Pagi yang cerah menyambut kami dengan kehangatan yang sempurna. Duduk santai sambil menikmati kopi hangat, kami ditemani sajian khas dari Cilacap, yaitu mendoan tipis dan lebar yang begitu terkenal, serta tahu isi yang gurih.Â
Tak ketinggalan, arem-arem hangat tersaji di meja, memberikan nuansa nyaman dan cukup mengganjal perut.Â
Suasana ini sungguh menenangkan, seolah mengundang kami untuk berbincang santai sembari menikmati hidangan khas yang mengingatkan pada kekayaan kuliner lokal Indonesia.
Di tengah obrolan kami, teman kami, Nandy, membuka percakapan yang cukup reflektif. "Indonesia sangat kaya, luar biasa suburnya," ucapnya sambil menyesap teh hangatnya.Â
"Tapi siapa sebenarnya yang menikmati kekayaan ini? Mengapa kita masih saja kesulitan ekonomi?" Ucapan Nandy membuat kami merenung sejenak.
Pertanyaan yang terdengar sederhana itu memiliki makna mendalam, menyingkap ironi dari keadaan negeri ini yang kaya sumber daya namun belum mampu memberi kesejahteraan merata bagi semua.
Sejenak kami terdiam, membiarkan kata-kata Nandy menggantung di udara. Pemandangan indah dan kekayaan alam yang kami temui selama perjalanan dari Wonosobo hingga Pangandaran terasa seperti kontras dengan kenyataan ekonomi yang dihadapi banyak orang.Â
Alam yang subur ini seolah menegaskan anugerah Tuhan, namun kenyataan kehidupan masyarakat sehari-hari sering kali tidak seindah pemandangan alam yang kami lalui.
Perjalanan kami menyusuri alam dari Wonosobo hingga Pangandaran menjadi salah satu pengalaman yang membekas di hati.Â
Kami menyaksikan perbukitan hijau, lahan pertanian yang subur, dan udara yang bersih di sepanjang perjalanan. Pemandangan alam ini adalah bukti nyata bahwa Indonesia adalah negara yang diberkahi tanah yang sangat subur.Â
Kesuburan tanah ini, buah dari beragam iklim dan keanekaragaman hayati, adalah potensi besar yang dapat menyejahterakan rakyat. Namun, seperti yang Nandy singgung, hasil dari kekayaan alam ini belum dapat dinikmati oleh semua.