Awal tahun baru 2024 di Jawa Barat lebih tepatnya Sumedang, diwarnai dengan bencana alam yang membuat khawatir masyarakat Jawa Barat, yaitu gempa. Pada 1 Januari 2024, BMKG mencatat gempa yang terjadi sebanyak 5 kali. Melalui peristiwa tersebut, banyak masyarakat luas teringat dengan aktivitas patahan sesar yang aktif kembali.
Mengutip dari laman UNAIR NEWS, bencana alam kerapkali memang menimbulkan kerusakan sistem alami dan sistem lainnya, seperti sosial, pendidikan, dan ekonomi. Tetapi, bencana tidak pernah menghancurkan nilai-nilai, termasuk nilai budaya lokal yang tumbuh dan berkembang di suatu daerah (Kusmaryono, 2012).
Bagi masyarakat, tentunya nilai dan latar belakang budaya sangatlah penuh dengan berbagai macam masalah kehidupan sehari-hari. Maka bagi masyarakat juga perlu terus menggali dan mengembangkan penanaman nilai budaya dalam segala bentuk urusan kehidupan, termasuk bencana. Karena bencana tetaplah urusan bersama.
Namun begitu, bencana tetaplah urusan bersama, bencana bukan untuk ditakuti jika kita mengelola risiko bencana. Risiko bencana dapat kita hilangkan atau hindari, jika kita memahami karakteristik risiko bencana. Jika kita mampu mengurangi risiko bencana, maka ancaman bencana tak akan menjadi bencana, semua ancaman bencana ada solusinya. Karena ancaman bencana sifatnya siklikal, yaitu peristiwa alam yang telah terjadi berulang mulai dari jutaan bahkan milyar tahun yang lalu.
Tulisan ini bermaksud menggali peran penerapan nilai budaya lokal dalam kebencanaan menurut latar belakang budaya, salah satu nilai dan latar belakang yang akan digali dalam tulisan ini datang dari Sunda. Pepatah Orang Sunda pada masa silam tersebut menganjurkan untuk dapat bijaksana dalam memelihara lingkungan.
"Gunung -- Kaian, Gawir -- Awian, Cinyusu -- Rumaten, Pasir -- Talunan, Lebak -- Caian, Sampalan -- Kebonan, Walungan -- Rawateun, Dataran -- Sawahan, Situ -- Pulasaraeun, Lembur -- Uruseun, Basisir -- Jagaeun".
Jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia, pepatah ini berarti tanamilah gunung dengan kayu, lereng dengan bambu, peliharalah mata air. Bukit jadikan talun, lembah aliri air, tegalan jadikan kebun, peliharalah sungai, tempat yang lebih rendah di lembah jadikan kolam, lahan jadikan sawah, peliharalah situ atau danau, uruslah perkampungan, jagalah pesisir (Iskandar, 2017).
Begitulah kiranya, salah satu upaya penerapan nilai dan latar belakang budaya pada kebencanaan yang dapat dijadikan acuan untuk memelihara lingkungan secara bijaksana, sebagai dasar pengurangan ancaman risiko bencana. Karena pada dasarnya, hal di atas tersebut berkaitan dengan filosofi penanggulangan bencana, yaitu dengan menjauhkan bencana dari manusia, menjauhkan manusia dari bencana, beradaptasi dan hidup harmoni dengan bencana, dan mendorong kearifan lokal sebagai kekuatan utama.
Referensi
Kusmaryono, I. (2012, September). Pengembangan pembelajaran matematika kontekstual edutainment berbasis budaya lokal di daerah bencana. In Jakarta: Makalah Seminar Kemendikbud Dikti (Vol. 25).
Iskandar, J. (2017). Etnobiologi dan keragaman budaya di indonesia. Umbara, 1(1).