Kesuksesan kebijakan ini sangat bergantung pada kesiapan guru, infrastruktur pendidikan, serta komitmen pemerintah dalam mengurangi kesenjangan antar daerah dan memastikan evaluasi yang lebih adil dan efektif.
Arah Kebijakan Baru tentang UN
Selain itu, Prof. Mu'ti juga meminta pandangan dari media massa untuk memberikan evaluasi terkait pelaksanaan UN. "Nanti wartawan juga bisa kita undang untuk ikut memberikan evaluasi tentang UN," ujarnya.Â
Prof. Mu'ti membenarkan bahwa UN adalah isu yang banyak beredar dan menyita perhatian masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, Prof. Mu'ti akan memberikan keputusan terkait pelaksanaan UN usai mendengar pendapat dari banyak pihak.Â
"Ini memang juga menjadi isu yang cukup mengemuka dan sekali lagi sebulan ini kami ingin menjadi pendengar yang baik sebelum mengambil keputusan," ucap Prof. Mu'ti.
Sebelumnya diberitakan, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menolak UN diterapkan kembali. Sekretaris Jenderal FSGI, Heru Purnomo, mengungkapkan alasan penolakan mereka terhadap rencana pengembalian UN.Â
Heru menyatakan, UN sering kali menyebabkan stres pada peserta didik karena menjadi penentu nasib kelulusan. Kondisi ini menjadi dasar penolakan terhadap rencana penerapan kembali UN, dengan alasan bahwa UN tidak dapat menjadi rujukan evaluasi pendidikan yang efektif, bahkan menjadi alat seleksi yang bisa menimbulkan dampak negatif dalam proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).Â
Heru menambahkan, berdasarkan pengalaman mereka sebagai guru, ketika UN menjadi penentu kelulusan, muncul kecurangan yang bertujuan demi memperoleh kelulusan. Hal ini menjadi salah satu poin penolakan terhadap kebijakan UN.
UN Bukan satu-satunya Alat ukur Kualitas Pendidikan
Meskipun ada berbagai pendapat tentang pentingnya Ujian Nasional, yang harus dipahami adalah bahwa ujian semacam ini bukanlah satu-satunya cara untuk mengukur kualitas pendidikan.Â
Penerapan asesmen berbasis kompetensi seperti AKM lebih memberikan ruang bagi siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis, analitis, dan kreatif.Â