Mohon tunggu...
Obbie Afri Gultom
Obbie Afri Gultom Mohon Tunggu... Seniman - Pejuang Keadilan Sosial - Pendukung Kesejahteraan Wong Cilik

Saya apa adanya dan tidak perlu menjadi siapa-siapa. Karena menjadi diri sendiri lebih menyenangkan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Masih Perlukah Parliamentary Treshold dalam Pemilu Indonesia?

22 Februari 2024   04:15 Diperbarui: 22 Februari 2024   04:34 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kisah Grace Natalie dalam pemilihan legislatif menarik perhatian karena mencerminkan sebuah narasi yang lebih besar tentang tantangan yang dihadapi oleh politisi dari partai kecil dalam sistem pemilu Indonesia. Grace, yang maju dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI), berhasil meraih suara signifikan sebanyak 37.542 suara dalam pemilu legislatif untuk daerah pemilihan (dapil) DKI Jakarta III. Angka ini bukan hanya menonjol karena jumlahnya, tapi juga karena siapa yang berhasil dikalahkannya dalam perolehan suara tersebut.

Grace Natalie tidak hanya mengungguli beberapa nama besar dalam politik Indonesia, tetapi juga mencatatkan diri sebagai salah satu kandidat dengan suara terbanyak di dapilnya. Dia berhasil mengungguli figur-figur seperti Erwin Aksa dari Partai Golkar, yang mendapatkan 34.878 suara, dan juga petahana lain seperti Ahmad Sahroni dari NasDem, serta Charles Honoris dari PDI Perjuangan. Hasil ini menunjukkan betapa besar dukungan yang berhasil diraih Grace dari masyarakat, mencerminkan kepercayaan dan harapan yang diberikan kepadanya sebagai wakil mereka di parlemen.

Namun, ironisnya, meskipun Grace berhasil meraih suara yang signifikan dan mengungguli beberapa kandidat terkenal, usahanya dan usaha pemilih yang telah memberikan suara kepada dirinya terancam sia-sia. PSI, partai yang diwakilinya, masih stagnan di angka 2 persen lebih, jauh di bawah ambang batas parlemen sebesar 4 persen yang ditetapkan dalam UU Pemilu. Ini berarti, meskipun secara individu Grace memiliki dukungan kuat, tetapi karena partainya tidak memenuhi syarat parliamentary threshold, maka suara yang diperolehnya tidak akan dapat mengantarkannya ke Senayan.

Situasi ini menggambarkan salah satu ironi pahit dalam sistem pemilu Indonesia, di mana individu yang memiliki dukungan kuat dari masyarakat dan bahkan mengungguli kandidat lain dari partai besar, tetap tidak dapat mewakili mereka di lembaga legislatif karena hambatan sistemik yang diciptakan oleh parliamentary threshold. Ini menimbulkan pertanyaan besar tentang representasi demokratis dan bagaimana sistem pemilu dapat dirancang untuk lebih inklusif dan adil, memungkinkan suara-suara yang diwakili oleh partai kecil dan kandidat independen untuk memiliki tempat di parlemen.

Bayangkan, ribuan, bahkan jutaan suara yang dengan sengaja diberikan kepada Grace dan PSI, kini terancam menjadi sia-sia, terbuang tanpa makna. Ini bukan hanya kehilangan bagi mereka yang secara langsung terpengaruh, tapi juga bagi demokrasi Indonesia. Ketika suara rakyat yang diberikan secara sadar dan penuh harapan kepada wakil pilihan mereka dianggap tidak berharga, apa yang tersisa dari esensi demokrasi itu sendiri? 

Dalam perjalanan demokrasi Indonesia, parliamentary threshold (PT) telah menjadi senjata ganda; di satu sisi dianggap sebagai alat penyaring untuk stabilitas politik, namun di sisi lain, menjadi belenggu yang mengikat suara rakyat. Aturan yang ditetapkan dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menuntut partai politik untuk meraih minimal 4% suara nasional agar dapat duduk di DPR, adalah bukti nyata dari sistem yang menyimpang dari esensi demokrasi itu sendiri. 

Pendukung PT berargumen bahwa kebijakan ini dimaksudkan untuk mendorong efektivitas pembuatan kebijakan dengan menyaring partai-partai kecil yang dianggap hanya akan menjadi "pelengkap penderita" dalam parlemen. Taufik Basari dari Partai NasDem menyatakan bahwa PT bertujuan untuk mencegah ekstremisme dan memastikan partai-partai yang ada memiliki dampak nyata dalam pembuatan kebijakan.

PT adalah pengkhianatan terhadap prinsip dasar demokrasi, yaitu pengakuan dan penghormatan terhadap setiap suara. Dengan adanya PT, suara rakyat yang telah dengan sengaja memilih perwakilan mereka dianggap sia-sia jika partai pilihan mereka tidak memenuhi ambang batas yang ditetapkan. Ini adalah bentuk diskriminasi terhadap hak pilih, dimana suara minoritas diabaikan, dan hanya suara mayoritas yang dianggap berharga. 

Kasus Grace Natalie dari PSI yang mendapatkan suara signifikan namun terhalang oleh PT adalah contoh nyata bagaimana PT menggadaikan aspirasi rakyat. Ini menunjukkan betapa PT secara efektif 'membunuh' peluang individu dan partai yang secara legitime mendapatkan dukungan rakyat, namun dihalangi oleh ambang batas arbitrer yang tidak mencerminkan kehendak demokratis. 

Parliamentary Threshold di Indonesia merupakan topik yang kompleks dan kontroversial. Di satu sisi, PT dapat dimaknai sebagai upaya untuk menciptakan stabilitas dan efektivitas dalam pembuatan kebijakan. Namun, di sisi lain, PT jelas memiliki dampak negatif terhadap representasi demokrasi dan keberagaman politik. Sebagai negara demokrasi, Indonesia perlu mempertimbangkan kembali penerapan PT, memastikan bahwa setiap suara dihargai, dan bahwa aspirasi masyarakat dapat terwakili secara adil dan merata di parlemen. Solusi mungkin terletak pada reformasi sistem pemilu yang lebih inklusif, di mana parliamentary threshold disesuaikan atau bahkan dihapuskan untuk memastikan bahwa demokrasi tidak hanya sekedar pemilihan umum, tetapi juga tentang representasi yang efektif dan adil bagi seluruh lapisan masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun