Bukan, tulisan ini bukan dibuat oleh aktivis peduli lingkungan yang mengkampanyekan gerakan pengendalian polusi dengan menggunakan transportasi umum. Gue hanyalah anak ahensi belaka yang dulu terbiasa menggunakan Busway untuk berangkat kerja setiap harinya. Singkat cerita, kantor tempat gue lembur demi kepuasan klien kerja pindah ke gedung lain karena kantor yang lama sudah tidak mampu lagi menampung karyawan yang semakin lama semakin gendut banyak. Untung buat gue sih, karena lokasi kantor yang sekarang jadi lebih dekat. It's actually just a walking distance, tapi karena Jakarta yang semakin panas, dan kondisi trotoar yang nggak manusiawi, bergantilah kebiasaan gue commute dari kosan ke kantor, dari busway jadi naik ojek, ya apapun itu, yang konvensional atau pun yang pake apps suka nge lag itu.
Kalau dihitung-hitung, sudah genap setahun gue pindah ke kantor baru. Berarti, sudah setahun pula gue nggak menggunakan busway. Berangkat kerja naik ojek, kalo meeting-meeting manfaatin voucher taxi dari kantor, kalo weekend seringnya naik go jek atau uber. Pudar lah kebiasaan gue naik Busway atau kendaraan umum lainnya. Sampai akhirya, gue merasa kangen naik busway, dan kepikiran kayaknya seru ya weekend ini jalan-jalan naik busway, mumpung buswaynya sepi (berdasarkan pengalaman dulu, sih gitu, busway cenderung lebih sepi pas weekend).Â
Akhirnya gue memantapkan diri untuk pergi ke Grand Indonesia pakai Busway weekend ini. Cobaan pertama: saking lamanya gak dipake, gue baru sadar, kartu flazz gue entah di mana. While sekarang kayaknya semua busway sudah pakai e-gate. Akhirnya gue beli lagi lah itu kartu Flazz BCA, harga Rp 40.000,- dengan isi saldo Rp 20,000,-. Di dalam busway gue baru sadar, ada banyak hal yang sudah lama nggak gue alami.
Kendaraan umum yang berisikan banyak manusia membuat kita bisa mengeksplor banyak hal selama perjalanan. Mulai dari mengamati emosi orang, obrolan-obrolan lucu orang di depan kita, pasangan yang lagi berantem, anak yang lagi berceloteh ke emaknya, ekspresi orang yang kebingungan seolah takut salah turun shelter, wajah cuek standar naik busway (pake masker, headset, main game/socmed, tas ransel digendong di depan dan bawa tumbler), ngegepin orang yang curi-curi pandang ke kita, atau sebaliknya, kegep lagi curi-curi pandang ke orang, denger orang angkat telpon bilang, "Iya nih udah mau sampai Kota" padahal buswaynya baru jalan dari Kuningan, sampai berusaha keras tahan nafas karena abang-abang bau ketek. Ya banyak suka dukanya.
Tapi yang paling gue sayangkan dengan hilangnya kebiasaan gue naik busway adalah kurangnya waktu gue untuk mengobservasi emosi orang. Kalau naik ojek atau taxi, kalau pas macet paling pol dengerin lagu, kalau di busway kan beda. Banyak "live show" yang bisa dilihat, dan sebagai anak ahensi, itu juga bisa memperkaya diri. Bisa banyak dapat insight di perjalanan, bahkan bisa jadi trigger ide, ya walaupun ide bisa datang dari mana saja dan kapan saja sih. Tapi dengan banyaknya hal yang bisa diperhatikan, harusnya kesempatan untuk ter-trigger mengeluarkan ide (yang semoga brilian) harusnya lebih besar juga ya.
Intinya, untuk teman-teman yang commute menggunakan kendaraan umum setiap harinya, nikmatilah. Di dalamnya juga ada kemewahan. Kemewahan untuk menikmati pemicu ide, untuk menikmati adegan-adegan kehidupan yang bisa memperkaya diri kita. Jangan lupa untuk tetap berhati-hati saat menggunakan kendaraan umum ya, dan yang paling penting, jadilah pengguna kendaraan umum yang beradab. Perhatikan kebersihan dan bau badan, dahulukan mereka yang keluar dari kendaraan, budayakan antri, berikan tempat duduk kepada yang lebih membutuhkan, dan kalau lagi curi-curi pandang jangan sampe kegep, ya at least jangan sampe ke gep berulang-ulang. :D
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H