Namun, realitas pahit yang dihadapi perusahaan ini, dengan total utang mencapai US$1,6 miliar, mencerminkan kompleksitas tantangan yang dihadapi dalam dunia bisnis yang semakin kompetitif.Â
Kegagalan Sritex untuk memenuhi kewajiban pembayaran kepada kreditur mengingatkan kita bahwa kesuksesan di masa lalu tidak menjamin keberlanjutan di masa depan.Â
Ketika perusahaan terjebak dalam siklus utang yang menggunung, di mana bunga utang bank dan obligasi mendominasi, risiko kebangkrutan menjadi semakin nyata.
Kejatuhan Sritex juga menyoroti pentingnya diversifikasi dalam strategi bisnis. Ketergantungan pada satu jenis produk atau klien tertentu dapat menjadi bumerang jika kondisi pasar berubah atau jika ada persaingan yang lebih kuat.Â
Dilema Permendag
Iwan S Lukminto, Komisaris Utama Sritex, menyebutkan dampak negatif dari Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 yang memungkinkan produk impor membanjiri pasar domestik.Â
Kebijakan ini, meskipun mungkin memiliki niat baik, telah menyebabkan persaingan yang tidak sehat bagi produsen lokal.
Meskipun Sritex menerima berbagai penghargaan, seperti Best Performance Listed Companies dan Best Enterprise Achievers pada tahun 2016, tantangan yang dihadapi perusahaan semakin kompleks.Â
Pengelolaan utang yang tidak efisien dapat menimbulkan konsekuensi serius bagi keberlangsungan perusahaan, terutama dalam industri yang sangat bergantung pada modal kerja.Â
Sritex perlu memikirkan kembali strategi finansial dan mencari cara untuk menyeimbangkan antara pertumbuhan dan kewajiban utangnya.