Mohon tunggu...
Obed
Obed Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembelajar

Membangun Pemikiran Lurus dan Positif demi masa depan, memberikan tulisan yang bermanfaat untuk kemajuan bersama.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Ia telah Pergi Mewariskan Kebahagiaan

30 Juli 2024   00:00 Diperbarui: 30 Juli 2024   00:43 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Sore itu tanggal 19 Juli 2021, saya menerima telepon dari Pak Lik, adik dari Ibu, yang tinggal di dusun. Ia mengabarkan bahwa Bapak saya dalam kondisi kritis di rumah. Saat itu, kami berada di tengah pandemi COVID-19. Penyakit Bapak saya bukanlah akibat dari Covid 19, melainkan akibat penurunan kesehatan yang telah lama dialaminya. Bapak telah menderita penyakit prostat selama lebih dari dua belas tahun, dan kaki yang lemah membuatnya sangat sulit untuk berjalan tanpa bantuan tongkat dan alat walker.

Selama masa pandemi, ketika bapak saya sakit, kami meminta bantuan mantri atau tenaga kesehatan dari desa Giripanggung, yang berjarak sekitar tiga kilometer dari rumah kami, untuk perawatan di rumah.

Akhirnya dengan mengendarai sepeda motor, saya segera pulang dan tiba di rumah orangtua sekitar pukul tujuh malam, setelah perjalanan selama tiga jam dari Salatiga. Setibanya di rumah, saya bertemu dengan Ibu saya dan kerabar, serta tetangga sekitar tiga puluh orang yang berkumpul, sembari mereka bercakap-cakap dengan minum teh. Ini adalah tradisi di desa, di mana kerabat, dan tetangga akan menunggu hingga tengah malam saat ada anggota keluarga yang sakit.

Selama ini, orang tua saya tinggal berdua di rumah, dan saya biasanya pulang sebulan sekali untuk menjenguk mereka. Namun, kali ini, karena kondisi bapak yang kritis, saya harus pulang kurang lebih tiga kali meskipun di tengah pandemi. Saya pulang sendirian karena istri saya masih dalam pemulihan dan menjalani pengobatan rutin akibat kanker payudara, sementara kedua anak saya tetap menemani di rumah.

Setelah menyapa para tetangga dan membersihkan diri, saya menggantikan kerabat yang sudah berjaga sejak malam sebelumnya untuk menjaga bapak. Selama semalaman, saya berada di samping bapak, yang terbaring di tempat tidur. Saya beberapa kali terkejut ketika bapak tiba-tiba terbangun dan duduk. Saya membantunya untuk kembali berbaring. Selama malam itu, bapak terbangun dan duduk kembali hampir sepuluh kali, dan setiap kali saya harus membantunya tidur kembali. 

Pada sore hari, saya berpamitan untuk pulang ke Salatiga karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan, dan memastikan istri saya juga baik-baik saja. Saya tiba di Salatiga sekitar pukul setengah tujuh malam dengan naik motor.

Belum lama setelah beristirahat, saya menerima telepon yang mengabarkan bahwa bapak telah dipanggil Bapa di Sorga. Saya segera berpamitan dengan istri dan anak-anak, lalu kembali ke desa. Saya mengendarai motor menuju Klaten dan meminta kerabat saya untuk mengantar pulang malam itu. Dengan menggunakan mobil tua, saya tiba di desa sekitar pukul satu dini hari.

Sesampainya di rumah, saya mendapati bapak sudah terbujur kaku di atas meja jenazah, mengenakan baju putih dan celana panjang hitam. Para sanak keluarga telah memandikan dan merawat jenazah bapak saya. Malam itu, saya meminta beberapa saudara yang terjaga untuk memasukkan jenazah ke dalam peti dan menyiapkan lilin di samping foto bapak yang diletakkan di atas meja. Saya terdiam sejenak dan berdoa, kemudian kami duduk disamping peti jenazah bapak ditemani ibu dan beberapa kerabat.

Pada siang harinya, dilangsungkan upacara penutupan peti dan pemberangkatan jenazah dilakukan di rumah. Doa dipimpin oleh seorang pendeta dari Gereja Baptis Anugerah Yogyakarta, demikian pula upacara pemakaman berjalan lancar. Banyak saudara dan tetangga datang untuk menghantarkan kepergian bapak. Kehadiran mereka memberikan dukungan  moral dan penghiburan bagi kami. 

Bapak telah pergi dalam kebahagiaan Sorgawi, ia  meninggalkan warisan berupa teladan kesederhanaan, ketekunan, dan kerja keras. Warisan itu sangat terasa dalam hidup kami. Kenangan masa kecil dan keceriaan yang beliau berikan seakan ingin terulang kembali. Saya sangat merindukan momen berbincang dan bercanda tawa bersama beliau.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun