Boleh dibilang hubungan kami terbilang unik.
Aku adalah seorang anak perempuan bungsu dengan satu abang dan satu kakak perempuan. Ketika aku masih kanak-kanak, aku adalah seorang pemuja ibuku. Kemana-mana aku selalu ikut beliau. Ketika aku sekolah, aku selalu tak sabar ingin segera pulang ke rumah. Sebuah permainan mencari harta karun telah menanti aku dan kakak-kakakku. Ibu membungkus makanan kami dengan sehelai daun pisang, dan menyembunyikannya di sebuah tempat. Kami harus mencarinya sampai dapat lalu dimakan bersama-sama. Kakak perempuanku yang paling sering duluan menemukannya dan memenangkan permainan ini. Ketika dewasa, aku baru paham, itulah cara ibuku menutupi kekurangan keuangan keluarga kami saat itu. Menu sederhana yang selalu berulang membuat ibu harus berpikir kreatif agar anak-anaknya tak merasa bosan dan semangat untuk makan. Mungkin inilah salah satu alas an aku sangat menyukai tempe hingga sekarang.
Pernah suatu ketika aku sangat marah pada ibu. Kami sejak masih kecil memang selalu dibiasakan untuk belajar menabung. Masing-masing anak mempunyai celengan yang terbuat dari tanah liat. Setiap hari aku memasukkan koin-koin sen uang jajanku yang tak seberapa itu. Aku ingin mempunyai buku cerita bergambar seperti kawanku yang juga anak bos ibuku. Suatu ketika, aku merasa tabunganku sudah cukup untuk membeli buku cerita bergambar incaranku itu. Sisa uang dicelengan pun sudah kugadang-gadang akan kubelikan kertas surat indah untuk kujadikan koleksi. Alangkah kagetnya aku ketika mengangkat celengan ayamku yang berada di lemari ruang keluarga kami. Dasar celenganku sudah bolong, hanya ada selotip yang menyatukan kepingan-kepingan tanah liatnya. Aku menuduh abangku sebagai pelakunya. Dia memang tersangka utamaku karena dia yang sering kulihat membawa kelereng warna-warni dalam stoples kecil miliknya. Mana mungkin dia mampu membelinya, uangnya selalu habis untuk dibelikan jajanan. Aku mengadu ke ibu yang tersenyum mengelus kepalaku. Beliau meminta maaf kepadaku. Rupanya, ibu yang mengambil uangku. Aku marah besar. Aku memukul ibu sambil menangis dan lari ke kamar. Aku benci ibu. Aku batal membeli buku cerita bergambar yang kuidam-idamkan karena ibu.
Esoknya, ketika sepulang sekolah, aku melihat sebuah kado bertuliskan namaku. Aku membukanya. Isinya sebuah celengan baru dan selembar uang kertas seribu rupiah. Waktu itu, seribu rupiah sangat berharga dan bisa membeli beberapa barang. Aku meloncat-loncat kegirangan. Ketika ibu pulang dari poliklinik tempatnya bekerja, aku menyambutnya dengan pelukan dan ciuman di pipi. Beberapa tahun kemudian, ketika aku dan ayah bernostalgia mengenang masa lalu, beliau bercerita bahwa uang celenganku yang diambilnya itu buat membayar uang sekolah kakakku yang telah menunggak dua bulan. Ibu lalu dengan terpaksa melakukan hal yang sangat ia benci yakni meminjam uang, untuk menggantikan celenganku dan memberiku uang seribu rupiah itu. Mendengar itu membuatku meneteskan airmata dan merasa sangat menyesal. Ibuku memang tak pernah mau menunjukkan kesusahannya di depan anak-anaknya.
Beranjak remaja, hubunganku dengan ibu mulai sering tak harmonis. Aku selalu bersama kawan-kawan. Merekalah keluarga baruku. Aku banyak menghabiskan waktuku dengan mereka dan lebih sering pulang malam. Aku menjadi sering bertengkar dengan ibu yang kerap memarahiku yang selalu terlambat kembali ke rumah. Aku menjadi sering membandingkannya dengan ayah yang menurutku sangat pengertian. Ayah tak pernah marah bila aku sering keluar, pun tak pernah banyak bertanya bila aku pamit hendak kemana. Jika aku ingin meminta uang untuk membeli sesuatu, ayah hanya bertanya berapa banyak yang kubutuhkan. Meminta pada ibu? Aah..hanya pertanyaan beruntun yang membuatku kesal. “ Buat apa uang sebanyak itu?”, “Bukannya kamu sudah punya barang seperti itu?”, lalu akan ditutup dengan kalimat ; “Jangan suka hamburkan uang!”. Aduh ibu, aku tak tahu itulah caramu mengajariku untuk berhemat dan menghargai uang.
Aku juga seorang anak yang keras kepala. Ketika aku kuliah, aku juga aktif diberbagai kegiatan dan sering magang di kantor-kantor sehingga aku bisa membiayai diriku sendiri. Ibu sering bertanya kapan aku selesai kuliah. Katanya, ayah sebentar lagi akan pensiun dan akan lebih baik bila semua anaknya telah selesai kuliah pada saat ayah berhenti bekerja. Aku yang merasa sudah mampu mengurusi diri dan memperoleh penghasilan sendiri berkata pada ibu bahwa aku akan selesai bila aku telah siap. Bukankah aku tak lagi bergantung pada ayah dan ibu, jadi aku berhak menentukan mauku sendiri. Aku merasa ibu terlalu cerewet dan mengatur.
Tetapi, meskipun aku sering bertengkar dengan ibu, hubungan kami juga penuh dengan canda dan curhat-curhatan. Meski aku tak dididik untuk mengekspresikan kata cinta dalam bentuk kata-kata, tetapi kami saling tahu bahwa aku dan ibu sangat menyayangi satu sama lain. Ibu adalah orang yang pertama tahu ketika aku jatuh cinta dan juga patah hati. Ibu pula yang mengajariku untuk tidak bergantung pada siapapun. Aku selalu diajarinya untuk mandiri dan menjaga harga diri.
Semakin besar aku menjadi semakin mengerti ibuku. Ibu memang tak sempurna. Ibu sering memarahiku dan mencerewetiku. Tapi itu karena ibu sayang kepadaku. Beliau tak tahu cara menunjukkan kekhawatirannya kepada anak gadisnya yang punya hobi berpetualang ini. Ketika aku pertama kali keluar negeri untuk mengikuti sebuah lokakarya di Australia mewakili kampusku, aku sengaja memperpanjang masa tinggalku karena aku ingin menikmati negara Kangguru ini sedikit lebih lama. Ketika kembali ke kotaku, ayah berkata bahwa ibu tak pernah berhenti mengkhawatirkanku dan selalu berdoa untukku. Rupanya, ibu takut aku yang seorang diri berangkat ke luar negeri akan tersesat atau mendapat masalah. Selalu saja disetiap perjalanan-perjalananku berikutnya ibu mendoakanku agar bisa kembali dengan selamat.
Hubungan kami memang unik. Terkadang, kami tak perlu saling mengucapkan apa-apa tetapi antara aku dan ibu telah saling memahami. Sewaktu kakak marah kepada ibu yang lupa menyiapkan kamar pengantinnya, ibu diam-diam masuk ke kamar. Aku pun menyusulnya. Kulihat ibu terbaring dengan mata terpejam. Aku tahu ibu pasti sedih sekali. Aku tak tahu harus berkata apa. Aku hanya ikut berbaring disamping ibu dan menggenggam tangannya erat-erat. Kudengar isakan kecil ibu dan aku hanya bisa diam sambil terus menemaninya selama beberapa waktu. Itulah ibuku, beliau tak pernah mau orang-orang tahu kesedihannya.
Pun saat ibu terkena kanker payudara, kami anak-anaknya baru tahu ketika penyakitnya sudah berada distadium lanjut. Ibu yang seorang suster pasti sudah tahu penyakitnya sejak awal. Beliau meminta ayah untuk tidak memberitahu kami. Ibu selalu menunjukkan wajah gembira dan menutupi sakitnya. Bahkan ketika kami akhirnya tahu pun ibu selalu berkata untuk tak perlu risau karena beliau telah puas dengan hidupnya dan beruntung diberikan bonus umur dari Tuhan. Seakan tahu penyakitnya kian menggerogoti organ tubuh lainnya, ibu makin sering mengajakku bercakap-cakap. Dari obrolan ringan kami, ibu sering menyisipkan petuah-petuahnya dan perasaannya sebagai seorang ibu. Aku tahu, ibu sangat menyayangi kami anak-anaknya. Keluarga adalah hiburan terbesar baginya. Dari teman-temannya aku juga tahu ibu sangat bangga kepadaku. Ibu sering menceritakan kisah-kisah perjalananku kepada teman-temannya di kompleks perumahan ini.
Seperti baru kemarin rasanya aku menemani ibu yang tergolek sakit di sebuah rumah sakit swasta di kota kami. Ibu yang biasanya terlihat tegar dan kuat , nampak loyo dan kesakitan. Sengaja aku mengambil cuti panjang dari kegiatan-kegiatanku untuk mendampingi ibu. Aku sedikit menyesal tak melakukannya sejak lama. Aku ingin terus berbincang-bincang dengan ibu, mendengar kisah-kisah dahulu ketika ayah dan ibu sama-sama susah dan akhirnya perlahan rejeki mulai berbuah manis dikeluarga kami. Aku masih ingin belajar banyak tentang kehidupan dari ibu. Aku ingat ibu pernah berkata kepadaku saat aku patah hati. Kata ibu, aku mungkin harus patah hati berkali-kali untuk bisa menemukan pasangan sejatiku. Karena dengan demikian aku baru bisa menghargai arti komitmen yang sebenarnya. Ibu juga menyuruhkan untuk terus menyibukkan diri dengan kegiatan positif, karena jika hanya berdiam diri aku tak akan belajar banyak.
Sayangnya ibu hanya bertahan selama 10 hari saja di rumah sakit. Aku bersyukur ketika ibu menghadap Penciptanya saat aku berada didekatnya. Sebelumnya aku sempat mendoakan ditelinganya agar ibu diberikan yang terbaik oleh-Nya. Rupanya Tuhan tak ingin ibu kesakitan terlalu lama. Ibu meninggal tepat dijam ibu biasa berdoa. Aku tahu itu yang terbaik buat ibu. Kami juga tak tega melihat ibu kesakitan tanpa bisa berbuat apa-apa untuk meringankan penderitaannya. Kanker ibu telah menyebar begitu cepat. Aku menangis bahagia melihat ternyata begitu banyak orang yang mendoakan ibu, begitu banyak keluarga, kerabat, teman dan handai taulan yang menyayangi ibu dan kehilangan beliau. Rumah kami tak henti-hentinya dipenuhi pelayat yang ingin melepas ibu. Lihat ibu, engkau telah menyentuh hati banyak orang. Aku sangat bangga menjadi anakmu.
Kini, aku juga telah menjadi seorang ibu. Meski ibu tak sempat melihatku menikah dan memiliki anak, namun aku tahu ibu selalu menemaniku dan menjagaku lewat tangan-tangan orang lain. Aku ingin merawat dan membimbing anakku seperti dulu ibu membesarkanku. Ibu membuatku percaya akan kekuatan doa seorang ibu. Aku bisa seperti aku sekarang ini karena doa ibuku. Semoga aku bisa juga menjadi ibu yang baik untuk anakku seperti ibu kepada aku. Kelak, jika anakku telah tumbuh besar, akan kukatakan kepadanya nasehat-nasehat ibu kepadaku dahulu dan kisah permainan harta karun, celengan bolong dan hubungan unik kami.
Selamat hari ibu, ibuku. Kukirim banyak doa dan cinta untukmu selalu. Tuhan memang tak memberikan ibu yang sempurna, tetapi Dia telah memilihkan ibu yang terbaik untukku. Aku mencintaimu ibu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H