Mohon tunggu...
zeinul ubbadi
zeinul ubbadi Mohon Tunggu... -

wartawan madura channel televisi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Generasi Penerus Muhammad

7 Mei 2014   06:19 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:46 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Malam itu di Masjid Baiturrahman Desa Gilang sebenarnya tidak ada yang terlalu istimewa. Peringatan maulid Nabi yang digelar rutin setiap tahun berjalan seperti biasa. Sehabis shalat maghrib warga sekitar berbondong-bondong datang ke Masjid. Sebagian membawa buah dan makanan, sementara sebagian lain datang dengan cuma "alembay"...

Suasana menjadi terasa berbeda saat pembacaan shalawat hendak dimulai. Sama sekali tak disangka, yang berdiri mengawali pambacaan shalawat memang pak Mukri, namun begitu "qiam" tiba-tiba mic digeser ke sisi utara lingkaran dimana di situ tidak saya lihat Pak Sahlan, sesepuh yang biasanya menjadi "vokalis" tiap maulid digelar di masjid ini. Di situ justeru hanya sekumpulan anak-anak muda murid SMK.

Terus terang semula saya agak tidak yakin merekalah yang akan didaulat memimpin pembacaan shalawat. Tapi kemudian keraguan saya sirna, sebab mic itu benar-benar jatuh ke tangan Fauqi, anak kemren sore yang baru kelas tiga di bangku SMK Nurul Huda.

Hati kecil saya cukup berisik menyaksikan pemandangan ini "masak iya maulid nabi yang sakral dan biasanya dipandu para sesepuh ini akan dipasrahkan sama anak muda yang mungkin belum tahu bait shalawat itu dikarang oleh Imam Al-Barzanji?"

Seperti saya dahulu, menyangka Barzanji itu adalah nama kitab, tidak tahunya, itu nama pengarangnya yang kemudian seakan-akan menjadi nama kitabnya. Di mana-mana di sekitar kecamatan Bluto, biasanya mereka bilang "maca'a Barzanji" saat hendak merayakan Maulid Nabi.

Mungkin Fauqi dan teman-temannya tahu tentang hal itu, namun belum tentu piawai membawakan lagu shalawat dari jaman dahulu yang tak pernah ganti-ganti itu. Fauqi pasti tidak terbiasa, sebab sekalipun dibaca tiap tahun di Masjid, hanya Pak Sahlan dan Pak Mukri yang jadi pemimpin. Yang lain cuma ikut apa yang mereka lantunkan. Jadi besar kemungkinan selain pak Mukri dan Pak Sahlan tidak begitu hafal cara melantunkannya.

Dan Benar. Sesaat setelah Fauqi mulai memegang mic ada yang ganjil dalam pendengaran saya. Entah apa karena lagunya tidak begitu pas atau karena saya sudah kadung terbiasa mendengar lagu ini dilantunkan suara Pak Sahlan. Seperti lagu Rhoma Irama yang dilantunkan Judika. Sebaik apa pun suara Judika, tetap terasa ganjil, sebab kita sudah terbiasa mendengar lagu itu dengan suara Rhoma.

Beberapa lagu dilantunkan kurang tegas, sehingga terlihat sekali Fauqi aga ragu-ragu. Betul-betul mengenaskan...

Satu-satunya yang membuat saya tersentak adalah anak-anak muda lain yang ada di sekitar saya di bagian belakang tampak sangat antusias menjawab lantunan shalawat yang dibawakan Fauqi. Saya menjadi tersadar seperti orang baru saja bangun tidur karena terguyur air. Antusiasme itu tidak pernah saya lihat di tahun-tahun sebelumnya. Saya pikir inilah bentuk paling kecil dari rasa memiliki anak muda terhadap maulid di Masjid ini.

Rupanya, melihat dan mendengar Fauqi yang memimpin pembacaan shalawat membuat mereka merasa Peringatan Maulid ini menjadi milik mereka, tidak sekedar ikut-ikutan generasi tua yang mungkin sejak Masjid Baiturrahman berdiri pemimpin pembacaan shalawatnya tak pernah ganti-ganti, Pak Sahlan dan Pak Mukri.

Suara Fauqi boleh sumbang malam itu, tapi rasa memiliki generasi muda yang tergambar dalam antusiasme itu adalah hal yang sama sekali tidak bisa ditukar dengan suara Muammar sekalipun. Saya sangat gembira, karena Masjid ini akan terus hidup dan akan tetap memperingati Maulid Nabi sekalipun para tetua masjid kelak telah tiada. Spirit itu sedikit demi sedikit terwariskan. Anak-anak muda tidak akan hanya di jalanan dan nongkorong di pertigaan-pertigaan seperti pernah saya khawatirkan. Mereka juga akan ke Masjid dan akan merayakan Maulid tanpa pernah merasa bosan.

Terus terang dahulu saya pernah pesimis, menyangka anak-anak muda akan bosan dengan peringatan Maulid Nabi dan membaca Shalawat, sebab mereka sudah punya dunianya sendiri. Tapi malam itu, pesimisme itu menguap dan pudar perlahan-lahan, sebab anak muda nyatanya mereka  merasa memiliki terhadap Masjid dan Maulid saat mereka dilibatkan, bukan hanya ikut-ikutan. Inilah generasi muda yang saya harapkan menjadi penyeimbang saat pemuda lain justru gemar tawuran di depan panggung-panggung orkes dangdut.

Ya sayyidina Muhammad, lihatlah generasi muda umatmu di desa ini, mereka tergerak ingin menghidupkan Masjidmu, mengenang jasa dan memujimu. Berkahilah mereka agar menjadi generasi pembawa berkah dan keselamatan untuk orang tua, kerabat dan tetangganya. Di dunia dan akhirat. Amin.

Allhumma sholli wa sallim wa barik alaih, wa ala alihi wa sohbih...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun