Megan duduk di tepi tempat tidur putrinya, selimut merah muda lembut yang masih sempurna, belum tersentuh sejak hari kepergian Ellie. Udara terasa pekat dengan keheningan, pengingat yang menyakitkan akan tawa yang pernah memenuhi rumah itu. Sudah enam bulan berlalu sejak kecelakaan itu, namun gema kehadiran Ellie masih terasa, menghantui sekaligus menghibur.
Setiap pagi, Megan terbangun, pikirannya menolak untuk menerima kenyataan akan kematian putrinya. Dunia di luar terus berjalan, namun ia terjebak dalam momen beku di mana Ellie masih ada, senyumnya menerangi sudut-sudut tergelap hati Megan. Dalam kesedihannya, Megan mulai mendengar bisikan-bisikan, tawa lembut, langkah kaki yang tidak asing lagi di lorong.
Pada suatu sore yang hujan, saat bayangan menari-nari di ruang tamu, Megan mendengar suara Ellie memanggil namanya. "Ibu, ayo bermain denganku!" Dia merasakan harapan yang sangat besar. Mungkin Ellie telah kembali, mungkin ini semua hanyalah mimpi buruk yang akan membuatnya terbangun. Megan berlari ke halaman belakang, tempat mereka menghabiskan banyak waktu di sore hari.
"Megan?" seorang tetangga memanggil, dengan kekhawatiran terukir di wajahnya. Tapi Megan tersesat di dunianya sendiri, mencari gadis kecil yang telah memberinya begitu banyak kegembiraan. Taman itu kosong, tapi dalam pikirannya, dia bisa melihat Ellie mengejar kupu-kupu, tawanya berbaur dengan angin.
Hari berganti menjadi minggu, dan halusinasi menjadi lebih jelas. Megan mendapati dirinya sedang memasak makanan kesukaan Ellie, menyiapkan piring tambahan di meja, percaya bahwa putrinya akan kembali bergabung dengannya. Dalam keheningan malam, ia mendengar Ellie membisikkan rahasia-rahasia, bercerita tentang sekolah, teman, dan petualangan. Setiap momen terasa nyata, balsem untuk hatinya yang sakit.
Namun retakan pada fasad ini mulai terlihat. Teman-temannya mengulurkan tangan, prihatin dengan keadaan Megan. "Kamu harus berbicara dengan seseorang," mereka mendesak, tetapi pikiran untuk berbagi penglihatannya terasa mustahil. Bagaimana dia bisa menjelaskan bahwa di saat-saat tergelapnya, Ellie adalah satu-satunya cahaya baginya?
Suatu malam, setelah seharian mengenang, Megan duduk di ruang tamu, cahaya lembut dari perapian memancarkan bayangan yang berkedip-kedip. Dia memejamkan matanya, menghirup aroma kondisioner rambut Ellie yang menempel di bantal. Tiba-tiba, dia merasakan sebuah tangan kecil menyelinap ke dalamnya.
"Ibu, aku merindukanmu," kata Ellie, suaranya manis dan polos.
Hati Megan pun melayang. "Aku juga merindukanmu, sayang! Ke mana saja kamu?"
"Hanya menunggumu menemukanku," jawab Ellie, tawanya mencerahkan ruangan.
Namun kemudian, rasa dingin yang aneh menyelimuti Megan. "Kenapa kamu tidak keluar lagi? Aku sudah mencarimu ke mana-mana!" Kepanikan merembes ke dalam suaranya saat suasana berubah.