Mohon tunggu...
Obed Antok
Obed Antok Mohon Tunggu... Jurnalis - Tukang tulis

Berminat Dalam Bidang Sosial, Politik, Iptek, Pendidikan, dan Pastoral Konseling.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Merebut Suara Gen Z dalam Pilkada, Apa yang Mereka Harapkan dari Pemimpin?

9 Oktober 2024   10:55 Diperbarui: 11 Oktober 2024   06:57 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Surat Suara/kompas.id

Dinamika politik di Indonesia semakin menarik untuk diteliti, terutama menjelang pemilihan umum (Pemilu) dan pemilihan kepala daerah (Pilkada). Dengan partisipasi generasi Z yang semakin meningkat, penting untuk memahami faktor-faktor yang memengaruhi pilihan politik mereka. 

Generasi ini, yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, tumbuh di era digital dan memiliki akses yang lebih besar terhadap informasi dibandingkan generasi sebelumnya. 

Berdasarkan data, Pemilu 2024 menunjukkan tren yang signifikan dalam demografi pemilih di Indonesia. Jumlah pemilih yang berasal dari generasi milenial mencapai 66,8 juta, menjadikannya sebagai kelompok pemilih terbesar dalam pemilu kali ini. 

Diikuti oleh generasi X yang berjumlah 57,5 juta, generasi Z menunjukkan pertumbuhan yang mengesankan dengan 46,8 juta pemilih, (https://databoks.katadata.co.id).

Sekitar 55% dari semua pemilih pada Pemilu 2024 adalah anak muda, menunjukkan betapa pentingnya suara mereka dalam menentukan arah politik dan kebijakan di masa depan. 

Dengan populasi pemilih muda yang besar, para calon pemimpin dan partai politik harus memperhatikan isu-isu yang relevan bagi generasi ini, seperti pendidikan, lapangan kerja, dan keberlanjutan lingkungan. 

Spontanitas Pilihan 

Penelitian menunjukkan bahwa kalangan generasi Z cenderung membuat keputusan pemilihannya pada menit-menit terakhir (Kompas.com - 19/02/2024). 

Sebanyak 12,3 persen responden dari generasi ini menentukan pilihan mereka pada hari pencoblosan, sedangkan 7,8 persen lainnya memilih sehari sebelumnya. 

Hal ini menunjukkan bahwa mereka lebih suka menilai situasi secara langsung sebelum membuat keputusan, mencerminkan karakteristik spontaneitas yang tinggi dalam diri mereka.

Faktor-faktor yang memengaruhi keputusan mendadak ini bisa beragam, mulai dari pengaruh lingkungan, informasi yang didapat dari media sosial, hingga perdebatan publik yang terjadi menjelang pemilihan. 

Kualitas Janji Kampanye 

Janji-janji kampanye menjadi salah satu aspek penting yang diperhatikan oleh pemilih muda. Namun, banyak janji yang seringkali tidak terealisasi dengan baik setelah calon terpilih. 

Kesenjangan antara janji dan realitas ini dapat memicu kekecewaan dan apatisme di kalangan Gen Z, yang sangat menginginkan pemimpin yang dapat dipercaya.

Masyarakat, terutama generasi Z, kini semakin kritis terhadap janji-janji yang diucapkan oleh para calon. Mereka tidak hanya mendengarkan apa yang dikatakan tetapi juga mengharapkan bukti nyata dari tindakan yang diambil setelah pemilihan. 

Ketidakpuasan terhadap pemimpin yang tidak menepati janji bisa menyebabkan penurunan partisipasi dalam pemilu selanjutnya, menciptakan siklus di mana pemilih muda merasa suaranya tidak memiliki dampak.

Pentingnya Kesejahteraan Ekonomi 

Isu-isu ekonomi, terutama lapangan pekerjaan, menjadi perhatian utama bagi generasi Z. Mereka berharap janji-janji kampanye tidak hanya sekadar retorika, tetapi juga mencerminkan solusi nyata terhadap permasalahan yang ada. 

Kesejahteraan ekonomi tidak hanya berkaitan dengan ketersediaan pekerjaan tetapi juga mencakup gaji yang layak dan lingkungan kerja yang baik. Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh generasi Z adalah ketidakpastian dalam pasar kerja. 

Meskipun mereka terdidik dan sering kali memiliki keterampilan yang relevan, banyak dari mereka kesulitan untuk menemukan pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang pendidikan dan harapan mereka. 

Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk ketidakcocokan antara keterampilan yang diajarkan di institusi pendidikan dengan kebutuhan industri yang terus berubah. 

Ketidakpuasan Terhadap Kebijakan 

Realitas menunjukkan bahwa banyak kebijakan daerah belum responsif terhadap perubahan dinamika pasar kerja. 

Kurangnya kebijakan yang mendukung penciptaan lapangan kerja yang sesuai dengan kebutuhan Gen Z dapat menyebabkan ketidakpuasan dan kekecewaan, serta mengurangi tingkat partisipasi mereka dalam politik. 

Ketidakpuasan ini juga berpotensi menimbulkan rasa apatis terhadap proses politik. Jika generasi Z merasa bahwa suara mereka tidak didengar dan kebijakan yang ada tidak mencerminkan kebutuhan mereka, maka mereka akan semakin enggan untuk berpartisipasi dalam pemilu.

Pengaruh Teknologi dalam Pendidikan 

Generasi Z adalah digital natives yang menginginkan akses yang lebih baik terhadap pendidikan berbasis teknologi. Janji-janji calon pemimpin untuk meningkatkan infrastruktur teknologi dan kualitas pendidikan menjadi harapan besar. 

Selain itu, generasi Z memanfaatkan teknologi untuk mendukung proses belajar mereka. Oleh karena itu, mereka mengharapkan kebijakan yang mendorong inovasi dalam pendidikan, seperti penyediaan akses internet yang lebih baik dan pelatihan bagi pengajar dalam penggunaan teknologi. 

Harapan terhadap Kebijakan Pemerintah

Generasi Z mengharapkan kebijakan yang dapat mendukung penciptaan lapangan kerja dan meningkatkan akses mereka ke peluang karir yang berkualitas. 

Mereka ingin melihat inisiatif yang tidak hanya fokus pada penciptaan pekerjaan baru tetapi juga pada pengembangan keterampilan dan pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan pasar. 

Kebijakan yang mendorong kolaborasi antara pendidikan dan industri, seperti program magang dan pelatihan kerja, dapat membantu menjembatani kesenjangan antara pendidikan dan pekerjaan.

Selain itu, generasi Z juga menginginkan adanya perlindungan dalam pekerjaan dan jaminan kesejahteraan yang lebih baik. 

Ketidakpercayaan Terhadap Politik 

Sikap skeptis terhadap sistem politik menjadi tantangan besar dalam menarik perhatian Gen Z. Banyak di antara mereka yang merasa bahwa sistem politik di Indonesia penuh dengan korupsi dan kepentingan pribadi. 

Hal ini membuat mereka enggan untuk berpartisipasi dalam pemilihan, karena merasa suaranya tidak berarti. Ketidakpercayaan ini dapat menjadi penghalang dalam membangun keterlibatan politik yang sehat.

Penting bagi calon pemimpin untuk membangun transparansi dan akuntabilitas dalam proses politik. Dengan menunjukkan integritas dan komitmen untuk memberantas korupsi, mereka dapat mulai mengubah persepsi negatif yang ada di benak generasi Z. 

Jika kepercayaan dapat dibangun kembali, maka partisipasi pemilih muda dalam pemilu akan meningkat dan berdampak positif bagi proses demokrasi secara keseluruhan.

Peran Media Sosial 

Media sosial memainkan peran penting dalam kehidupan politik Gen Z. Meskipun media sosial dapat menjadi platform untuk meningkatkan kesadaran politik, mereka juga rentan terhadap informasi yang menyesatkan. 

Calon pemimpin harus memanfaatkan media sosial sebagai alat komunikasi untuk menjangkau pemilih muda. Mereka dapat menggunakan platform ini untuk menyampaikan pesan mereka secara langsung dan transparan. 

Dengan strategi komunikasi yang efektif di media sosial, calon pemimpin dapat membangun hubungan yang lebih dekat dengan generasi Z dan meningkatkan kepercayaan mereka terhadap politik.

Partisipasi Pemilih 

Meskipun Gen Z menunjukkan kepedulian terhadap isu sosial dan politik, tingkat partisipasi mereka dalam pemilu masih tergolong rendah. 

Apatisme terhadap politik dapat diatasi jika calon pemimpin mampu menunjukkan keseriusan dalam menepati janji dan mengedepankan isu-isu yang relevan bagi generasi ini. 

Pada Pemilu 2019, hasil survei yang dilakukan oleh UMN Consulting menunjukkan bahwa keterlibatan Generasi Z dalam proses pemilihan umum cukup signifikan, meskipun masih ada tantangan yang harus dihadapi. 

Dari data yang diperoleh, sekitar 48,25% dari generasi ini menggunakan hak pilih mereka, yang menunjukkan bahwa hampir setengah dari pemilih muda ini aktif dalam memberikan suara. Angka ini mencerminkan kesadaran politik yang mulai tumbuh di kalangan generasi Z, yang sering kali dianggap apatis terhadap isu-isu politik.

Namun, data juga menunjukkan bahwa 4,86% dari Generasi Z memilih untuk golput (golongan putih), yaitu mereka yang tidak memberikan suara tanpa memilih kandidat tertentu. 

Keputusan untuk golput bisa jadi disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk kurangnya kepercayaan terhadap calon yang ada, ketidakpuasan terhadap sistem politik, atau kurangnya pemahaman tentang proses pemilu itu sendiri.

Pemahaman terhadap dinamika pilihan politik generasi Z sangat penting untuk menciptakan sistem politik yang responsif dan inklusif. 

Dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang memengaruhi keputusan mereka, calon pemimpin dapat merumuskan kebijakan yang sesuai dan relevan dengan harapan generasi muda. 

Keterlibatan aktif Gen Z dalam politik tidak hanya akan memengaruhi hasil pemilu tetapi juga masa depan demokrasi di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun