Menurut hukum internasional, pelanggaran HAM berat mencakup kejahatan yang sangat serius, seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan pelanggaran serius terhadap hak-hak sipil dan politik.Â
Standar internasional ini diatur dalam berbagai instrumen, seperti Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, Konvensi tentang Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa, dan Statuta Roma tentang Pengadilan Pidana Internasional.Â
Dengan demikian, penting untuk menilai kembali pernyataan Yusril dalam konteks standar tersebut. Yusril menyatakan bahwa pelanggaran HAM berat seperti genosida dan pembersihan etnis lebih sering terjadi pada masa kolonial dan awal kemerdekaan.Â
Meskipun ada benarnya, penilaian semacam ini dapat dianggap meremehkan konteks dan kompleksitas peristiwa kekerasan di tahun 1998.Â
Di era reformasi, harapan untuk penegakan HAM dan keadilan seharusnya menjadi agenda utama, bukan justru diabaikan.
Peristiwa Pelanggaran HAM
Penting untuk dicatat bahwa pada 11 Januari 2023, pemerintah Indonesia yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo mengakui adanya 12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu.Â
Dalam pernyataannya, Jokowi mengekspresikan penyesalan terhadap peristiwa tersebut dan berkomitmen untuk memulihkan hak-hak korban secara adil dan bijaksana, tanpa mengabaikan penyelesaian secara yudisial.Â
Pernyataan ini menunjukkan adanya kesadaran pemerintah tentang pentingnya mengakui dan menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia.
Ke-12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang diakui mencakup Peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius 1982-1985, Talangsari, Lampung 1989, Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989, Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998.Â
Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Trisakti dan Semanggi I-II 1998-1999, Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, Simpang KKA, Aceh 1999, Wasior, Papua 2001-2002, Peristiwa Wamena, Papua 2003, dan Jambo Keupok, Aceh 2003.Â