Rambut panjang perempuan itu terurai, tersibak oleh desir angin. Matanya terpejam. Gelap di sekitarnya. Terang hanya menyisakan pada wajahnya yang hanya tampak setengah di frame foto itu. Begitu misterius. Foto ini ditempatkan di bagian pojok dari ruang pamer. Foto di seberangnya menunjukkan gambaran yang kontras. Perempuan berambut sangat pendek itu begitu tampak percaya diri. Caranya berdiri hingga bagaimana matanya menatap tajam menandakan mengenai bagaimana ia menampilkan dirinya.
Gambaran foto pertama yang menyoroti perempuan berambut panjang seperti sedang bersembunyi itu adalah karya foto milik Prima Yurie. Sedangkan foto mengenai perempuan berambut sangat pendek dipotret dengan tajam oleh William Yusuf. Mereka adalah dua dari 20 fotografer yang memamerkan hasil karya fotonya di tengah pandemi. Bertajuk "Perempuan di Mata, di Hati, di Rasa", pameran foto ini diselenggarakan di Visma Gallery, Surabaya, pada tanggal 16 hingga 20 September 2020 yang lalu.
Prima Yurie adalah fotografer yang sekaligus inisiator dalam pameran foto ini. Ia juga yang mengorganisir para fotografer lain. Yurie mengatakan, bahwa ketika fotografer banyak berdiam selama pandemi ini ada keinginan yang hendak disampaikan oleh fotografer. "Keinginan" itulah yang kemudian ingin disampaikan bersama-sama melalui pameran. Yurie yang kemudian berhasil mengumpulkan lebih banyak dari 20 fotografer itu kemudian menawarkan konsep mengenai perempuan.
Konsep ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru terutama dalam dunia fotografi. Perempuan kerap dijadikan objek. Namun dalam katalog pameran dituliskan mengenai bagaimana dalam pameran ini perempuan kemudian dijadikan sebagai subjek. Perempuanlah yang mengambil kendali fotografer. Perempuan pula yang sebenarnya "berkata-kata" bukan fotografer. Menjadi konsep yang menarik pula saat perempuan hadir di tengah pandemi. Representasi apa yang hendak diartikulasikan oleh para fotografer itu sebenarnya?
Tubuh yang Ditunggalkan
Chakraborty (2013) dalam bukunya berjudul Destereotyping Indian Body and Desire dengan sangat menohok menuliskan mengenai bagaimana tubuh sebenarnya dilihat sebagai konstruksi budaya daripada entitas alami. Argumentasi ini didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada tubuh yang tidak bercampur dengan makna tunggal. Beberapa "lembaga" menyuburkan pandangan dominan tersebut mengenai tubuh perempuan. Mereka seakan-akan memiliki otoritas untuk melihat dan menilai perempuan. Stereotip perempuan bahwa memiliki rambut panjang lebih indah daripada rambut pendek, berkulit putih lebih indah daripada berkulit gelap, dan seterusnya.
Tak bisa dipungkiri lagi "lembaga" tersebut mewujud salah satunya pada fotografer. Fotografer kerap kali melihat perempuan dalam kacamata keindahan. Rambut panjang, kulit putih, bertubuh tinggi dan kurus, rambut lurus, dan seterusnya. Namun secara kritis penilaian tersebut sebenarnya mengobjektifikasi perempuan dalam konstruksi sosial alih-alih sebagai pujian. Dalam konteks ini maka secara logis bisa diajukan oposisi binernya, yaitu jika ada yang indah maka ada yang buruk. Pertanyaan selanjutnya adalah maka yang buruk itu yang seperti apa? Di sinilah maka fotografer melakukan standarisasi yang lagi-lagi ujung dari hal tersebut adalah objektifikasi pada perempuan.
Dua foto yang disebutkan di awal adalah cerminan dari semua karya foto yang dipamerkan. Perempuan dalam pameran ini ingin dimaknai sebagai perempuan dengan tidak mengangkat kembali hal-hal yang bersifat stereotip. Perempuan dihadirkan secara natural maupun simbolik yang di beberapa fotonya terjadi kritik atas pemaknaan pada diri perempuan yang cenderung dimaknai tunggal, yaitu indah. Perempuan dihadirkan dalam perannya yang natural tanpa bingkai citra yang mensubordinasi perempuan.
Jika dihubungkan dengan konteks kejadian hari ini tentang pandemi, maka kehadiran perempuan diartikulasikan mengenai bagaimana sikap manusia. Ada yang bersembunyi, takut, khawatir atau ada juga yang berani tampil dengan segala konsekuensinya. Pandemi hanyalah konteks hari ini. Esok, sikap manusia masih tetap sama meski tanpa ada pandemi. Bahwa kemudian perempuan kembali mengalami objektifikasi, maka pandemi hadir menjadi alat untuk melakukan katarsis; pembersihan jiwa. Tidak ada yang senang dengan pandemi ini, setidak-senangnya kita juga jika harus melakukan refleksi.