Selain itu, Yesus juga dikenal karena melayani masyarakat luas, termasuk mereka yang dianggap terpinggirkan oleh masyarakat pada masanya. Ia menghabiskan waktu dengan orang miskin, orang sakit, dan orang berdosa, tanpa memandang status sosial atau kekayaan mereka. Sikap-Nya yang penuh perhatian dan kasih kepada semua orang menunjukkan bahwa setiap orang  berharga di hadapan Allah.
Dalam pengajaran-Nya, Yesus menggunakan kiasan dan cerita sederhana yang dapat dipahami oleh orang awam. Meskipun memiliki pengetahuan yang mendalam tentang kebenaran ilahi, Yesus memilih untuk mengajar dengan kesederhanaan, menunjukkan kesediaannya untuk merendahkan diri demi kepentingan pendengar-Nya. Ini menunjukkan bahwa kemurahan hati-Nya tidak terbatas hanya pada mereka yang cerdas atau terdidik, tetapi terbuka bagi semua orang yang mau belajar dan menerima ajaran-Nya.
Selanjutnya, Yesus menunjukkan puncak pelayanan-Nya dengan menerima penderitaan dan kematian di salib. Pengorbanan ini merupakan bukti cinta kasih dan kesetiaan-Nya kepada Allah Bapa serta penebusan dosa umat manusia. Meskipun memiliki kuasa untuk menyelamatkan diri-Nya sendiri, Yesus memilih untuk menyerahkan hidup-Nya demi keselamatan kita semua.
Dengan semua tindakan-Nya, Yesus mengajarkan bahwa pelayanan sejati tidak hanya tentang kekuasaan atau pengakuan pribadi, tetapi lebih pada pengorbanan diri dan kasih kepada sesama. Dia menetapkan standar tinggi bagi pengikut-Nya untuk mengikuti teladan-Nya dalam pelayanan yang rendah hati dan penuh kasih, menjadikan-Nya teladan utama dalam tradisi pelayanan Kristen yang bertujuan untuk memuliakan Allah dan melayani sesama dengan tulus.
Bagaimana dengan Pelayanan kepada Jemaat?
Desakralisasi gelar akademik mengarah pada pengurangan pentingnya sebuah gelar dalam menentukan otoritas dan penghargaan dalam konteks pelayanan gerejawi. Ketika gelar akademik tidak lagi diletakkan sebagai prioritas utama, pelayanan terhadap jemaat dapat berfokus lebih pada kualitas kepemimpinan dan pengaruh yang sebenarnya. Ini menempatkan lebih banyak penekanan pada karakter, dedikasi, dan pengalaman nyata dalam melayani daripada sekadar status akademik.
Sebagai contoh, dalam lingkungan gerejawi, seorang pemimpin yang melakukan desakralisasi gelar akademik mungkin lebih cenderung mengembangkan keterampilan pastoral dan kepemimpinan yang praktis. Mereka mungkin memilih untuk lebih banyak belajar dari pengalaman dan interaksi langsung dengan jemaat, daripada hanya mengandalkan pengetahuan teologis formal mereka. Hal ini menciptakan hubungan yang lebih dekat dan lebih personal antara pemimpin gereja dan jemaat, di mana pelayanan didasarkan pada pemahaman yang lebih dalam tentang kebutuhan jemaat dan komunitasnya.
Di lingkungan gereja, gelar akademik sering kali dicantumkan sebagai bentuk pengakuan terhadap pencapaian pendidikan formal seseorang dalam teologi atau bidang terkait. Ini biasanya terlihat dalam berbagai konteks, seperti dalam warta jemaat atau pengumuman gereja sebelum khotbah, di mana para pengkhotbah atau pembicara seminar sering disebut dengan gelar akademik mereka.Â
Penyebutan gelar ini dapat mencerminkan penghargaan dan pengakuan gereja terhadap kompetensi dan dedikasi seseorang dalam memperdalam pemahaman teologis mereka dan kemampuan untuk memberikan pengajaran atau nasihat rohani.
Para pengkhotbah yang mencantumkan gelar akademik mereka sering dianggap memiliki landasan teologis yang kuat dan mampu memberikan pemahaman yang mendalam terhadap teks Alkitab serta aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini membantu membangun kepercayaan dan kredibilitas dalam pemberitaan Firman Allah kepada jemaat.
Selain itu, penyebutan gelar akademik juga dapat mempengaruhi cara jemaat menerima atau memandang seorang pemimpin rohani. Mereka mungkin dianggap lebih terkualifikasi dalam memberikan bimbingan rohani, pemikiran teologis, atau dalam mengelola gereja secara efektif. Ini bisa menjadi faktor yang memengaruhi pilihan jemaat dalam memilih untuk mengikuti seminar atau menghadiri kelas yang dipimpin oleh mereka yang memiliki gelar tertentu.