Pada tahun 1980-an, desa kami di Pelosok Gunungkidul, Yogyakarta adalah tempat yang penuh kesederhanaan. Hanya ada beberapa rumah yang memiliki televisi hitam putih, sementara radio dua band menjadi salah satu alat komunikasi utama.Â
Rumah-rumah di desa memiliki halaman luas dengan tanaman bambu yang melimpah. Kehidupan warga sangat bergantung pada sumber daya alami yang ada di sekitar mereka.
Di tengah kesederhanaan desa, terdapat seorang kakek bernama Mbah Jakiman yang dikenal karena keterampilannya menganyam bambu.
Mbah Jakiman adalah sosok yang menonjol dengan ciri tubuhnya yang bungkuk dan keahlian dalam mengolah bambu. Pada masa itu, rumah-rumah di desa, meskipun besar, sebagian besar berdinding bambu.Â
Mbah Jakiman membelah bambu utuh menjadi ukuran sekitar 3 hingga 4 sentimeter dan menganyamnya menjadi "gedhek," atau anyaman bambu untuk dinding rumah.
Anyaman Bambu yang Multifungsi
Selain gedhek, Mbah Jakiman juga membuat anyaman bambu yang dikenal dengan nama "kepang." Kepang adalah anyaman bambu tanpa kulit luar, di mana bambu dipotong tipis dengan lebar sekitar 2 sentimeter.
Anyaman ini digunakan sebagai alas tikar atau tempat menjemur hasil pertanian seperti jagung dan kedelai. Kemampuan Mbah Jakiman dalam menciptakan berbagai produk anyaman bambu memberikan solusi praktis bagi kebutuhan sehari-hari warga desa.
Dengan menjual jasanya dari rumah ke rumah, Mbah Jakiman menawarkan anyaman yang rapi dan dikerjakan dengan cepat. Hal ini membuatnya menjadi sosok yang sangat dihargai dan dibutuhkan oleh warga di desa kami.
Dinding Kehidupan Sederhana