Puru, yang sebelumnya sudah tua, kembali mendapatkan kemudaan dan keperkasaan berkat ayahnya, Prabu Yayati, yang mengambil kemudaan dari putra bungsunya.Â
PangeranYayati memberi Puru nasihat mengenai bahaya nafsu, menjelaskan bahwa nafsu---baik yang bersifat angkara maupun birahi---tidak akan pernah puas hanya dengan dilampiaskan. Semakin nafsu ini dibiarkan, semakin membara, seperti bola salju yang terus membesar.
Yayati menegaskan bahwa memiliki kesabaran, kerendahan hati, dan kemampuan menerima hinaan adalah kunci untuk memusnahkan nafsu jahat. Itulah jalan menuju kebahagiaan sejati. Dalam semangat itu, Prabu Yayati menyerahkan takhta dan kemudaan kepada Puru.
Dengan demikian, Puru diangkat menjadi raja di Kerajaan Astina, di mana kepemimpinannya didasari oleh pelajaran tentang pengendalian nafsu.Â
Yayati mengingatkan bahwa manusia memiliki berbagai nafsu, termasuk amarah, birahi, sufiah, aluamah, mulhimah, mutmainah, serta nafsu jabatan dan narsisme yang harus dikelola.
Pengendalian nafsu sangat penting untuk menjaga keseimbangan hidup, layaknya darah merah dan putih. Darah merah melambangkan nafsu buruk yang harus dijauhi, seperti nafsu angkara, nafsu birahi, keserakahan, kebencian, dan iri hati.Â
Sebaliknya, darah putih melambangkan pencarian kesucian yang harus dilakukan dengan bijaksana, tanpa terjebak dalam fatalisme.
Pencarian kesucian harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak terperosok dalam sikap pesimis. Keserakahan jabatan, sikap narsistik, dan nostalgia berlebihan terhadap masa lalu dapat menghalangi perubahan. Oleh karena itu, manusia perlu mengendalikan nafsu sambil terus berupaya untuk berbuat baik.
Kisah ini mengajarkan bahwa pengendalian diri dan kerendahan hati merupakan kunci untuk mengatasi nafsu jahat. Dengan menerima setiap keadaan dengan lapang dada, seseorang dapat mencapai kebahagiaan sejati.
Raja Yayati memberikan contoh bahwa meskipun sudah tua, seseorang bisa tetap berharga jika dijalani dengan bijaksana. Puru, yang menerima kemudaan dan takhta, tumbuh menjadi raja yang kuat dan bijaksana berkat bimbingan dari ayahnya.
Kisah ini menekankan bahwa kemuliaan seseorang tidak diukur dari usia, tetapi dari kemampuan untuk mengendalikan diri dan menyadari tanggung jawab. Kekuatan batin dan kesadaran akan nafsu menjadi fondasi yang kokoh untuk menjalani kehidupan yang lebih baik.