Selain untuk melakukan sosialisasi, modal besar juga untuk ”merayu” rakyat dengan berbagai modus. Mulai dari sumbangan hingga langsung membeli suara. Pertanyaannya, dari mana uang itu didapat? Bukankah politik uang malah membuat subur praktik korupsi? Demokrasi transaksional yang kini berkembang di Indonesia memaksa para politisi mencari sumber-sumber pendanaan instan untuk menjalankan mesin politiknya. Bisa jadi uang itu dikumpulkan dari mengorup uang rakyat.
Pendek kata, politik uang dalam bentuk langsung atau tidak masih menjadi hantu di Pemilu 2014. Berbagai riset yang dilakukan sejumlah lembaga survei independen menunjukkan bahwa praktik politik uang masih akan mewarnai Pemilu 2014. Parahnya, mayoritas pemilih memaklumi politik uang.Namun, jika uang menjadi faktor utama orang menjatuhkan pilihan, betapa kecilnya peluang caleg miskin yang jujur dan amanah. Bagi caleg berduit yang melenggang ke parlemen, sulit bagi mereka untuk menjalankan amanat rakyat dengan baik. Apalagi mereka merasa telah membeli suara rakyat saat pemilu. Di sisi lain, partai politik juga melakukan segala cara untuk mendulang suara di pemilu. Faktor popularitas figur lebih diutamakan ketimbang visi-misi dan gagasan membangun Indonesia yang lebih baik.
Karena itu, tak mengherankan jika dalam setiap pemilu banyak artis yang ditampilkan sebagai caleg. Memang tak semua caleg artis dengan popularitas tinggi minim kemampuan. Potensi kecurangan pemilu terbuka lebar di tengah makin pragmatisnya pemilih. Pemilih bisa jadi tak hanya menerima uang dari salah satu politisi. Pemilih bisa menggunakan prinsip aji mumpung. Uang dari mana pun akan diterima, ketimbang menunggu hasil kerja konkret mereka di parlemen yang belum tentu jelas. Dalam situasi seperti ini, caleg yang kalah populer atau yang khawatir terhadap suara yang didapat bisa jadi akan merapat ke panitia pemungutan suara. Mereka akan memanfaatkan penyelenggara pemilu yang mau menerima suap. Terkait itu, netralitas penyelenggara pemilu mendapat ujian serius. Mereka akan menjadi sasaran rayuan politisi berduit yang berani menghalalkan segala cara untuk menang. Apalagi, selama beberapa kali pemilu desas-desus adanya jual-beli suara di tingkat penyelenggara pemilu telah terjadi. Sayangnya, aroma itu masih sulit dibuktikan. Kekhawatiran itu cukup masuk akal. Pasalnya, KPU di daerah banyak yang main mata dengan calon. Lihat saja Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang telah menghukum puluhan penyelenggara pemilu.
Dalam situasi seperti ini, demokrasi dengan proses pemilu yang menghabiskan uang triliunan rupiah, dikhawatirkan menimbulkan anarki di masyarakat. Aroma kecurangan pemilu dan politik uang selalu berhembus kencang dalam pemilu. Namun, sampai saat ini praktik penodaan demokrasi itu sulit dibuktikan. Hanya beberapa yang masuk meja pengadilan, termasuk kasus yang melibatkan Akil Mochtar. Adalah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang harus meningkatkan pengawasannyaNamun, Bawaslu saja tentu tidak cukup. Rakyatlah yang bisa menangkal pengaruh terjadinya politik uang. Maka dari itu peran serta elemen masyarakat,pemerintahan dan lainnya harus maksimal.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI