Banyak pihak berpendapat bahwa UN hanya mengukur kemampuan siswa dalam menghafal dan menjawab soal-soal berbasis pengetahuan tertulis, tanpa memperhitungkan aspek penting lainnya seperti kreativitas, keterampilan sosial, atau kemampuan berpikir kritis.Â
Dalam sistem yang sangat terpusat ini, para siswa lebih cenderung terjebak dalam pola belajar untuk ujian, ketimbang mengembangkan keterampilan yang lebih aplikatif dan relevan dengan kebutuhan dunia kerja atau kehidupan sehari-hari.
Dampak Psikologis
Selanjutnya, salah satu alasan utama mengapa banyak pihak menilai bahwa UN perlu dievaluasi adalah dampaknya terhadap psikologis siswa.Â
Tekanan untuk lulus ujian nasional sering kali menjadi beban berat bagi banyak siswa, terutama di kalangan mereka yang berprestasi rendah atau memiliki keterbatasan dalam mengakses sumber daya pendidikan yang memadai.Â
Ketakutan akan kegagalan sering kali menciptakan kecemasan yang berlebihan, bahkan hingga mengarah pada stres atau masalah kesehatan mental lainnya.Â
Dalam hal ini, kebijakan pendidikan yang terlalu bergantung pada ujian tunggal dapat memperburuk masalah ketimpangan sosial dan menambah beban siswa.
Sebagai alternatif, pada 2015, kebijakan kelulusan mulai dialihkan kepada Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), yang memberikan sekolah lebih banyak kewenangan dalam menentukan kelulusan siswa.Â
Meskipun soal-soalnya masih disiapkan oleh pemerintah pusat, kebijakan ini memungkinkan penilaian yang lebih beragam, mencakup aspek kompetensi lainnya, seperti proyek, presentasi, dan kerja kelompok.Â
Peralihan ini bertujuan untuk meringankan beban siswa dan memberikan ruang bagi penilaian yang lebih holistik, yang mencakup tidak hanya pengetahuan tetapi juga keterampilan lain yang lebih praktis.
Namun, kebijakan USBN pun tidak bertahan lama. Pada 2018, USBN digantikan dengan Ujian Sekolah (US), di mana masing-masing sekolah diberikan kebebasan lebih besar dalam menentukan sistem penilaiannya.Â