"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian". - (Pramoedya Ananta Toer)
Suara kami mungkin sudah tidak prima lagi untuk bernyanyi-nyanyi memberikan dukungan pada Persebaya saat mereka bertanding. Tubuh kami juga sudah tidak kuat lagi untuk berdiri selama 90 menit.
Namun jauh sebelumnya, saat Persebaya "dimatikan" PSSI tahun 2012, suara kami sudah berpindah ke media sosial untuk menyerukan perlawanan. Suara yang diwakilkan pada rentetan huruf dan kata. Tiap kalimatnya kami pahami sebagai senjata. Sebagai nada kemarahan pada federasi.
Kecintaan pada Persebaya sudah banyak yang tak meragukan bahkan menyeretnya menjadi stigma. Keburukan menandai Bonek di sepanjang sekian tahun. Karena itu pula, ketika tidak semua berlaku buruk, nilai kebaikan pun jarang didapatkan hehehehe....Â
Tak apa-apa, Bonek memahaminya sebagai buah konsekuensi dalam berkeluarga. Baik dan buruk adalah rumah bersama. Rumah saling berbagi, meski dalam kondisi apapun.
Rupanya tulisan kami yang tersebar di berbagai platform digital (Facebook, Blackberry Messenger, dan belakangan Whatsapp) itulah yang menyatukan kami. Susah senang bersama. Berbela rasa tentang Persebaya yang dipaksa mati. Hingga kami memutuskan membuat grup di Whatsapp bernama Bonek Writer Forum (BWF). BWF lahir pada 6 Desember 2017 yang ditandai dengan postingan pertama di grup Whatsapp.
Hingga saat pandemi tiba, kami berkumpul bersama hanya sekali (saat halal bi halal tahun 2019). Selebihnya ngerasani dan diskusi diadakan di grup. Hasilnya adalah membuat terbitan bacaan. Berbagi cerita, bagi kami, bisa meminimalisir ketegangan yang terjadi antarsuporter.
Komunitas suporter sepak bola di Indonesia sudah mulai banyak yang membuat bacaan-bacaan. Itu jugalah yang memperkuat keyakinan kami, bahwa ke depan, ketegangan hingga berujung perseteruan biarlah terjadi saat mengomentari pertandingan. Jika pun saling sindir antarsuporter biarlah juga terjadi tanpa ada yang baper.
Terbitan pertama BWF adalah dalam bentuk e-book di tahun 2019. Buku pertama ini dalam rangka ulang tahun Persebaya ke-92. Judulnya adalah "Make Persebaya 92eat Again". Buku ini gratis dan diedarkan lewat website BWF. Semangat untuk berbagi pandangan mengenai Persebaya inilah yang melatarbelakangi terbitnya buku ini.
Kami sudah sangat merasa gembira jika Bonek pun mulai merasakan melek literasi. Hal ini penting dalam memupuk kecintaan pada klub yang diiringi dengan membaiknya cara pandang. Meski, sekali lagi kami pun masih harus tetap tabah jika stigma masih belum menjauh dari Bonek.Â
Pandangan bahwa Bonek adalah suporter yang brutal seakan-akan terus dijadikan "jalan" untuk mengidentifikasi suporter. Ndak apa-apa. Kebaikan toh biasanya bekerja dalam senyap, kan? Tetap istiqomah untuk berbagi saja.
Saat pandemi terjadi, di bulan Juni, Persebaya berulang tahun ke-93. Pada tahun ini kembali kami merilis koran online yang bisa diakses dengan gratis melalui website BWF. Kesan-kesan mengenai Persebaya dituliskan dan disebarkan.
Di tengah kompetisi yang tidak jalan, membaca dan menulis adalah jalan terbaik untuk mengingat Persebaya dengan segala kenangan pertandingan. Begitu pula mengevaluasi apa yang menjadi kekurangan, termasuk juga bagi Bonek.
Jika komunitas Bonek lain melakukan penggalangan dana solidaritas sosial untuk memberi perhatian pada tenaga kesehatan Covid-19 maupun korban virus ini, maka BWF pun juga menggalang dana melalui bacaan.
Buku kedua BWF pun lahir untuk membaca situasi pandemi sebagai suatu bencana global. Kami berdiskusi untuk menulis lagi dan dibukukan hal-hal seputar sepak bola di tengah bencana. Maka lahirlah buku kedua berjudul "Tolak Bala Sepak Bola".
Buku ini tentang bagaimana peristiwa sepak bola di tengah segala jenis bencana. Maka tulisan perihal bencana alam seperti gunung meletus yang mengganggu persiapan Liga Champions Eropa, gempa bumi di Jogja yang berdampak pada klub-klub sepak bola, maupun bencana sosial.Â
Tewasnya suporter Liverpool yang melibatkan otoritas keamanan setempat di stadion, dampak meledaknya Chernobyl pada klub Ukraina, dan lain-lain diceritakan dalam buku ini.
Bagi BWF, buku ini bisa menjadi pembelajaran ke depan mengenai bagaimana menghadapi bencana seperti itu. Buku "Tolak Bala Sepak Bola" ternyata mendapat sambutan bagus dari Universitas Muhammadiyah Surabaya. Jadilah projek buku ini bekerjasama dengan kampus, sekaligus bagaimana komunitas Bonek bisa bersinergi dengan perguruan tinggi.
Niat awal menerbitkan buku Tolak Bala ini adalah bagaimana hasil penjualan buku ini bisa memberi perhatian pada tenaga kesehatan di Surabaya. Kami yang menuliskan, pembaca yang menyimak, dan perhatian pada tenaga kesehatan bisa tersalurkan. BWF sudah sangat bahagia bisa membantu berbagi di tengah kesulitan semua pihak.
Benar saja, kami mencetak terbatas buku ini sejumlah 200 eksemplar dan habis. Tugas berikutnya adalah pengalaman baru, yaitu mengemas buku, kemudian mengantarnya ke jasa ekspedisi. Saya kebagian untuk melakukan tugas tersebut.
Ditemani oleh petugas JNE yang telaten menuliskan nama dan alamat yang begitu banyaknya, saya sungguh salut dengan pelayanan mereka. Boks besar berisi buku-buku dalam dua kloter itu pun akhirnya bisa terdistribusikan dengan baik.
Terima kasih untuk semua Bonek, Bonita, maupun pembaca buku sepak bola yang sudah membaca buku Tolak Bala. Kelak buku ini akan menjadi penanda mengenai bagaimana kita pernah berada dalam situasi yang sangat sulit. Saat pertandingan sepak bola tidak ada. Saat Persebaya dan klub-klub lain tidak berlaga.
Senjata kami hanya berupa kata-kata, semoga saja bisa memberi secercah cahaya pada pihak yang membutuhkan lewat literasi yang baik, daripada kata-kata yang digunakan untuk mengutuki keadaan.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H