Mohon tunggu...
Sariyanto
Sariyanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembelajar

Hobi membaca dan menulis, tertarik dalam bidang pendidikan, teologi, dan Teknologi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sikap Suami Istri dalam Mengatasi Disfungsi Keluarga di Era Digital

12 Juli 2024   09:29 Diperbarui: 12 Juli 2024   13:41 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di era digital saat ini, pola dan bentuk keluarga mengalami berbagai perubahan, terutama di kota-kota besar dan negara maju. Individualisme yang meningkat dan kesibukan yang dominan seringkali membuat kebersamaan dalam keluarga menjadi berkurang. 

Orang tua sering bekerja hingga larut malam, sementara anak-anak sibuk dengan kegiatan di luar sekolah. Teknologi dan media sosial juga memainkan peran besar dalam mengubah dinamika keluarga, dengan interaksi tatap muka yang sering tergantikan oleh komunikasi digital.

 Disfungsi keluarga, di mana keluarga tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik, dapat membawa dampak negatif bagi anggotanya, salah satunya adalah melemahnya rasa pentingnya keluarga. 

Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti pengalaman buruk dalam keluarga seperti konflik berkepanjangan atau kurangnya dukungan emosional, kurangnya pemahaman tentang pentingnya dukungan sosial dan emosional dari keluarga, serta perubahan struktur keluarga seperti meningkatnya jumlah keluarga dengan orang tua tunggal atau pasangan sejenis, dan mobilitas tinggi yang membuat banyak keluarga hidup terpisah. 

Faktor-faktor ini dapat membuat individu merasa bahwa keluarga tidak begitu penting, yang dapat berakibat negatif pada kesehatan mental dan emosional mereka serta menghambat perkembangan mereka dalam menjalin hubungan yang sehat di masa depan.

Keluarga disfungsional adalah sebuah realitas yang dapat memiliki dampak yang mendalam terhadap individu di dalamnya. Dalam keluarga seperti ini, hubungan yang tidak sehat seringkali terjadi akibat konflik yang tak kunjung selesai, komunikasi yang minim, dan pola perilaku yang merugikan. 

June Hunt mengidentifikasi beberapa ciri khas keluarga disfungsional, seperti kekacauan, kontrol yang berlebihan, penyangkalan masalah, ketidakkonsistenan aturan, ketidakstabilan emosional, dan penggunaan rasa malu sebagai alat manipulasi. 

Ketidakharmonisan dalam keluarga ini tidak hanya memengaruhi suasana di dalam rumah, tetapi juga dapat berdampak jangka panjang terhadap kesejahteraan psikologis anggotanya, terutama anak-anak yang rentan terhadap masalah kesehatan mental dan perilaku yang tidak sehat di masa dewasa.

Data dan penelitian juga menyoroti dampak serius dari keluarga disfungsional terhadap perkembangan anak-anak. Anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang tidak stabil memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami gangguan emosional dan perilaku. Mereka cenderung lebih rentan terhadap depresi, kecemasan, serta masalah perilaku seperti penyalahgunaan zat dan pelanggaran hukum.

Studi-studi ini menegaskan bahwa lingkungan keluarga yang tidak sehat dapat menjadi faktor risiko penting dalam menentukan kehidupan dan kesejahteraan anak-anak di masa depan. 

Oleh karena itu, pendekatan pencegahan yang tepat, seperti intervensi dini melalui konseling keluarga dan dukungan sosial, menjadi krusial untuk membantu mengurangi prevalensi keluarga disfungsional dan memfasilitasi pembentukan lingkungan keluarga yang lebih aman, mendukung, dan stabil bagi perkembangan anak-anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun