orangtua yaitu ada anak yang terjepit di esklator, anak yang jatuh dari balkon lantai 4 sebuah apartemen, anak yang tertabrak mobil di depan rumahya, seorang anak yang menelan uang koin logam dan kasus-kasus lainnya. Hal ini menyadarkan kepada kita bahwa kewaspadan dari orang tua terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh anaknya sangatlah diperlukan.

Apalagi jika kita menengok dari perkembangan teknologi saat ini. Banyak sekali orangtua yang lebih mementikan handphone dari pada memberikan perhatian kepada anaknya sehingga menyebabkan anaknya sibuk bermain sendiri atau ada orang tua yang Karena memiliki kemampuan ekonomi maka dia akan dengan sangat mudah memberikan barang-barang elektronik kepada anaknya misalnya dengan memberikanhandphone atau tablet untuk anaknya sebagai teman bermain.

Apabila kita tengok lebih lanjut maka pada masa kanak-kanak sangatlah tidak baik sekali untuk memberikan handphone pada anak selain Karena dapat mengganggu masa bermain dari anak tersebut yang seharusnya lebih aktif diluar agar bisa  melatih fisik dan daya tahan tubuhnya,  juga agar melatih dari kemampuan bersosialisasi dari anak tersebut. Selain itu  yang harus dipikirkan orangtua yaitu dari efek radiasi yang ditimbulkan oleh barang-barang elektronik.

Jika di Indonesia para orangtua lebih memilih memberikan pada anak handphone atau tabletterbaru hal ini justru terbalik pada hal yang dilakukan oleh para petinggi dari perusahaan  teknologi di Amerika misalnya, petinggi Google, ebay ,yahoo, apple dan lain-lainya yang menyekolahkan   anaknya di sebuah sekolah yang tidak menjadikan Komputer atau kecanggihan teknologi sebagai bagian mutlak  di dalam proses pendidikannya, yaitu mereka menyekolahkan anaknya di  Waldorf School of the Peninsula.

Berbalikan dengan sekolah pada umumnya yang memuji-muji teknologi sebagai bagian yang penting di dalam pendidikan sekolah Waldorf justru fokus pada aktivitas fisik, kreativitas, dan kemampuan ketrampilan tangan para murid. Anak-anak tak diajarkan mengenal perangkat tablet atau laptop. Mereka biasa mencatat dengan kertas dan pulpen, menggunakan jarum rajut dan lem perekat ketika membuat prakarya, hingga bermain-main dengan tanah setelah selesai pelajaran olahraga.

Guru-guru di Waldorf percaya bahwa komputer justru akan menghambat kemampuan bergerak, berpikir kreatif, berinteraksi dengan manusia, hingga kepekaan dan kemampuan anak memperhatikan pelajaran. Banyak yang menganggap bahwa kebijakan yang dibuat Waldorf itu keliru. Meski metode pembelajaran yang mereka gunakan sudah berusia lebih dari satu abad, perdebatan soal penggunaan komputer dalam proses belajar-mengajar masih terus berlanjut.

Menurut para pendidik dan orangtua murid di Sekolah Waldorf, sekolah dasar yang baik justru harus menghindarkan murid-muridnya dari komputer. Ini disetujui oleh Alan Eagle (50), yang menyekolahkan anaknya Andie di Waldorf School of the Peninsula:

“Anak saya baik-baik saja, meskipun tak tahu bagaimana caranya menggunakan Google. Anak saya yang lain, yang sekarang di kelas dua SMP, juga baru saja dikenalkan pada komputer,” tutur Eagle, yang bekerja untuk Google.

Eagle tak mempermasalahkan ironi antara statusnya sebagai staf ahli di Google dan kondisi anak-anaknya yang gaptek.

“Misalkan saja saya seorang sutradara yang baru menelurkan sebuah film dewasa. Meski film itu didaulat sebagai film terbaik yang pernah ada di dunia sekalipun, saya toh tak akan membiarkan anak-anak saya menonton film itu kalau umur mereka belum 17 tahun.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun