akademis sering kali menjadi fokus utama bagi banyak orang, terutama mahasiswa dan akademisi. Dalam upaya mencapai kesuksesan, kita sering terjebak dalam rutinitas yang menuntut, hingga melupakan makna sejati dari hidup itu sendiri.Â
Di era modern ini, kesibukanIni mengingatkan kita betapa mudahnya merasa jauh dari Tuhan meskipun dikelilingi oleh pencapaian akademis.
Kesuksesan yang didapat tidak selalu sejalan dengan kedamaian batin. Banyak orang terjebak dalam pencarian pengakuan dan citra, yang sering kali membawa pada banalitas.Â
Dalam masyarakat yang terperangkap dalam imperium citra, kita terfokus pada penampilan dan reputasi, sering kali mengorbankan nilai-nilai yang lebih mendalam.Â
Hal ini menciptakan kekosongan yang dalam, yang tidak dapat diisi hanya dengan prestasi akademis.
Penting untuk menyadari bahwa iman dan spiritualitas bukan sekadar aspek akademis, tetapi harus tercermin dalam kehidupan sehari-hari.Â
Dengan membangun kasih dan pelayanan, kita tidak hanya membangun diri, tetapi juga memberi dampak positif bagi orang lain.
Tokoh-tokoh dunia seperti Nelson Mandela dan Malala Yousafzai menunjukkan bahwa pencapaian yang sejati tidak hanya terletak pada kesuksesan pribadi, tetapi juga pada kontribusi yang kita berikan kepada masyarakat. Mandela, dengan perjuangannya untuk keadilan, dan Malala, dengan advokasinya untuk pendidikan, mengingatkan kita bahwa hidup yang bermakna adalah tentang pengabdian kepada orang lain.
Dalam konteks pendidikan tinggi, kita perlu mendorong pendekatan yang lebih holistik, di mana pengembangan karakter dan nilai-nilai spiritual menjadi bagian integral dari kurikulum.Â
Ini bukan hanya tanggung jawab institusi pendidikan, tetapi juga tanggung jawab kita sebagai individu untuk menciptakan keseimbangan antara pencapaian akademis dan pengembangan spiritual.
Kesibukan yang melelahkan sering kali mengaburkan pandangan kita terhadap tujuan hidup yang lebih besar.Dalam mencari prestasi, kita sering kali kehilangan fokus pada hal-hal yang esensial.Â