Ammentengko nu kamase-mase, accidongko nu kamase-mase, a‘dakkako nu kamase-mase, a‘meako nu kamase-mase (berdiri engkau sederhana, duduk engkau sederhana, melangkah engkau sederhana, dan berbicara engkau sederhana)
Saya sangat terinspirasi dengan sebuah kutipan dari Mark Twain yang mengatakan bahwa dua puluh tahun dari sekarang kamu akan lebih merasa kecewa untuk banyak hal yang tidak sempat kamu lakukan daripada satu hal yang pernah kamu lakukan. Karena senang traveling, saya sempatkan untuk selalu menuntaskan keinginan saya mengunjungi suatu tempat meskipun terkadang medannya cukup sulit untuk ditempuh. Saya tak ingin dikemudian hari saya menyesali perjalanan-perjalanan impian yang tak sempat saya lakukan.
Dari sekian banyak perjalanan yang telah saya tempuh selama ini baik didalam maupun luar negeri ada sebuah tempat yang paling berkesan dan tak pernah bosan untuk saya datangi, lagi dan lagi. Tempat itu bernama Tana Toa yang menurut kepercayaan masyarakat adat setempat adalah merupakan tempat manusia pertama berasal. Tana Toa yang berarti tanah yang tertua memiliki keunikan budaya serta kearifan lokal sendiri yang masih tetap dipertahankan hingga saat ini. Mereka percaya bahwa manusia pertama kali diturunkan disana dengan membawa pesan dari Pencipta untuk selalu memelihara dunia beserta isinya, demikian pula langit, manusia dan hutan (Jagai lino lolling bonena, kammayyatompa langika, rupa taua siagang baronga). Masyarakat Tana Toa sendiri juga disebut dengan suku Kajang dan memiliki bahasa daerah sendiri yang disebut bahasa Konjo. Berlokasi di kabupaten Bulukumba , Sulsel dengan jarak kurang lebih 250km dari kota Makassar, suku Kajang berdiam didua wilayah yang disebut dengan daerah Kajang dalam dan Kajang luar. Pada wilayah Kajang dalam inilah saya jatuh cinta dengan kesederhanaan dan kearifan budaya setempat.
Pertama kali saya menginjakkan kaki di Kajang dalam pada bulan September 2007 lalu. Sebelumnya saya sudah sering mendengar mengenai tradisi mereka yang hanya mengenakan pakaian berwarna hitam, menolak segala hal berbau modern seperti listrik, kendaraan bermotor, dan bahkan WC! Selain itu, berbagai kisah-kisah berbau mistik yang sering dikaitkan dengan komunitas ini semacam mantra-mantra, terkurung di dalam hutan adat mereka bila kita berkata tidak baik, ilmu membuat kepala menjadi lembek dan sebagainya yang membuat saya semakin penasaran untuk mengunjungi suku ini. Ketika mengetahui salah seorang kawan menjadi guru baca tulis untuk anak-anak suku Kajang dalam, saya lalu menghubungi dia dan meminta ijin untuk bisa ikut ke kampung tempatnya mengajar tersebut. Mendapat ijin darinya saya sungguh sangat gembira dan langsung mempersiapkan pakaian saya yang berwarna hitam dan perlengkapan traveling lainnya.
Untuk menuju dusun tempat kawan saya mengajar tersebut ternyata sangat melelahkan. Dari gerbang selamat datang dikawasan Ammatoa, kami masih harus berjalan selama kurang lebih 1 jam dengan medan berbukit dan berbatu. Untungnya pemandangan alamnya yang sangat indah membuat keletihan saya terbalaskan dengan kepuasan mata. Sesampainya kami di dusun Pangi (salah satu dusun di desa Tana Toa yang masih merupakan bagian wilayah Kajang dalam) yang merupakan tempat tinggal kawan tersebut, saya mendapati rumah-rumah masyarakatnya bentuknya sama satu dan lainnya. Rumah panggung yang terbuat dari kayu dengan hanya satu tangga yang langsung berhubungan dengan pintu masuknya, tanpa teras dan dapurnya terletak dibagian depan samping ruang penerimaan tamu. Oleh pak Bolong si pemilik rumah, saya dijelaskan bahwa rumah adat suku Kajang memang dibuat seragam dan mengandung filosofi yang kuat. Mereka sengaja menempatkan dapur dibagian depan rumah karena mereka sangat menghargai dapur sebagai tempat pengolahan sumber kehidupan. Ruangan didalam rumah mereka pun dibiarkan terbuka tanpa sekat karena orang Kajang ingin menunjukkan keterbukaannya kepada tetamu yang datang berkunjung.
[caption id="attachment_202656" align="aligncenter" width="448" caption="Rumah adat Kajang, photo by Nyomnyom"][/caption]
Masyarakat Tana Toa atau suku Kajang memiliki sistem pemerintahan adatnya sendiri. Mereka dipimpin oleh seorang Ammatoa atau yang berarti pemimpin yang tertua (dituakan). Ammatoa dalam tugas-tugas dan upacara adat juga didampingi oleh dua orang Anrong yang disebut Anrongta ri Pangi dan Anrongta ri Bongkina. Ammatoa juga dibantu oleh beberapa pemangku adat yang disebut dengan Galla (ada Galla Kajang yang bertugas mengurusi masalah ritual, ada Galla Pantama yang mengurusi pertanian, Galla Puto sebagai juru bicara Ammatoa dan seterusnya). Meskipun belakangan masyarakat Kajang menyebut diri mereka sebagai penganut agama Islam, tetapi dalam kesehariannya mereka masih berpegang pada Passang ri Kajang atau pesan-pesan suku Kajang yang ada pada ajaran Panuntung (penuntun) mereka. Tradisi dan ajaran leluhur masih tetap dipegang teguh dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari mereka.
[caption id="attachment_202655" align="aligncenter" width="448" caption="Upacara adat di Kajang, photo by Nyomnyom"]
Pakaian berwarna hitam yang mereka kenakan pun mempunyai arti kesederhanaan dan sebagai simbol untuk mengingatkan mereka untuk selalu ingat dunia akhirat. Penolakan terhadap hal-hal yang berbau modern seperti listrik pun karena hal-hal tersebut dianggap bisa menjauhkan mereka dari alam dan leluhur. Mereka berprinsip bahwa Kajang merupakan tana kamase-masea atau daerah yang penuh dengan kebersahajaan. Mereka menganggap barang-barang modern tersebut bisa menggangu keseimbangan kehidupan. Bahkan untuk mandi saya harus menggunakan sumur umum dari mata air alami yang hanya ada di beberapa titik saja. Dengan sehelai sarung sebagai penutup badan, saya ikutan mandi bersama para ibu-ibu dan anak-anak lainnya. Yang menjadi masalah kecil bagi saya adalah ketika ingin buang air besar. Tak ada WC atau toilet membuat kami harus pergi ke semak-semak atau kebun-kebun sekitar untuk membuang hajat. Sambil membawa seember air dan gayung dari bekas sabun colek, saya mesti berjalan ke kebun samping rumah dan kemudian menggali lubang kecil dan berjongkok sambil menoleh kekiri dan kekanan karena khawatir ada yang lewat dan melihat aktifitas saya. Yang paling parah adalah bila keinginan buang hajat itu terjadi di malam hari dimana suasana gelap gulita karena tak ada listrik dan suara-suara binatang malam bersahut-sahutan. Kalau itu terjadi, saya lalu membangunkan kawan saya dan menyeretnya menemani saya dalam jarak tak begitu jauh sambil memintanya bersiul atau bernyanyi agar saya tahu dia masih menemani.
[caption id="attachment_202658" align="aligncenter" width="448" caption="Bersama tetua di Kajang, photo by Imran"]
Sungguh, pengalaman saya berkunjung ke suku Kajang di Tana Toa ini sangat berkesan dan tak akan terlupakan. Bagaimana tidak, saya mendapat banyak pelajaran hidup untuk menghargai alam dan hidup sederhana lewat filosofi yang dianut oleh masyarakat Kajang dan yang paling penting adalah saya mendapatkan jodoh hidup saya di sana. Ya, teman saya itu belakangan menjadi suami saya dan hingga kini dia masih mengajar di dusun Pangi sehingga Kajang ibarat rumah kedua kami sekarang.
[caption id="attachment_202660" align="aligncenter" width="448" caption="Bersama suami di Kajang setelah menikah"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H